Polemik Tugu Sepeda: Sebuah Ikon Jakarta atau Sebuah Pemborosan?

Bersepeda kini telah menjadi sebuah tren di Indonesia khususnya di masa pandemi saat ini. Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) mencatat bahwa peningkatan pesepeda di Jakarta mencapai seribu persen atau naik sekitar sepuluh kali lipat selama pandemi Covid-19. Selain itu, persentase kenaikan penjualan sepeda juga mencapai empat kali lipat di tahun 2020.

Adanya tren Bike Boom tersebut telah menjadi panggilan gaya hidup baru yang mengajak semua masyarakat untuk berolahraga. Dengan bersepeda, kita akan mendapatkan banyak manfaat, diantaranya menjaga berat badan, menghindari diabetes, merawat persendian tubuh, menjaga kesehatan mental, hingga mengurangi risiko penyakit kanker. Selain itu, olahraga bersepeda banyak dipilih masyarakat lantaran memiliki risiko penularan Covid-19 yang lebih rendah ketimbang olahraga lainnya, misalnya lari.

Dilatarbelakangi oleh masifnya penggunaan sepeda di masa pandemi Covid-19, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berinisiatif untuk membangun sebuah tugu yang dikenal sebagai Tugu Sepeda. Pembangunan tugu ini ditujukan sebagai pengingat momentum meningkatnya penggunaan sepeda di kala pandemi Covid-19.

Pemprov DKI mengatakan bahwa pembangunan Tugu Sepeda diharapkan dapat menjadi sebuah ikon baru yang nantinya akan menambahkan sentuhan estetika di Kota Jakarta, sekaligus menjadi tempat berswafoto bagi para generasi milenial. Melalui pembangunan tugu ini, Pemprov DKI Jakarta juga berharap dapat memberikan ruang untuk berkreasi dan berinovasi bagi para pekerja seni rupa serta memotivasi masyarakat untuk beralih menggunakan sepeda sebagai moda transportasinya.

Namun, inisiatif yang digagas oleh Pemprov DKI Jakarta tak langsung menuai sambutan hangat masyarakat. Hal ini terlihat dari masyarakat yang menyatakan pro dan kontranya. Sebagian masyarakat menilai pembangunan tugu merupakan suatu pemborosan dan tindakan yang kurang etis dilakukan, khususnya di era pandemi Covid-19 saat ini.

Sebaliknya, sebagian masyarakat lainnya menyatakan sikap tak keberatan terkait pembangunan Tugu Sepeda tersebut. Sikap tak keberatan tersebut dikarenakan pembangunan tugu yang menggelontorkan dana hingga Rp800 juta ini tidak menggunakan APBD Pemprov DKI Jakarta, tetapi bersumber dari anggaran pihak ketiga, yakni pihak swasta.

Kendati demikian, pembangunan tugu ini perlu memiliki alasan yang kuat dan tinjauan urgensi yang mementingkan skala prioritas serta mencakup kebutuhan semua golongan. Alih-alih menambah program kerja, Pemprov DKI Jakarta perlu meninjau kembali terkait capaian dan hasil kinerjanya selama ini.

Salah satunya ialah penyelesaian jalur sepeda permanen di Jalan Sudirman-Thamrin yang telah melewati batas target penyelesaiannya di akhir Maret. Per tanggal 31 Maret 2021, tercatat masih 12,5 persen jalur sepeda permanen yang rampung dengan 500 planter box dari total 4000 planter box yang seharusnya terpasang.

Peringatan akan peristiwa yang dianggap penting ataupun tokoh bersejarah di masa lalu seringkali diabadikan dalam sebuah tugu atau monumen. Oleh karena itu, keinginan Pemprov DKI Jakarta untuk mengenang pandemi Covid-19 ini memang dapat diimplementasikan, salah satunya melalui pembangunan tugu memorial.

Akan tetapi, apakah pembangunan Tugu Sepeda tersebut dapat menjadi media yang tepat dalam menyampaikan makna seperti sebagaimana seharusnya? Atau malah pembangunan tugu tersebut hanya menjadi benda mati yang tak berarti?

Pembangunan infrastruktur tentunya harus memiliki pertimbangan multi-aspek dan analisis dampak yang matang. Dalam kasus ini, Pemprov DKI Jakarta harus memperkirakan dampak yang mungkin timbul akibat pembangunan Tugu Sepeda. Misalnya, perilaku masyarakat yang menjadikan Tugu Sepeda sebagai area istirahat ataupun berkumpul dapat menciptakan keramaian yang berujung pada munculnya klaster-klaster baru penyebaran virus Covid-19.

Oleh karena itu, walaupun pembangunan Tugu Sepeda memang tidak mengambil dana APBD DKI Jakarta, pengalokasian dana oleh pihak ketiga seharusnya dapat lebih dioptimalkan. Pembangunan ataupun program kerja lainnya harus dilakukan berdasarkan skala urgensi yang tepat dan menjangkau seluruh golongan masyarakat yang ada secara merata.

Dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang diberikan oleh pihak ketiga sebagai bentuk pertanggungjawabannya secara sosial dan lingkungan seharusnya dikembalikan kepada masyarakat melalui cara yang lebih bijak. Misalnya, pengalokasian dana CSR ini dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur penanggulangan banjir, pemberdayaan masyarakat, ataupun penanganan dan pemulihan pasca bencana.

Dana CSR juga dapat dipertimbangkan untuk membantu menutupi kekurangan anggaran pembebasan lahan yang beberapa waktu ini dikatakan sebagai salah satu persoalan yang menghambat penyelesaian masalah banjir di Jakarta. Dengan pengalokasian dana CSR yang tepat, maka efek manfaat akan dapat lebih dirasakan oleh seluruh kalangan masyarakat tanpa terkecuali. Untuk itu, Program Kerja Pemprov DKI Jakarta seharusnya dapat lebih peka dan menjawab kebutuhan masyarakat Jakarta.

Pembangunan tugu untuk menjadi alat pengingat akan suatu peristiwa ataupun tokoh bersejarah memang merupakan hal yang penting. Namun, pertimbangan multi-aspek dan skala urgensi menjadi hal yang juga tak kalah penting sebelum memutuskan pembangunan suatu tugu. Adanya dana CSR tidak semata-mata menjadikan pembangunan dapat dilakukan tanpa adanya pertimbangan yang matang.

Sebaliknya, dengan adanya dana CSR tersebut, pemerintah diharapkan lebih peka terhadap permasalahan dan kebutuhan masyarakat sehingga pengalokasian dana CSR tersebut menjadi tepat fungsi dan terhindar dari pembangunan yang berujung kepada pemborosan anggaran yang tentunya tidak memberikan manfaat kepada masyarakat.

Data dan tulisan oleh Giovanni Serena Siahaan
Gambar oleh Nibroos Muhammad Nashoor