Petir yang Getir

Rais menatapku dengan nanar, meneriaki namaku berulang kali. Barangkali ia mengira kalau aku telah pergi selama-lamanya. Aku masih terdiam dengan sakit yang menjalar ke seluruh tubuh. Samar-samar aku dengar suara lain yang familier di telingaku. Ia lebih histeris daripada Rais. Ingin rasanya segera menjawab kalau aku baik-baik saja di sini. Kelu, mulutku tak bisa mengeluarkan barang sepatah kata pun. Aku lelah, sangat lelah. “Rais! Bawa Maryam ke tenda!”. Setelah teriakan itu, aku tak tahu apa yang selanjutnya terjadi.

Aku terbangun ketika matahari malu-malu menunjukkan diri. Udara dingin yang merasuk ke tulang membuatku membuka mata dengan lebih mudah. Rais dan Emak duduk mengitari ranjang tempatku berbaring. Tapi tunggu, ini bukan ranjangku.

“Maryam, sudah sadar kau? Emak khawatir…”

Aku tidak menjawab pertanyaan Emak, mataku memandang sekeliling. Aku sedikit terkejut, banyak orang yang terbaring di sekitarku. Bayi, remaja, dewasa, bahkan lansia. Otakku tiba-tiba mempresentasikan kembali sebuah tragedi. Hujan, petir, dan.. BANJIR!! Keningku berkerut membayangkan tubuhku terbentur ke sana kemari terbawa arus air sampai akhirnya aku tersangkut di dahan pohon jambu. Aku ingat sekali Rais yang menurunkanku dari pohon itu. Emak menunggu di bawah. Kondisinya terlihat sedikit lebih baik dariku, walau wajahnya tak kalah kusut dariku.

“Mak, apakah ini p-e-n-g-u-n-g-s-i-a-n?” tanyaku sedikit terbata-bata. “Abah mana, Mak?” lanjutku.

Emak hanya terdiam membisu. Raut wajah bahagia karena kesadaranku kini tergantikan oleh wajah murung. Mata tuanya terlihat layu dan bengkak. Pasti Emak tidak kalah tertekan dariku. Bahkan mungkin, ia menangisiku sepanjang malam. Aku menatap Rais dan menjatuhkan sorot mata, “Emak kenapa?”.

“Abah belum ditemukan Maryam, Emak sangat khawatir mengenai itu. Tapi, syukurlah kau sudah sadar. Setidaknya, Emak sedikit lega,” ucap Rais sedikit kaku.

Tanpa pikir panjang, aku turun dari ranjang dan berlari secepat mungkin. Aku tak menghiraukan Emak yang meneriakiku. Yang ada dipikiranku saat ini hanya Abah. Bagaimana kondisinya sekarang? Dengan kaki lumpuh apa yang bisa Abah lakukan? Otakku terus saja memikirkan Abah. Langkahku terhenti ketika Rais menggenggam tanganku dengan erat.

“Lepas! Aku mau mencari Abah sekarang juga! Pasti Abah kesusahan Rais! Ayo, cari Abah!” berontakku.

“Tenang, tenang Maryam! Aku yang akan mencari abahmu. Kau duduklah di sana, temani Emakmu. Emakmu pasti sedih dan tertekan sekarang. Percayalah padaku, aku akan membantumu mencari abahmu. Tapi sekarang, kau kembali dan temani Emak. Aku akan pergi ke posko Tim Sar untuk menanyakan kembali perihal Abahmu,” ucapnya tanpa henti.

Aku tidak bisa menjawab. Lidahku kelu dan hatiku tercabik-cabik. Air mataku sudah tidak bisa dibendung lagi. Aku menangis sejadi-jadinya dipelukan Rais. Antara sedih dan senang, senang karena calon suamiku senantiasa di sisiku dan kenyataan bahwa Abah yang masih juga belum ditemukan.

“Mari, aku antar ke dalam.”

Aku menurut dan membuntutinya dari belakang. Di sepanjang perjalanan aku merasa melewati jalan tol yang panjangnya ribuan kilometer. Ini terasa sangat memilukan, sepanjang kaki melangkah, sejauh mata memandang, hanya hamparan manusia yang kulihat. Suara tangis dari sana sini terdengar parau. Tak jarang juga yang sedang merintih kesakitan. Air mataku kembali menetes, melihat ini membuat tubuhku lunglai tak berdaya.

“Maryam! Ayo, ke arah sini!”

Aku terbangun dari lamunanku. Tubuhku yang beberapa detik lalu mematung kini kembali bergerak mengikuti langkah Rais. Itu Emak. Aku kini melihatnya. Benar kata Rais, kondisi Emak juga tidak sebaik perkiraanku. Wajahnya pucat, matanya sayu, dan raut wajahnya benar-benar mengisyaratkan duka yang mendalam. Pasti begitu menyakitkan, kekasih hatinya hilang entah kemana. Aku mempercepat langkahku. Ingin segera kupeluk tubuh ringkih itu.

“Maafkan Maryam, Mak. Maafkan Maryam karena membuat Emak semakin khawatir.”

Emak hanya diam dan memelukku. Aku tahu, pasti Emak menyembunyikan banyak sakit di belakangku. Ia juga memilih sembuh lebih cepat dan merawatku selama dua hari ini. Pasti Emak sangat lelah. Pikiran dan tenaganya terkuras tanpa henti. Beruntunglah aku, dilahirkan dari rahim seorang ibu yang sehebat ini.

“Sudah, Emak mau istirahat dulu, ya? Kamu juga.”

Anggukanku membuat Emak langsung merebahkan tubuhnya di kasur tipis berwarna biru dengan posisi membelakangiku. Selang beberapa waktu, samar-samar kudengar isak tangis dari arahnya. Ini pasti sangat berat untuk Emak, sampai-sampai Emak menyembunyikan tangisnya dariku. Malam ini dingin dan mencekam. Aku memandangi langit-langit dan berusaha memejamkan mata. Pura-pura tertidur.

**

Keesokan harinya, aku terbangun setelah lewat pukul sebelas. Ternyata aku tertidur cukup pulas sejak adzan subuh berkumandang. Kulihat sekeliling kembali. Masih sama, masih banyak duka yang menyebar di ruangan ini. Mataku terpaku pada sebuah kasur tipis berwarna biru. Rais  sudah tidak ada. Emak juga,

Tanpa aba-aba aku langsung bangkit dan berkeliling mencari Emak. Aku sangat khawatir. Langkah kakiku kubuat lebar agar segera mencapai seluruh ruangan. Mataku menelisik ke sana ke mari.

Tak jauh dari tempatku berdiri sekarang, aku melihat Rais sedang menghibur anak-anak di sini. Ia menyanyikan lagu ‘Balonku ada Lima’ sambil membagikan balon ke anak-anak itu. Sejenak, aku perhatikan kembali raut wajah sekelompok manusia di sana. Wajah ceria kembali terlihat, anak-anak itu sejenak melupakan kejadian memilukan yang menimpa mereka beberapa hari yang lalu. Mereka memilih pulih lebih cepat, Rais juga. Ia justru bisa membawa diri dengan baik dan berusaha menciptakan kebahagiaan orang lain.

Lalu, aku melanjutkan langkah kakiku ke dapur. Aku sedikit berlari. Ini tempat terakhir yang belum ku kunjungi, aku harap Emak ada di sana dan benar saja, Emak ada di sana. Wajahnya terlihat merona dengan kepulan asap dan aroma masakan di sana. Aku kembali terpaku, tidak hanya Rais, Emak juga memutuskan untuk sembuh lebih cepat dan membantu menyiapkan masakan untuk para pengungsi. Aku, hanya aku yang masih saja larut dalam kesedihan.

Baiklah, kali ini aku akan menyembuhkan lukaku juga. Aku memilih bergabung bersama Rais dan berusaha menghibur anak-anak. Melihat wajah mereka yang begitu ceria, membuat suasana hatiku kembali baik. Luka dan sedihku perlahan-lahan menghilang.

“Maryam, Abahmu sudah ditemukan. Qadarullah, Allah lebih sayang beliau, Maryam. Emak juga sudah tahu, Abahmu akan dimakamkan sore nanti.”

Perkataan Rais mengejutkanku. Aku yang baru saja duduk setelah puas melihat tawa anak-anak seperti tersambar petir mendengar kabar tersebut. Aku lebih terkejut lagi menerima kenyataan bahwa Emak sudah tahu. Tapi alih-alih bersedih, Emak memilih untuk menerima semua kenyataan ini dengan ikhlas. Aku sedih kehilangan Abah, tapi aku ingin seperti Emak, Rais, dan anak-anak itu, yang memilih lekas pulih dan melanjutkan hidup. Akhirnya aku mengerti bahwa sejatinya hidup memanglah perihal menerima dan mengikhlaskan.

 

Ditulis oleh Zahra Salsabila