Mahasiswa Rantau : Lockdown Bersama Keluarga atau di Kos?

Akhir-akhir ini Indonesia kembali diuji dengan ujian yang sangat berat. Ujian yang tengah berlangsung kali ini bukanlah mengenai isu politik ataupun SARA, melainkan isu kesehatan. Virus Corona (atau yang lebih tepat disebut SARS-CoV-2) adalah virus yang menyerang sistem pernapasan manusia. Virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan (Tiongkok) ini menyebar dengan sangat cepat dan secara luas menginfeksi di berbagai belahan negara. Indonesia sendiri per tanggal 30 Maret telah memiliki kasus sebanyak 1414 orang yang terinfeksi dan telah menyebabkan meninggalnya 122 orang. Hal ini sudah barang tentu memantik perubahan yang mendasar dalam bidang sosial masyarakat Indonesia. Perubahan bidang sosial yang paling terasa adalah terbentuknya sistem perawatan kesehatan yang masif dalam tatanan sosial masyarakat, misalnya saja gerakan mencuci tangan yang mulai diikuti oleh banyak lapisan masyarakat. Perubahan yang sangat cepat ini perlu diimbangi pula dengan upaya-upaya yang tepat. Upaya yang tengah dilakukan pemerintah di antaranya adalah dengan menggalakan gaya hidup sehat dan social distancing (atau yang sekarang dikenal dengan istilah physical distancing).

Dalam dunia perkuliahan pun telah banyak upaya yang dilakukan untuk menekan penyebaran Covid-19 (istilah yang merujuk kepada penyakit yang disebabkan oleh infeksi Virus SARS-CoV-2) ini, salah satu di antaranya adalah mengganti perkuliahan konvensional menjadi perkuliahan daring. Walaupun begitu banyak mahasiswa yang merasa perkuliahan daring sebagai momen untuk liburan dan mengabaikan esensi dari social distancing ini. UGM sendiri melalui Surat Edaran Rektor Nomor 1606/UN1.P/HKL/TR/2020 telah mengimbau masyarakat akademiknya yang berasal dari luar DIY untuk tetap tinggal di DIY. Hal ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk menekan penyebaran Covid-19 dan sebagai cara untuk melindungi masyarakat akademik UGM. Walaupun begitu, cukup banyak ditemukan mahasiswa rantau yang memilih untuk kembali ke kampung halamannya (tempat keluarganya tinggal). Berdasarkan kuesioner yang disebarkan pada tanggal 25 Maret, sebanyak 62,7% responden memilih untuk kembali ke kampung halamannya baik karena perintah dari orang tua maupun keinginan sendiri. Hal ini terbilang wajar dikarenakan surat edaran rektor tersebut yang bersifat imbauan, menjadikan banyak mahasiswanya yang mengesampingkan isi surat tersebut.

Pada dasarnya imbauan untuk tidak kembali ke kampung halaman tersebut dikeluarkan bukan tanpa sebab. UGM ingin menjamin keselamatan mahasiswanya. Hal ini disebabkan transportasi umum masih menjadi pilihan utama bagi mahasiswa rantau untuk kembali ke kampung halamannya. Padahal, transportasi umum tersebut merupakan media yang sangat baik bagi Covid-19 untuk menyebar. Jumlah penumpang yang sangat tinggi menyebabkan kontak antarpenumpang akan semakin tinggi pula. Bilamana terdapat penumpang yang telah terjangkit Covid-19, sudah tentu penumpang lain yang berada disekitarnya akan terinfeksi juga. Selain itu, imbauan ini dilakukan sebagai salah satu upaya social distancing yang digadang-gadang dapat menekan angka penyebaran Covid-19. Dengan diberlakukannya kebijakan ini diharapkan pihak berwenang dapat dengan mudah melacak penyebaran Covid-19 bilamana salah satu masyarakat akademik UGM terinfeksi virus ini.

Walaupun begitu, terdapat banyak faktor yang mendorong mahasiswa rantau untuk kembali ke kampung halamannya, salah satu faktornya adalah persediaan makanan. “Kalo misal di Jogja sampe lockdown gitu gue bakal susah nyari makan dan lain-lain soalnya pasti keluar,” ujar salah satu responden yang memilih untuk kembali ke kampung halamannya. Hal ini sejalan dikarenakan sebanyak 78.8% responden yang memilih untuk menetap di Jogja merasa persediaan pangannya hanya cukup untuk kurang dari seminggu. Dengan fasilitas yang minim (misal: kulkas, kompor, dll), mahasiswa rantau yang memilih untuk menetap di indekos akan kalah telak dalam persoalan persediaan pangan dalam menghadapi pandemi ini bilamana diberlakukan kebijakan lockdown.

Selain itu, terdapat faktor lain yang mendasari para mahasiswa rantau untuk kembali ke kampung halamannya, yaitu masalah keamanan. Sebanyak 41,5% responden menyadari daerah kampung halamannya termasuk daerah yang rawan Covid-19. Uniknya 42,4% dari responden tersebut merasa tidak khawatir/terpengaruh terhadap hal tersebut. Mereka tetap bersikukuh untuk kembali ke kampung halamannya yang notabene dapat dikatakan lebih berbahaya dibandingkan Jogja. Penulis mencoba mendalami lebih lanjut temuan ini dengan melakukan wawancara terhadap beberapa sampel, didapati faktor keamanan menjadi hal yang cukup diperhitungkan oleh mereka. “Semisal gue kena (Covid-19) pun gue gak terlalu takut” ujar salah satu mahasiswa rantau yang memilih untuk kembali ke kampung halamannya. Dengan berada di sekitar keluarga, mahasiswa rantau merasa lebih aman dalam kondisi apapun dibandingkan seorang diri. Keluarga sebagai lingkungan paling pertama yang dikenal oleh seorang manusia berfungsi sebagai pemberi rasa aman kepada tiap anggota keluarganya, baik secara lahir maupun batin. Oleh karena itu, secara naluriah mahasiswa rantau akan memilih untuk kembali kepada keluarganya disaat krisis seperti saat ini.

Sebenarnya tidak ada yang salah dalam pilihan mahasiswa rantau untuk kembali ke kampung halamannya di masa pandemi ini. Hal ini cukup wajar mengingat perubahan sosial yang sangat cepat, mendasar, dan tidak biasa menyebabkan kegagapan pada manusia sehingga ia cenderung untuk memilih jalan keluar yang dirasa paling aman. Tidak didapati oleh penulis dalam hasil kuesioner yang menyebutkan dengan kembali-nya mahasiswa rantau mereka jadi lebih bisa menerapkan gaya hidup sehat dan menerapkan social distancing untuk menekan laju penyebaran Covid-19, begitu juga sebaliknya.

Pada akhirnya keputusan untuk kembali ke kampung halaman atau menetap dalam indekos berukuran 3×4 selama masa pandemi Covid-19 ini berlangsung dikembalikan kepada masing-masing pihak. Banyak faktor yang menjadikan kembali adalah alasan yang tepat dan menetap adalah alasan yang benar. Dilema moral yang kembali dihadapkan kepada mahasiswa ini (khususnya mahasiswa rantau) perlu dipikirkan secara matang-matang baik-buruknya. Bagaikan buah simalakama, pilih salah satu, tidak keduanya. Pilihan terhadap sesuatu sudah barang tentu akan berdampak pada pilihan lain. Namun, bukankah hal tersebut yang melatih mahasiswa untuk menjadi manusia yang sesungguhnya?

Tulisan oleh Yoga Faerial
Gambar oleh Rizki Prayitno