Beranda Opini Patriarki: Stigma Kelam yang Tak Kunjung Hilang

Patriarki: Stigma Kelam yang Tak Kunjung Hilang

oleh Redaksi

Masyarakat belum bersinergi untuk memutus rantai patriarki. Dampak yang terjadi karenanya semakin dinormalisasi. Dunia kerja menjadi salah satu tempat patriarki berdiri. Lantas, apa dampak yang terjadi karena hal tersebut?

Banyak kesalahan konsep yang terjadi di masyarakat tentang gender dan seks. Anindya Restuviani, Direktur Program Lintas Feminis Jakarta, memaparkan perbedaan seks dan gender pada acara Sintesa Diskusi Berat UGM (27/3). Seks adalah jenis kelamin, yakni perbedaan anatomis serta biologis. Sementara, gender adalah peran sosial, karakter, identitas, tanggung jawab, dan wewenang relatif yang diberikan pada suatu jenis kelamin dalam suatu budaya, lokasi, masyarakat, dan waktu.

Berkaitan dengan ranah gender dan seks, terdapat budaya patriarki yang mengakar. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, patriarki adalah perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Patriarki termasuk salah satu faktor utama penghambat terwujudnya kesetaraan gender.

Menilik kehidupan dalam budaya patriarki, seberapa besar kaum laki-laki diutamakan dalam masyarakat? Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2016 perempuan yang menduduki posisi pemimpin di Indonesia hanya sebanyak 24,17 persen sedangkan sisanya masih didominasi kaum laki-laki. Pada tahun 2020, upah rata-rata buruh laki-laki lebih besar (2,98 juta rupiah) dibandingkan dengan upah rata-rata perempuan (2,35 juta rupiah). Fakta ini membuktikan bahwa patriarki juga merasuk dalam dunia kerja dan profesional.

Peningkatan kepedulian masyarakat terhadap isu kesetaraan gender memberikan dampak yang positif untuk perempuan. Berdasarkan data dari BPS pada tahun 2019, persentase jumlah manajer perempuan meningkat menjadi 30,63 persen dari tahun sebelumnya sebesar 28,97 persen. Menurut Forbes, Indonesia memiliki dua perempuan yang masuk ke dalam daftar “The World’s 100 Most Powerful Women 2020.” Mereka adalah Nicke Widyawati (Direktur Utama Pertamina) dan Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan Republik Indonesia). Fakta ini menjadi sebuah bukti bahwa perempuan Indonesia sebenarnya mampu menempati posisi pemimpin jika diberikan ruang gerak dan kesempatan.

Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang hidup dengan budaya patriarki. Bahkan, negara-negara maju seperti Korea Selatan dan Amerika Serikat pun memiliki masalah yang sama. Berdasarkan Global Gender Gap Report tahun 2020 dari World Economic Forum, indeks kesetaraan gender Indonesia menempati peringkat ke-85 dari 153 negara. Dimensi yang diukur adalah partisipasi ekonomi, pencapaian pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan politik perempuan di suatu negara.

Laporan tersebut dapat didukung dengan data terkait jumlah perempuan yang berperan di lembaga negara oleh Komisi Pemilihan Umum. Dalam lingkup DPR RI, jumlah perempuan hanya sebesar 19,48 persen. Padahal, sebagai lembaga perwakilan rakyat terbesar, DPR RI menjadi salah satu cerminan keadaan negara. Jadi, tidak heran jika Indonesia menempati posisi 50 persen terbawah.

Patriarki dan Stigma Menyertai

Dewasa ini, masih ditemui stigma di lingkup masyarakat bahwa perempuan kurang berpotensi menduduki posisi pemimpin. Dilansir dari ksi-indonesia.org, pada tahun 2018 jumlah PNS perempuan mencapai 51 persen tetapi yang dipercaya menempati jabatan utama dan madya hanya sekitar 13 persen. Ada beberapa alasan yang mendasari pendapat tersebut. Pertama, emosi perempuan dianggap kurang stabil. Dilansir dari katadata.co.id, perempuan memiliki prevalensi depresi yang lebih tinggi (7,4 persen) daripada laki-laki (4,7 persen).

Kedua, perempuan memiliki fase menstruasi dan hamil sehingga dianggap dapat mengurangi fleksibilitas serta produktivitas dalam bekerja. Lingkungan kerja yang kurang ramah terhadap perempuan yang memiliki anak tidak jarang memaksa mereka untuk memilih antara karir atau keluarga. Dilansir dari bbc.com, jumlah perempuan yang mengundurkan diri dari pekerjaan karena menikah dan memiliki anak sekitar 40 persen.

Ketiga, perempuan dianggap tidak memiliki kekuatan fisik yang cukup untuk menduduki suatu pekerjaan. Padahal kekuatan fisik bukanlah satu-satunya faktor penentu kelayakan seseorang untuk menduduki suatu jabatan di pekerjaan. Dikutip dari lokadata.id, jumlah manager di Indonesia pada tahun 2019 masih didominasi Generasi X (40-55 tahun) sebanyak 2,1 juta orang sedangkan Generasi Milenial dan Generasi Z masing masing sebanyak 1,1 juta orang dan 65 ribu orang. Data tersebut menjadi bukti bahwa kekuatan fisik bukanlah tolok ukur utama. Pasalnya, Generasi Milenial dan Z yang memiliki kekuatan fisik lebih baik justru lebih sedikit menduduki posisi pemimpin daripada Generasi X.

Apabila ditinjau dari struktur biologis otak manusia, otak laki-laki dan perempuan tidak memiliki banyak perbedaan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh salah satu tim dari Cambridge University dan dipublikasikan dalam jurnal Neuroscience and Biobehavioral Reviews, ukuran otak laki-laki memang lebih besar daripada perempuan. Hal ini mungkin yang mendasari anggapan masyarakat bahwa laki-laki lebih unggul. Anggapan yang kurang berdasar tersebut dipatahkan dengan penelitian. Namun, hal tersebut belum banyak diketahui masyarakat umum. Jurnal yang sama menyebutkan bahwa korelasi antara kecerdasan dan ukuran otak manusia memang memiliki nilai yang positif tetapi sangat kecil.

Di sisi lain, ilmu pengetahuan modern menemukan beberapa kelebihan otak perempuan. Corpus callosum yang terletak antara otak besar dan sistem limbik berfungsi menghubungkan otak kanan dan otak kiri. Corpus callosum pada perempuan lebih tebal dibandingkan dengan laki-laki sehingga perempuan lebih baik dalam hal multitasking (Suyadi, 2018).

Selain itu, area broca yang berfungsi meregulasi bahasa dan memahami pembicaraan pada perempuan juga lebih luas daripada laki-laki. Hal ini menyebabkan perempuan memiliki kemampuan linguistik lebih baik dan terkadang dianggap cerewet (Suyadi, 2018). Jika kualifikasi pemimpin hanya diukur dari kemampuan otak, perempuan juga mampu memimpin karena memiliki otak yang lebih stabil. Dilansir dari merdeka.com, otak laki-laki lebih cepat menua daripada otak perempuan.

Lantas, apakah perempuan harus “sama” dengan laki-laki agar bisa diperhitungkan dalam masyarakat? Jika terwujudnya kesetaraan memiliki syarat kesamaan, maka hal itu akan membuat lubang ketidakadilan menganga semakin lebar. Jangankan antara laki-laki dan perempuan, setiap individu yang ada di bumi ini saja memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Setara bukan berarti sama, manusia diciptakan dengan fungsi dan tujuannya masing-masing. Tidak ada manusia yang lebih tinggi derajatnya dari manusia lain sehingga tidak ada hak seseorang untuk merendahkan ataupun menghakimi manusia lain. Bayangkan jika perempuan dan laki-laki mendapatkan tuntutan yang sama sedang tidak ada toleransi diantaranya.

Laporan Jejak Jurnalis Perempuan oleh Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) memberikan beberapa gambaran tentang kesetaraan yang kurang dibarengi dengan toleransi. Berdasarkan laporan ini, ada beberapa indikator yang diprioritaskan untuk dibenahi seperti tempat penitipan anak, kebijakan cuti haid, kesempatan menyusui, dan jam istirahat yang kurang didapatkan jurnalis perempuan.

Jurnalis bekerja tidak terbatas waktu dengan tuntutan yang tinggi. Sementara untuk jurnalis perempuan, mereka masih harus mengerjakan urusan rumah tangga yang membuatnya kelelahan. Bahkan, hingga sesuatu yang menjadi kodrat perempuan yaitu menyusui dan melahirkan dianggap mengganggu proses produksi perusahaan. Hal ini menyebabkan jurnalis perempuan harus ekstra berusaha supaya dinamika antara karir dan keluarganya tetap seimbang.

Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa pekerja perempuan berhak mendapatkan cuti tiga bulan sebelum dan sesudah melahirkan. Selanjutnya, untuk keguguran, pekerja mendapatkan cuti 1,5 bulan atau sesuai keterangan dokter. Kebijakan tersebut termasuk perlakuan berbeda di tempat kerja untuk melindungi perempuan.

Masyarakat menaruh perhatian khusus untuk kebijakan tersebut, hal ini terlihat dari respons masyarakat ketika berita RUU Omnibus Law mulai beredar. Dikutip dari money.kompas.com, salah satu poin RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang ramai diperbincangkan adalah hak cuti hamil dan haid karena beredar informasi yang salah. Informasi tersebut menjelaskan bahwa RUU Cipta Kerja menghapus cuti hamil dan melahirkan.

Keselarasan Permintaan dan Tindakan Perempuan

Mereka yang menggaungkan kesetaraan juga harus mengkaji lebih dalam mengenai hak dan kewajiban tiap individu. Terkadang perempuan modern dengan idealismenya lupa untuk menghargai dan memanusiakan pasangannya. Perempuan sekarang banyak yang memiliki penghasilan lebih tinggi daripada pasangannya, hal ini terkadang menyebabkan perempuan merasa superior dan berhak merendahkan pasangannya. Berdasarkan penelitian dari National Bureau of Economic Research, disebutkan bahwa rumah tangga dengan istri yang berpenghasilan lebih tinggi dari suami memiliki potensi perceraian yang lebih besar.

Selain itu, perempuan tidak hanya bisa menjadi korban pelecehan seksual tetapi juga pelaku. Pelecehan seksual bisa dialami oleh siapapun, tidak terbatas jenis kelamin tertentu saja. Salah satu contoh pelecehan seksual yang dialami oleh laki-laki dapat dilihat pada perhelatan Asian Games 2018 yang menghadirkan idola baru untuk kaum perempuan. Idola tersebut adalah Jonatan Christie, peraih medali emas ke-23 untuk Indonesia pada cabang olahraga bulutangkis.

Seiring dengan bertambahnya orang yang mengenalnya, pelecehan seksual yang dialaminya meningkat. Banyak dari kaum perempuan yang membanjiri kolom komentar media sosial pribadinya dengan ucapan yang tidak semestinya. Hal itu merupakan salah satu pelecehan secara verbal.

Sangat disayangkan, pelecehan terhadap laki-laki dianggap sebagai hal yang wajar. “Bilang aja lo seneng, gausah munafik deh,” terkadang terdengar di masyarakat. Dikutip dari ussfeed.com, berdasarkan survey yang dilakukan pada 2019, sebelas persen atau satu dari sepuluh laki-laki pernah mengalami pelecehan seksual.

Contoh lainnya, di kantor polisi juga hanya terdapat Unit Pelayanan Perempuan dan Anak sebagai tempat mengadu dan melaporkan kejadian tidak menyenangkan yang mereka alami. Sementara itu, tidak ada tempat bagi laki-laki untuk melaporkan tindakan yang sama. Meskipun prevalensi kekerasan perempuan dan domestik memang lebih tinggi, tetapi hal tersebut tidak dapat menjustifikasi kenyataan bahwa laki-laki dapat pula mengalami hal serupa. Budaya patriarki menuntun masyarakat berpikir bahwa laki-laki adalah makhluk kuat tanpa keluh kesah dan pengalaman pahit.

Pada dasarnya, perempuan maupun laki-laki memiliki kewajiban yang sama untuk menghargai dan menghormati sesama. Kita semua juga mempunyai hak yang sama untuk mengekspresikan diri serta dianggap manusia oleh manusia lainnya. Idealnya, pemimpin ditentukan bukan berdasarkan dari jenis kelamin, ras, atau sukunya, melainkan dari kemampuan dan kesanggupannya untuk menerima amanat di pundaknya.

Ini bukan persoalan yang benar dan salah ataupun yang memimpin dan dipimpin. Namun, soal kedewasaan kita dalam menyikapi masalah yang ada tanpa menyudutkan ataupun menuntut pihak lain.

Tulisan oleh Nada Gitalia
Data oleh Nandhita Noorviana Puspita Dewi
Gambar oleh Crysanda Faza Kinanti

Artikel Terkait