Ditinjau dari karakteristik dan tingkat risiko bahayanya, limbah industri dibedakan menjadi jenis limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dan limbah non-B3. Limbah B3 merupakan limbah yang dikategorikan cenderung lebih berbahaya jika dibandingkan dengan limbah non-B3. Salah satu limbah industri yang termasuk ke dalam kategori limbah B3 menurut Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 adalah limbah fly ash dan bottom ash (FABA). FABA tersebut dikategorikan dalam limbah B3 kategori 2.
Sebagian besar negara maju di dunia, seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, Uni Eropa, Rusia, dan Jepang sudah terlebih dahulu mengategorikan FABA ke dalam jenis limbah non-B3 (bukan termasuk limbah berbahaya). Hal ini tentunya bertolak belakang dengan kebijakan dari Pemerintah Indonesia tersebut.
Akhirnya, Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan menjelaskan bahwa FABA limbah batu bara telah dikeluarkan dari kategori limbah B3. Sebenarnya, apa penyebab FABA dikeluarkan dari kategori limbah B3? Apakah semua FABA tidak termasuk ke dalam limbah B3?
Mengenai Fly Ash dan Bottom Ash
FABA merupakan salah satu limbah industri yang dihasilkan dari proses pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Ada dua jenis golongan FABA berdasarkan proses pembakarannya. FABA yang melalui proses pembakaran pada boiler dan/atau tungku industri termasuk dalam golongan limbah B3, sedangkan FABA yang menggunakan sistem lainnya termasuk ke dalam limbah non-B3. Sebagai contoh, FABA yang tergolong limbah non-B3 adalah yang menggunakan sistem pembakaran pulverized coal (PC) atau chain grate stoker.
Rosa Vivien Ratnawati, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun (PSLB3) Kementerian LHK menegaskan bahwa material FABA yang merupakan limbah hasil sisa pembakaran di PLTU dapat diolah menjadi limbah non-B3. Hal tersebut disebabkan adanya pembakaran batu bara di kegiatan PLTU yang dilakukan dengan temperatur tinggi sehingga kandungan unburnt carbon yang berada di dalam FABA menjadi minimal dan lebih stabil untuk disimpan.
Hal tersebut berbeda dengan proses pembakaran suhu rendah menggunakan stoker boiler dan/atau tungku industri yang menghasilkan FABA golongan B3. Limbah FABA yang terbentuk dari penggunaan metode tersebut adalah limbah B3 berupa fly ash kode limbah B409 dan bottom ash kode limbah B410.
Fly ash dan bottom ash merupakan limbah yang sama-sama dihasilkan dari pembakaran batu bara. Namun, kedua limbah tersebut juga memiliki karakteristik pembeda baik yang tampak secara visual maupun nonvisual.
Mengenai limbah fly ash sendiri, limbah ini secara visual memiliki bentuk berupa bubuk yang halus. Limbah ini juga merupakan material bersifat pozzolan (bahan yang mengandung senyawa silika) yang baik. Berdasarkan studi literatur yang dilakukan oleh Nugraha dan Antoni pada tahun 2007, fly ash mengandung sebagian besar dari oksida-oksida silika (SiO2), aluminium (Al), besi (Fe), dan kalsium (Ca) serta sedikit potasium, sodium, titanium, dan sulfur. Menurut ASTM C618, fly ash dapat dibedakan lagi menjadi dua kelas, yaitu fly ash kelas F dan kelas C. Perbedaan dari kedua kelas tersebut pada umumnya adalah jumlah konsentrasi dari kalsium, silika, aluminium, dan kadar besinya.
Bottom ash juga memiliki karakteristik yang membedakannya dengan limbah fly ash. Walaupun sama-sama berasal dari hasil sisa pembakaran batu bara pada boiler PLTU, bottom ash memiliki ukuran yang lebih besar jika dibandingkan dengan fly ash. Akibatnya, limbah bottom ash jatuh ke dasar tungku dari boiler.
Fly Ash dan Bottom Ash, Baik atau Buruk?
Banyak spekulasi yang mengatakan bahwa limbah FABA merupakan limbah yang merugikan dan berbahaya. FABA diklaim mengandung kandungan oksida logam berat yang akan mengalami pelindian secara alami dan mencemari lingkungan. Atas dasar hal tersebut, FABA sebelumnya dikategorikan dalam golongan limbah B3.
Menurut Sri Prabandiyani Retno Wardani, limbah B3 adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan beracun. Hal tersebut disebabkan oleh adanya sifat atau konsentrasi yang dapat mencemarkan, merusakkan, atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia atau makhluk hidup lainnya.
Sesuai pengertiannya, FABA yang mengandung oksida logam berat tentu saja termasuk golongan B3 karena limbah FABA hasil pembakaran dapat mengganggu kesehatan melalui pencemaran udara. Pencemaran udara yang mengandung oksida logam berat tersebut dapat menyebabkan penyempitan saluran udara besar yang masuk ke paru-paru (bronkus), pembentukan jaringan parut, pembengkakan lapisan, serta penyumbatan parsial oleh lendir.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Merah Johansyah, mengatakan pemerintah hanya menghitung potensi investasi yang didapat dari pengeluaran fly ash dan bottom ash dari daftar limbah B3. Namun, pemerintah mengabaikan ancaman kerusakan lingkungan yang dapat terjadi sebagai dampak implikasi dari penerbitan aturan tersebut. Padahal, masyarakat di sekitar PLTU batu bara itu sedang dibayang-bayangi risiko kematian dini.
Merah menambahkan, saat ini pengawasan hukum pada pengelolaan limbah FABA saja masih bermasalah. Apalagi jika dua jenis limbah batu bara tersebut dikeluarkan dari kategori limbah B3, penegakkan hukumnya akan makin keropos.
Walaupun limbah FABA diklaim dapat menyebabkan pencemaran udara, tidak dapat dipungkiri bahwa suatu limbah dapat dimanfaatkan kembali dengan beragam cara. Limbah FABA merupakan salah satu limbah yang dapat diatasi dan juga memiliki banyak keuntungan. Dengan pengelolaan yang baik, limbah FABA dapat dimanfaatkan untuk stabilisasi tanah ataupun keperluan lain di bidang teknik sipil.
Bahkan, fly ash sendiri memiliki beragam manfaat, khususnya pada bidang teknik sipil. Berdasarkan artikel dari Sri Prabandiyani Retno Wardani, terdapat manfaat-manfaat pada bidang teknik sipil yang membantu dalam pekerjaan konstruksi ataupun bahan bangunan.
- Portland Cement
Fly Ash memiliki manfaat sebagai pengganti dari portland cement pada beton karena mempunyai sifat pozzolan. Sifat pozzolan pada fly ash ini dapat meningkatkan kekuatan dan durabilitas dari beton. Pada umumnya, fly ash yang digunakan dalam pengganti berat semen ini adalah fly ash kelas F. Fly ash tersebut dapat menggantikan sampai 30% berat semen yang digunakan dan dapat menambah daya tahan serta ketahanan terhadap bahan kimia.
- Batu Bata
Batu bata abu cenderung gagal dalam menghasilkan bentuk yang teratur. Hal tersebut terjadi akibat adanya kontak dengan air dan reaksi kimia yang menyebabkan batu bata tersebut memuai.
Pada Mei 2007, pensiunan insinyur sipil asal Amerika bernama Henry Liu menemukan penemuan baru berupa fly ash dengan air yang dipadatkan pada 4000 Psi dan diperam 24 jam pada temperatur steam bath. Setelah itu, fly ash dikeraskan dengan bahan air entrainment. Hasil akhir batu bata dengan metode tersebut dapat dikatakan hemat energi, mengurangi polusi merkuri, dan hemat biaya sebesar 20% jika dibandingkan dengan batu bata tradisional.
- Material Pekerjaan Tanah dan Konstruksi Jalan
Fly ash kelas F dapat efektif digunakan untuk bahan timbunan (embankment) atau bahan perkuatan dalam pekerjaan tanah. Selain itu, fly ash kelas F dan C dapat menjadi mineral filler untuk pengisi void dan memberikan contact point antara partikel agregat yang lebih besar dalam campuran asphalt concrete.
- Grouting
Fly ash ditambahkan pada grouting dengan semen untuk meningkatkan kemudahan pencampuran, mengurangi biaya, dan meningkatkan daya tahan terhadap sulfat.
Dalam bidang teknik sipil, tidak dapat diragukan bahwa fly ash ataupun bottom ash memiliki beragam manfaat. Apabila Pemerintah Indonesia dapat terus mengoptimalkan daya guna dari limbah FABA ini, dampak yang akan dirasakan dalam pembangunan infrastruktur akan lebih menguntungkan. Pengelolaan yang baik dan sesuai standar juga diperlukan dalam mengatasi pencemaran yang dihasilkan dari FABA. Hal ini karena limbah FABA tersebut tetap mengandung logam oksida berat yang berpotensi merusak paru-paru manusia.
Keberadaan FABA dan Upaya Pemerintah
Indonesia merupakan salah satu dari banyak negara yang menjadi produsen batu bara terbesar di dunia. Tingginya produksi batu bara ini juga mengakibatkan tingkat volume limbah pembakaran FABA menjadi cukup tinggi. Saat ini, konsentrasi FABA di Indonesia terus meningkat seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan industri manufaktur serta meningkatnya kebutuhan listrik yang dipasok PLTU.
Dilansir dari kemenperin.go.id, FABA yang dihasilkan dari PLTU pada tahun 2021 diperkirakan mencapai 12 juta ton dan pada tahun 2027 diproyeksikan menjadi sebesar 16,2 juta ton. Hal tersebut menimbulkan permasalahan karena FABA yang dapat diolah kembali jumlahnya sangat minimal. Akibatnya, sisa dari FABA yang tidak diolah kembali nantinya harus disimpan atau ditimbun (landfill).
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan. Peraturan yang berisi tentang pengeluaran FABA dari kategori limbah B3 harus ditindaklanjuti. Hal tersebut bertujuan untuk meminimalkan dampak dan memaksimalkan segala potensi keuntungan yang bisa didapatkan.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Ridwan Jamaludin, turut menambahkan penjelasan bahwa secara nasional, kebijakan pemanfaatan limbah batu bara adalah langkah konkret untuk memberikan nilai tambah. Kedepannya, Ridwan mengungkapkan bahwa hasil limbah abu batu bara atau FABA dapat semakin dimanfaatkan menjadi produk-produk yang ramah lingkungan. Hal tersebut adalah bukti bahwa pemerintah sedang berusaha keras untuk memanfaatkan nilai tambah dari hasil pembakaran batu bara menjadi produk yang bermanfaat dan ramah lingkungan.
Data oleh Nabila Alifyya Husna
Tulisan oleh Alsyafiq Akbar Suryajati
Gambar oleh Arieq Zulian