Beranda Sipiloka Blue-Green City, Solusi Banjir Masa Kini

Blue-Green City, Solusi Banjir Masa Kini

oleh Redaksi

Banjir bukanlah hal baru di Indonesia. Setiap tahunnya, bencana banjir selalu melanda berbagai daerah di Indonesia, salah satunya adalah Jawa Barat. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bencana banjir terus terjadi selama tiga tahun terakhir. Pada tahun 2017 hingga 2019, jumlah bencana banjir yang terjadi di daerah Jawa Barat secara berturut-turut adalah 77, 67, dan 47 peristiwa.

Banjir bandang di Kecamatan Masamba merupakan salah satu contohnya. Berdasarkan hasil analisis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), penyebab utama terjadinya banjir bandang di Kecamatan Masamba adalah curah hujan tinggi yang terjadi sejak sehari sebelum peristiwa banjir pada bulan Juli lalu. Selain curah hujan yang tinggi, kerusakan lingkungan juga menjadi penyebab utama terjadinya bencana banjir.

Namun, Direktur Eksekutif Celebes, Mustam Arif, mengungkapkan hal yang berbeda terkait penyebab terjadinya banjir bandang ini. Menurut Mustam, curah hujan tinggi adalah pemicu. Curah hujan tinggi ini terjadi sebagai risiko alamiah dari perubahan iklim yang terjadi akibat kerusakan lingkungan. Selain itu, pembukaan lahan perkebunan dan pertanian di wilayah hulu sungai menyebabkan berkurangnya wilayah resapan air hujan yang mengakibatkan terjadinya banjir.

Bencana banjir juga dapat terjadi sebagai akibat dari pembangunan yang tidak memerhatikan aspek lingkungan. Banjir bandang di Kabupaten Garut adalah salah satu contohnya. Pembangunan jalan poros tengah di Kabupaten Garut yang bersebelahan dengan sungai dan merusak kawasan hutan membuat luapan air sungai bercampur dengan material tanah, sehingga banjir pun terjadi.

Pembangunan bangunan tempat tinggal juga memicu terjadinya banjir. Pendirian bangunan di tepi sungai menjadi penyebab utama banjir bandang di Banyuwangi tahun 2018 lalu. Bangunan permukiman penduduk di tepi sungai tersebut menyebabkan penyempitan dan pendangkalan sungai. Sungai yang tadinya mampu menampung air hujan menjadi tidak mampu lagi, menyebabkan adanya luapan air yang kemudian menjadi banjir.

Menurut Kepala Bidang Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banyuwangi, Eka Muharam, bangunan yang dibangun masyarakat di tepi sungai ini bukan hanya sangat dekat dengan aliran air, namun ada juga yang mengambil wilayah sungai. Selain menyebabkan penyempitan sungai, sampah rumah tangga yang dibuang ke sungai juga menyebabkan pendangkalan pada sungai.

Sebenarnya masyarakat tidak dilarang untuk mendirikan bangunan di tepi sungai. Hanya saja, pembangunannya perlu memerhatikan batas garis sempadan sungai yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 28 Tahun 2015. Dalam peraturan tersebut terdapat beberapa garis sempadan sungai, tergantung pada lokasi dan kedalaman sungai. Garis sempadan sungai ini dibuat sebagai ruang pengendali banjir dan seharusnya tidak boleh ada bangunan yang berdiri di atasnya.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah banjir di Indonesia. Penambahan daerah resapan air hujan dan normalisasi sungai juga sudah dilaksanakan, tetapi masalah banjir ini tetap belum dapat teratasi. Sebuah inovasi baru bernama Blue-Green City hadir untuk mengatasi masalah banjir. Inovasi baru ini dapat mengubah cara dunia memandang tata kelola lingkungan perkotaan. Blue-Green City dinilai dapat memberikan manfaat yang lebih banyak dibandingkan Green Architecture. Blue-Green City ini sebenarnya merupakan gabungan antara Green Architecturedengan penelitian baru tentang pengelolaan air di daerah perkotaan. Kombinasi keduanya pun menghasilkan Blue-Green Infrastructure.

Penelitian mengenai Blue-Green City ini dimulai di University of Nottingham, Inggris, sejak tahun 2013. Fokus utama dalam Blue-Green City adalah pencegahan banjir dan pengurangan risikonya. Penelitian ini didorong oleh kondisi kota-kota di Inggris yang mengalami banjir ekstrem tiap musim dingin.

Blue-Green City ini terbagi ke dalam dua aspek yang saling berkaitan, yaitu aspek “Blue” dan aspek “Green”. Aspek “Blue” membahas tentang pengelolaan air, sistem drainase air yang berkelanjutan, dan pengumpulan pasokan air alami seperti air hujan. Aspek “Green” berhubungan dengan Green Infrastructure yang ramah lingkungan.

Dalam penerapan konsep Blue-Green City ini, setiap bangunan dirancang sedemikian rupa supaya mampu mengolah limbahnya sendiri, baik limbah cair maupun limbah padat. Limbah cair seperti grey water yang berasal dari wastafel, mesin cuci baju, dan kamar mandi dipompa menuju atap bangunan. Atap bangunan didesain dengan konsep Green Roof, di mana tanaman-tanaman yang ada di atap bangunan digunakan untuk mengolah grey water tersebut dengan konsep fitoremediasi. Effluent atau air limbah hasil fitoremediasi tersebut nantinya dapat digunakan untuk menyiram tanaman dan membersihkan lantai bangunan.

Limbah sampah yang dihasilkan dipilah menjadi sampah organik dan anorganik. Nantinya, sampah organik akan diolah menjadi pupuk kompos dalam compost bin. Pupuk kompos yang dihasilkan akan digunakan untuk menyuburkan tanaman yang terdapat di bangunan tersebut.

Setiap bangunan juga memiliki Sistem Pemanfaatan Air Hujan (SPAH) yang dapat menampung air hujan. Pada umumnya, SPAH ini diletakkan di bawah tanah dengan sebuah tangki. Air hujan yang jatuh ke atap dialirkan ke talang dan dibawa ke tangki bawah tanah menggunakan pipa vertikal. Adanya SPAH yang berfungsi untuk menampung air hujan dapat mengurangi terjadinya genangan air karena air limpasan menjadi berkurang. Selain itu, air hujan juga dapat diolah dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan air bersih bangunan tersebut.

Untuk memenuhi kebutuhan energi, setiap bangunan dapat memiliki panel surya yang dipasang di atap bangunan. Panel surya digunakan untuk menyerap energi matahari dan mengubahnya menjadi energi listrik untuk memenuhi kebutuhan listrik di bangunan tersebut. Bangunan juga disarankan untuk memakai produk listrik hemat energi, seperti lampu light-emitting diode (LED), untuk penggunaan listrik yang lebih efisien.

Penghematan air juga dilakukan di toilet. Seluruh toilet di setiap bangunan hendaknya menggunakan toilet jenis dual-flush. Toilet dual-flush merupakan toilet duduk yang memiliki dua tombol penyiraman, di mana satu tombol mengeluarkan air dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan tombol lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir jumlah air yang digunakan untuk membersihkan toilet. Jumlah air yang digunakan haruslah sebanding dengan keperluannya, tidak berlebihan.

Kendaraan yang digunakan oleh masyarakat di Blue-Green City juga merupakan kendaraan yang ramah lingkungan. Kendaraan yang dipakai berupa transportasi publik dan kendaraan listrik. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi emisi karbon monoksida yang ditimbulkan oleh kendaraan bermotor. Langkah ini diharapkan dapat menjaga kualitas udara di daerah tersebut.

Hal yang perlu diperhatikan dalam Blue-Green City adalah kualitas sumber air permukaan, seperti sungai. Sungai dapat digunakan sebagai sumber air baku untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat. Oleh karena itu, pengelolaan kualitas sungai perlu diperhatikan secara berkala supaya air sungai tidak tercemar oleh berbagai macam limbah.

Sungguh miris melihat bumi pertiwi yang kian hari kian rusak akibat ulah manusia. Penanganan serius harus segera dimulai jika kita tidak mau melihat bumi pertiwi ini lebih hancur lagi. Blue-Green City merupakan inovasi yang sangat baik untuk diterapkan. Selain dapat mengurangi risiko banjir, penerapannya diharapkan dapat mengatasi masalah kerusakan lingkungan lainnya, seperti polusi udara.

Indonesia adalah salah satu negara dengan sumber air yang melimpah. Setiap tetes air itu berharga. Jangan biarkan air yang melimpah itu menjadi luapan air kotor tak berguna. Alangkah baiknya jika setiap tetes air tersebut dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan semua makhluk hidup.

Tulisan oleh Benedictus Valerian dan Melisa Angelica

Data oleh Nathanael Bimo dan Salma Zulfa

Gambar oleh Arieq Zulian

Artikel Terkait