Serba-Serbi Lockdown

 Suara agar Indonesia mengambil langkah lockdown dalam memerangi penyebaran virus corona atau kerap disebut COVID-19 kian bergaung. Lantas, apakah benar langkah tersebut dapat menekan persentase penyebaran virus yang telah ditetapkan World Health Organization (WHO) sebagai pandemi?

Dikutip dari Cambridge English Dictionary, lockdown diartikan sebagai sebuah situasi ketika orang tidak diperbolehkan masuk atau meninggalkan sebuah bangunan atau kawasan bebas karena kondisi darurat. Secara harfiah, lockdown dapat diartikan kuncian atau mengunci. Secara umum, lockdown juga bisa berarti suatu wilayah menutup perbatasannya sehingga tidak ada masyarakat yang masuk atau keluar dari wilayah yang bersangkutan.

Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelum pemerintah menetapkan status darurat kesehatan nasional dan memberlakukan karantina berdasarkan pasal 50-55 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 mengenai Karantina. Kajian Pasal 53-55 perihal karantina wilayah dan Pasal 59 perihal pembatasan sosial berskala besar mengarah pada aturan-aturan bagaimana lockdown diselenggarakan.

Lockdown tidak semerta-merta dilakukan tanpa persiapan yang matang. Jika lockdown diberlakukan, terdapat banyak aspek yang harus dipertimbangkan. Pertama, kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi secara merata. Misalnya diberlakukan lockdown selama dua minggu, maka kebutuhan dasar masyarakat selama dua minggu harus tersedia dan cukup tanpa ada kelangkaan di pasar, toko tradisional, ataupun supermarket.

Selain itu, pemantauan terhadap ketersediaan sekaligus aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan harus dilakukan secara berkelanjutan. Salah satunya, penyediaan alat-alat kesehatan yang memadai di sejumlah rumah sakit. Lalu lintas pendistribusian barang kemungkinan akan terganggu. Oleh karena itu, stimulus fiskal dari pemerintah diperlukan, terutama untuk penyediaan alat-alat kesehatan dalam rangka persiapan.

Roda ekonomi tentunya akan tersendat-sendat. Yang harus digarisbawahi adalah sektor-sektor yang mengandalkan teknologi tradisional (sektor informal) atau usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) akan terkena dampak paling buruk. Hal ini disebabkan kehidupan mereka sepenuhnya bergantung pada usaha yang mereka lakukan. Jika terjadi lockdown, maka mobilitas masyarakat dan aksesibilitas dalam jual beli barang menjadi sangat rendah, bahkan terhenti.

Kemudian, terdapat kemungkinan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat akibat ketersediaan yang rendah karena pendistribusian bahan pokok terhenti. Apakah kebutuhan yang ada saat ini mencukupi permintaan masyarakat selama periode lockdown tanpa terjadi kelangkaan barang?

Koordinasi dan kerja sama antara pemerintah dengan berbagai sektor, termasuk berbagai kalangan bisnis dan masyarakat sangat wajib dilakukan untuk memastikan dampak lockdown yang minimal kepada masyarakat jika lockdown memang diberlakukan.

Tulisan oleh Ria Verensia
Gambar oleh Iqbal Baihaqi