Beranda Opini Menyoal Jalur Sepeda Permanen di DKI Jakarta: Dibongkar atau Diefektifkan?

Menyoal Jalur Sepeda Permanen di DKI Jakarta: Dibongkar atau Diefektifkan?

oleh Redaksi

Jalur sepeda permanen di kawasan Jalan Sudirman-Thamrin DKI Jakarta belakangan ini menuai sorotan. Belum lama dibangun, tetapi wacana pembongkaran jalur yang telah menelan cukup banyak biaya dalam pembangunannya ini sudah menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan. Dianggap tidak efektif dan justru membahayakan, sudah tepatkah keputusan untuk melakukan pembongkaran jalur sepeda permanen tersebut?

Pembangunan jalur sepeda oleh Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam undang-undang tersebut, termaktub bahwa pemerintah harus memberi kemudahan akses lalu lintas bagi pesepeda. Pesepeda berhak atas fasilitas penunjang yang memperhatikan aspek keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran dalam berlalu lintas.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berharap pembangunan jalur sepeda dapat menjadikan sepeda sebagai salah satu pilihan moda transportasi utama dalam melakukan mobilitas. Jalur sepeda ini menjadi bagian dari langkah untuk mewujudkan DKI Jakarta sebagai kota yang terbebas dari polusi udara dan kemacetan. Adanya jalur sepeda tersebut juga bertujuan untuk memfasilitasi minat bersepeda, apalagi dengan jumlah pengguna sepeda di DKI Jakarta yang melonjak selama pandemi Covid-19.

Dinas Perhubungan DKI Jakarta telah membuat jalur sepeda sepanjang 63 kilometer. Di Jalan Sudirman-Thamrin, dibuat jalur sepeda permanen sepanjang 11,2 kilometer. Pada awalnya, jalur sepeda di jalan tersebut hanya dipisahkan menggunakan traffic cone. Pemasangan planter box yang terbuat dari beton menandakan bahwa jalur sepeda tersebut bersifat permanen.

Pemprov DKI Jakarta menganggarkan dana hingga 28 miliar rupiah untuk memasang 4.000 planter box sepanjang 11,2 kilometer. Nominal tersebut juga sudah termasuk anggaran untuk membangun tugu sepeda senilai 800 juta rupiah. Tercatat, sudah terpasang 500 planter box per tanggal 31 Maret 2021. Dana yang digunakan berasal dari corporate social responsibility (CSR) yang merupakan pihak ketiga atau pihak swasta.

Meskipun baru mulai dibangun pada bulan Februari, keberadaan jalur sepeda permanen di Jalan Sudirman-Thamrin telah menuai polemik. Setelah diujicobakan, isu mengenai pembongkaran jalur sepeda permanen tersebut mulai menyeruak ke publik. Munculnya isu tersebut berawal dari rapat Komisi III DPR RI dengan Kapolri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/6). Wacana pembongkaran tersebut akhirnya menuai pro dan kontra baik di kalangan pejabat maupun masyarakat.

Keberadaan planter box permanen dianggap sebagai bagian dari upaya Pemprov DKI Jakarta untuk terus mengupayakan peningkatan fasilitas penunjang jalur sepeda. Adanya planter box tersebut akan lebih memberikan rasa aman dan nyaman bagi para pesepeda. Kendaraan bermotor pun tidak mudah untuk menerobos masuk.

Meskipun demikian, perencanaan pembangunan jalur sepeda permanen tersebut dinilai kurang matang dan kurang memperhatikan skala prioritas masyarakat. Pemerintah DKI Jakarta seharusnya jeli dalam menentukan tingkat urgensi penyediaan jalur sepeda. Keputusan ini dianggap kurang memperhatikan kebutuhan utama masyarakat karena pengguna kendaraan bermotor jauh lebih banyak dibandingkan pengguna sepeda.

Keberadaan planter box juga dinilai berbahaya dan meningkatkan risiko fatalitas apabila terjadi kecelakaan di jalur tersebut, seperti tabrakan antara kendaraan dengan planter box yang terbuat dari beton. Adanya jalur sepeda permanen juga dinilai telah menimbulkan diskriminasi baik antara pesepeda dengan pengguna kendaraan bermotor maupun antara sesama pesepeda.

Lantas, apakah wacana pembongkaran jalur sepeda permanen di Jalan Sudirman-Thamrin sudah tepat? Atau wacana tersebut justru mencerminkan pembuat kebijakan yang tidak mengkaji ulang secara matang sehingga cenderung berpikir kuratif?

Pemprov DKI Jakarta mempunyai tujuan jangka panjang untuk terus memperbaiki, meningkatkan, dan mengintegrasikan moda transportasi yang ramah lingkungan. Hal tersebut tentu harus diimbangi dengan peningkatan fasilitas penunjang yang selaras, seperti peningkatan proteksi jalur sepeda. Jalur sepeda yang dibuat permanen mengindikasikan bahwa Pemprov DKI Jakarta benar-benar ingin memberikan keamanan dan kenyamanan dalam bersepeda.

Jalur sepeda permanen ini juga menjadi upaya untuk menyukseskan program Jakarta Ramah Bersepeda. Menurut Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, jalur sepeda permanen ini bertujuan untuk mendukung kebijakan transportasi yang berorientasi transit. Jalur sepeda permanen tersebut juga nantinya akan diintegrasi dengan fasilitas layanan angkutan umum massal.

Namun, memang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam kebijakan yang berhubungan dengan pembangunan fasilitas transportasi di DKI Jakarta masih saja menuai polemik.

Jalur sepeda permanen dianggap tidak efektif karena masih banyak pelanggaran yang terjadi di jalur tersebut. Sebagai contoh, masih terdapat pengguna kendaraan bermotor yang menerobos masuk atau justru pengguna sepeda yang tidak memanfaatkan jalur yang tersedia sebagaimana mestinya.

Keputusan untuk membongkar jalur sepeda permanen menjadi kurang bijak apabila hanya karena alasan pelanggaran tersebut. Sebab berbicara mengenai pelanggaran, hal tersebut juga sering terjadi di jalan raya pada umumnya. Untuk itu, peran stakeholder yang terkait seperti kepolisian juga sangat dibutuhkan untuk mengawasi hal ini.

Kebijakan yang memperbolehkan pengguna road bike di Sudirman-Thamrin untuk melintas di jalur kendaraan bermotor pada hari Senin-Jumat pukul 05.00-06.30 WIB juga dinilai sebagai bentuk diskriminasi. Pemprov DKI Jakarta dianggap memberi keistimewaan bagi pengguna road bike karena pesepeda lainnya dilarang melintasi jalur tersebut.

Pengguna road bike yang umumnya melaju dengan kecepatan tinggi dinilai terlalu berisiko apabila melintasi jalur sepeda tersebut. Akibatnya, karena dianggap tidak mampu memfasilitasi pengguna road bike, jalur sepeda permanen yang menghabiskan dana miliaran rupiah tersebut dianggap tidak berfungsi secara optimal.

Namun, apabila isu diskriminasi ini juga menjadi argumen pendukung dibongkarnya jalur sepeda permanen, sebaiknya wacana pembongkaran ini tidak hanya dilihat dari sudut pandang pengguna road bike saja.

Kebijakan yang memperbolehkan road bike melintasi jalur kendaraan bermotor pada jam tertentu sebenarnya bertujuan agar keselamatan dan kenyamanan para pesepeda dapat terpenuhi. Waktu yang dipilih juga dipertimbangkan karena pada jam tersebut, jalan dinilai belum terlalu ramai dilintasi oleh kendaraan bermotor sehingga aktivitas pengguna road bike dapat tersalurkan tanpa mengganggu pengguna kendaraan lainnya.

Sementara itu, pengguna sepeda lainnya tetap membutuhkan jalur tersebut untuk melakukan aktivitas sehari-hari, seperti pergi bekerja. Hal ini sebagaimana tujuan jangka panjang pembangunan jalur sepeda tersebut, yaitu menjadikan sepeda sebagai moda transportasi untuk mobilitas, tidak sekadar menyalurkan hobi.

Di sisi lain, argumen yang menyatakan bahwa keberadaan jalur sepeda permanen dengan planter box meningkatkan risiko fatalitas juga harus dikaji ulang. Pengkajian ulang sebaiknya dilakukan secara komprehensif, artinya tidak hanya memperhatikan kepentingan pesepeda saja, tetapi juga memperhatikan kepentingan pengguna kendaraan lainnya. Apabila keberadaan planter box secara faktual terbukti membahayakan, berarti memang hal tersebut wajib dikaji ulang dan segera ditemukan solusinya.

Wacana pembongkaran jalur sepeda permanen harus dipertimbangkan dengan matang, mengingat pembangunannya pun memakan biaya yang tak sedikit. Selain itu, partisipasi dan pendapat masyarakat sebagai objek sasaran dalam wacana ini juga diperlukan. Adanya kajian berbasis bukti atau fakta lapangan juga perlu disesuaikan dengan regulasi yang ada sebelum memutuskan untuk melakukan pembongkaran atau tidak.

Dalam rencana-rencana pembangunan kota, termasuk dalam pembangunan fasilitas transportasi, memang sangat perlu bagi perencana untuk bisa melihat dan memahami secara komprehensif. Hal tersebut dibutuhkan agar tujuan pembangunan yang berkelanjutan dapat tercapai. Pada akhirnya, sebuah kebijakan yang terlanjur ditetapkan tanpa memperhatikan skala prioritas dan kebutuhan masyarakat cenderung hanya memboroskan anggaran. Pembuat kebijakan juga seolah cenderung berpikir secara kuratif, bukan preventif, dalam menyikapi polemik ini.

Hal penting yang juga tidak boleh dilupakan ialah kebijakan yang dibuat juga harus disesuaikan dengan objek yang menjadi sasaran. Dalam artian, ketika hendak mewujudkan program Jakarta Ramah Bersepeda, point of view atau perspektifnya tidak hanya dilihat dari pesepeda itu sendiri, tetapi juga harus memperhatikan pengguna jalan lainnya. Ke depannya, masih perlu inovasi-inovasi agar jalur sepeda benar-benar bisa mengakomodasi para pengguna sepeda tanpa mengorbankan pengguna jalan lainnya.

Tulisan oleh Indah Wildan Nuriah
Data oleh Reiner Arya
Gambar oleh Davina Fairuz Zain

Artikel Terkait