Larangan mudik tahun ini bertujuan untuk mencegah lonjakan kasus Covid-19. Namun sayangnya, sektor transportasi menjadi korban akibat kebijakan ini. Lantas, seberapa buruk dampak perekonomian di sektor transportasi akibat larangan mudik ini? Apa yang sebaiknya pemerintah lakukan agar kesalahan yang sama tidak terulang?
Momen menjelang hari rayamembuat banyak orang berlomba-lomba untuk berkumpul bersama keluarganya. Bahkan, keluarga dari luar kota juga sangat antusias untuk berkumpul bersama di kota asalnya. Dengan adanya peristiwa ini, lahirlah istilah mudik yang memiliki arti pulang ke kampung halaman. Di Indonesia, mudik biasanya dilakukan saat Idul Fitri, Natal, dan akhir tahun.
Seperti yang kita ketahui, pandemi Covid-19 telah terjadi di Indonesia sejak awal Maret tahun 2020. Hal ini membuat pemerintah menerapkan pembatasan pada berbagai aktivitas masyarakat. Melihat adanya lonjakan kasus Covid-19, pemerintah mengeluarkan peraturan larangan mudik lebaran per tanggal 6-17 Mei. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy menyatakan, “Ditetapkan bahwa tahun 2021 mudik ditiadakan. Berlaku untuk seluruh ASN, TNI, Polri, BUMN, karyawan swasta maupun pekerja mandiri dan juga seluruh masyarakat”.
Perintah larangan mudik itu diwujudkan oleh Kementerian Perhubungan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 13 Tahun 2021 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Idul Fitri 1442 H/Tahun 2021 Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19. Ketentuan yang diatur dari pengendalian transportasi meliputi hal-hal yang dilarang, pengecualian-pengecualian, pengawasan, dan sanksi. Peraturan ini juga mengatur mengenai ketentuan pengendalian transportasi di wilayah aglomerasi
Keputusan pelarangan mudik ini didasarkan pada pengalaman tahun sebelumnya yang membuktikan bahwa adanya mudik berpengaruh pada lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia. Dipilihnya keputusan pelarangan mudik juga diperkuat dengan dasar adanya kemunculan strain baru Covid-19 yang jauh lebih menular sehingga diperlukan pembatasan mobilisasi dan interaksi.
Terlebih lagi, mudik saat pandemi berisiko besar dan berpeluang meningkatkan kasus kematian. Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Prof. Wiku Adisasmito menyatakan bahwa lansia mendominasi korban jiwa akibat Covid-19, yaitu sebesar 48%. Untuk itu, pemerintah meminta masyarakat urung mudik untuk menjaga diri sendiri dan keluarga di kampung halaman dari penularan Covid-19.
Keputusan yang terkesan mendadak ini menimbulkan polemik. Banyak masyarakat yang merasa dirugikan, khususnya masyarakat yang bekerja di sektor transportasi. Pasalnya, penghasilan terbesar mereka diperoleh saat pekan mudik berlangsung.
Larangan mudik memang menyebabkan penurunan jumlah perjalanan. Sebagai contoh pada sektor transportasi darat, total penumpang bus mencapai 10.644 penumpang atau turun sekitar 75% dibanding hari biasa. Volume lalu lintas harian (motor, mobil penumpang, dan mobil angkutan) mencapai 68 ribu kendaraan atau turun sekitar 48%. Sedangkan, jumlah penumpang yang melakukan keberangkatan mencapai 3.856 orang atau turun sekitar 96,2%. Selain itu, pergerakan penumpang pada transportasi kereta mencapai 17.220 orang atau turun sekitar 71%.
Tidak hanya itu, jalan tol sebagai jantung dari aktivitas mudik juga mengalami penurunan. Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Tol Indonesia (ATI), Kris Ade Sudiyono, banyak dari masyarakat menunda mudik pada tahun ini sehingga lalu lintas jalan tol menurun. Dari data yang dihimpun anggota asosiasi, volume trafik diperkirakan turun 45%-50% lebih rendah dibandingkan rata-rata harian normal. Data Jasa Marga mencatat, sebanyak 245.496 kendaraan meninggalkan wilayah Jabodetabek menuju arah timur, barat, dan selatan per 6-8 Mei 2021. Angka ini turun 45% dari volume lalu lintas normal sebesar 450.117 kendaraan.
Beberapa contoh ruas jalan tol yang mengalami penurunan trafik lalu lintas ialah Tol Cikopo-Palimanan (Cipali) dan Jalan Tol Cipularang. Pada (9/5), kendaraan yang melintas di Palimanan sebesar 14.000 kendaraan. Jika dibandingkan dengan lalu lintas harian, angka ini turun sebesar 66%. Sedangkan pada Tol Cipularang, kendaraan berjumlah 41.192 meninggalkan Jakarta. Angka ini sebesar 57,9% dari lalu lintas normal yaitu 201.128 kendaraan.
Banyak dari layanan jasa transportasi yang ikut terdampak larangan mudik ini. Satu di antaranya, yaitu layanan bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) yang berhenti beroperasi pada 6-17 Mei 2021. Bahkan, pendapatan rata-rata AKAP berkisar di bawah 10%.
Dampak dari pelarangan mudik membuat banyak pengusaha bus harus mengurangi jumlah karyawan, mengembalikan armada bus kepada perusahaan sewa guna usaha, serta menanggung pembayaran bunga. Contohnya, Haryanto sebagai pemilik Perusahaan Otobus. Haryanto sendiri mengakui dampak dari Covid-19 saja sudah cukup signifikan, apalagi ditambah dengan pelarangan mudik. Perusahaannya mengalami penurunan pendapatan hingga 75%.
Tidak hanya bus yang berhenti beroperasi, beberapa angkutan penumpang dalam kota (taksi dan bus) juga mengalami nasib yang hampir serupa. Lima puluh persen dari layanan yang ada masih dapat beroperasi. Operator bus dalam kota berpotensi tidak mendapatkan pendapatan. Bahkan lebih parahnya lagi, angkutan carter pariwisata hampir tidak berpendapatan sama sekali (mendekati nol).
Larangan mudik juga berdampak pada usaha jalan tol beserta kelengkapannya. Larangan mudik yang berlangsung menyebabkan jalan Tol Jakarta-Cikampek dan Trans Jawa yang biasanya dipadati pemudik kini sepi. Pasalnya, petugas menutup jalan di beberapa titik sehingga kendaraan tidak bisa melalui jalan tol. Hal ini tentu saja memberikan dampak signifikan terhadap bisnis operator jalan tol ataupun para pengusaha di rest area. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Rest Area Indonesia (Aprestindo), R. Widie Wahyu G.P. mengatakan bahwa omset para pengusaha hanyalah 5-10%, bahkan nyaris nihil.
Juru bicara Kemenhub, Adira Irawati menyatakan, “Berdasarkan hasil pemantauan pengendalian transportasi di hari pertama larangan mudik, jumlah pergerakan transportasi baik di transportasi darat, laut, dan udara, menurun cukup signifikan dibandingkan sebelum masa larangan”. Pergerakan transportasi yang menurun diindikasikan karena masyarakat yang telah melakukan perjalanan sebelum pelarangan mudik atau kepatuhan masyarakat terhadap keputusan pemerintah.
Kendati demikian, larangan mudik yang diberlakukan pada tanggal 6-17 Mei 2021 justru mengakibatkan adanya lonjakan aktivitas transportasi pasca masa pemberlakuan selesai. Pada tanggal (18/5), terdapat 279 ribu penumpang yang diangkut menggunakan beragam moda transportasi. Jumlah penumpang meningkat 191,6% jika dibandingkan dengan 17 Mei 2021 atau hari terakhir masa peniadaan mudik.
Dampak Larangan Mudik 2021 Terhadap Sektor Ekonomi Transportasi
Pada tahun 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) mendata bahwa larangan mudik menyebabkan sektor transportasi terkontraksi sebesar 30,84%. Hal ini tentu harus menjadi perhatian, pasalnya sektor transportasi dan pergudangan memberikan kontribusi paling besar terhadap penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) 2020, yaitu minus 0,64%.
Selain itu, Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memproyeksikan bahwa terjadi penurunan perputaran uang hingga Rp3,09 triliun pada masa mudik lebaran 2021. Penurunan yang terjadi merupakan dampak dari adanya larangan mudik serta Covid-19.
Solusi untuk Meringankan Kerugian oleh Beberapa Pakar
Larangan mudik 2021 menimbulkan kerugian kepada pihak-pihak terkait. Tentunya, pemerintah diharapkan dapat memberi keringanan. Terdapat beberapa alternatif solusi yang diberikan oleh beberapa pakar di sektor ekonomi dan transportasi.
1. Ketua Umum Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI), Kurnia Lesani Adnan menilai, keputusan pemerintah terkait larangan Mudik Lebaran 2021 harus didukung dengan solusi untuk para operator transportasi. Seperti penundaan pembayaran pajak untuk melewati periode pelarangan mudik.
2. Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno menyarankan agar pemerintah dapat memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai kompensasi untuk perusahaan otobus yang tidak dapat beroperasi selama lebaran. “Program BLT yang diusulkan Organda tahun lalu belum ditanggapi serius oleh pemerintah. Bantuan ke pengemudi transportasi umum selama tiga bulan itu juga tidak tepat sasaran. Pengemudi ojek justru ikut mendapat bantuan itu,” katanya. Oleh sebab itu, Djoko menilai sebaiknya dilakukan koordinasi dengan asosiasi-asosiasi terkait.
3. Dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira beranggapan seharusnya dana bantuan subsidi juga telah
disiapkan ketika pemerintah akhirnya mengambil opsi pelarangan mudik di 2021, meskipun hanya selama sepuluh hari. Kemudian bagi perusahaan transportasi, pemerintah dapat memberikan bantuan subsidi bunga, perpanjangan relaksasi ataupun restrukturisasi pinjaman.
Larangan mudik tahun 2021 memang menimbulkan polemik. Namun dengan adanya dampak yang merugikan, peraturan ataupun kebijakan yang sudah telanjur dilaksanakan dapat dikaji lebih lanjut untuk evaluasi kedepannya. Selain itu, kejadian serupa sebaiknya dapat dihindari dengan beberapa langkah antisipasi dan solusi agar tidak merugikan kebanyakan pihak terkait.
Data oleh Alya Ramadianisa
Tulisan oleh Liveta Nissi Ramadhanti
Gambar oleh Maria Askensi Vania