Beranda Opini Prahara Simawar Teknik Sipil

Prahara Simawar Teknik Sipil

oleh Redaksi

Pengisian Kartu Rencana Studi (KRS) merupakan hal yang tak asing lagi bagi para mahasiswa. Pengisian KRS menjadi suatu kewajiban mahasiswa ketika hendak memulai semester baru. Di Universitas Gadjah Mada, terkhususnya Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, istilah simawar atau simaster war bukan lagi merupakan hal yang asing. Lantaran, hal tersebut telah menjadi tradisi tiap semester yang dilakukan para mahasiswa semester tiga ke atas.

Simawar ini merupakan diksi yang dipakai mahasiswa untuk menggambarkan proses pengisian KRS. Bagaimana tidak, tiap mahasiswa pada tiap semester berlomba-lomba untuk mendapatkan kelas sesuai dengan pilihannya. Pemilihan kelas tersebut tentunya dilatarbelakangi dengan alasan yang bervariasi, salah satunya ingin mendapatkan susunan jadwal terbaik.

Beragam alasan lainnya juga turut andil dalam menciptakan medan tempur pada pengisian KRS ini. Beragam strategi pun disusun demi tercapainya keinginan untuk mendapatkan kelas impian. Mulai dari memastikan koneksi internet, menggunakan lebih dari satu perangkat, hingga menggunakan sejumlah software extension.

Akar Masalah
Sebagai tanda dimulainya perkuliahan Semester Gasal 2021/2022, Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan (DTSL) FT UGM melaksanakan pengisian KRS yang berlangsung pada hari Senin, 9 Agustus 2021 pukul 11.00 WIB hingga Kamis, 12 Agustus 2021. Dalam pembukaannya, terlihat Akademik DTSL telah merealisasikan aspirasi yang disampaikan oleh mahasiswa saat hearing departemen sebelumnya.

Pembukaan kuota kelas dinilai cukup baik dari sisi ketersediaan kuota lantaran kuota yang ditawarkan cukup banyak sebagai awalan pembukaan KRS, yakni sekitar 30 kursi. Hal itu jelas membaik dibanding KRS pada semester sebelumnya, dimana pihak akademik membuka kuota dengan kapasitas yang sangat sedikit, yaitu 5 – 10 kuota per penambahannya.

Namun, proses pengisian KRS ini tak langsung berjalan mulus. Terdapat beberapa kendala terkait mata kuliah yang ditawarkan. Contohnya, penamaan mata kuliah terlampir pada pengisian KRS masih merujuk pada mata kuliah kurikulum 2016. Padahal, Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan sendiri telah melakukan sosialisasi perubahan kurikulum, yaitu dari kurikulum 2016 menjadi kurikulum 2021.

Selain itu, belum tersedianya pilihan mata kuliah kurikulum 2021 pada pengisian KRS juga mengindikasikan ketidaksiapan pihak akademik dalam menyongsong kurikulum baru. Misalnya saja, mata kuliah Solusi Numerik untuk Persamaan Diferensial yang merupakan mata kuliah wajib baru di semester V masih belum tersedia pada awal pengisian KRS.

Meskipun terkesan sepele, tetapi hal tersebut justru malah menjadi awal permasalahan yang berbuntut panjang. Celah-celah kesalahan seperti ini seharusnya dapat dihindari apabila akademik berkenan mengadakan simulasi sebelum pengisian KRS dengan mengundang beberapa perwakilan mahasiswa.

Huru-hara Masih Bersambung ….

Akhirnya, setelah menginformasikan kejadian tersebut kepada pihak akademik DTSL, permasalahan-permasalahan tersebut pun dapat menemui titik terang. Mata kuliah yang dulunya masih bernamakan sesuai mata kuliah kurikulum 2016, telah berganti menjadi nama mata kuliah yang sesuai dengan kurikulum 2021. Selain itu, pilihan mata kuliah baru yang ditawarkan pada kurikulum 2021 pun telah ditampilkan pada layar pengisian KRS.

Alih-alih merasa kendala telah selesai, kendala baru timbul sebagai lanjutan dari kendala yang telah ada. Permasalahan terjadi ketika banyak mahasiswa yang sudah mendapat kelas pada hari pertama periode pengisian KRS menemukan bahwa mata kuliah yang telah dipilih tidak berubah secara otomatis menjadi mata kuliah kurikulum 2021 di KRS. Walaupun penamaan mata kuliah pada bagian pengisian KRS telah direvisi oleh akademik, masih ditemukan nama serta kode mata kuliah kurikulum 2016.

Melihat hal tersebut, akademik DTSL menganjurkan mahasiswa untuk membatalkan kelas kurikulum 2016 dan memilih kembali mata kuliah kurikulum 2021. Bak menegakkan benang yang basah, permintaan itu menjadi sukar untuk diindahkan mahasiswa. Salah satu hal yang melatarbelakanginya ialah KRS yang telah disetujui Dosen Pembimbing Akademik (DPA) sehingga pembatalan kelas tidak dapat dilakukan sepihak oleh mahasiswa.

Ketidakrelaan melepas kelas yang telah didapat juga menjadi penyebab keengganan mahasiswa. Mahasiswa khawatir bilamana mereka membatalkannya, maka akan langsung direbut oleh mahasiswa lainnya. Kekhawatiran itu pun menjadi sangat wajar mengingat peliknya persaingan dalam memperebutkan kelas incaran, khususnya di kalangan mahasiswa teknik sipil UGM. Sebagai gambaran, kuota 30 orang di banyak kelas mata kuliah wajib yang dibuka langsung penuh pada menit pertama hari pertama periode pengisian KRS.

Mengambil langkah untuk menyelesaikan huru-hara ini, pihak akademik menginisiasi pendataan, baik bagi mahasiswa yang masih terdaftar pada mata kuliah kurikulum 2016, bentrok kelas, hingga mahasiswa yang tidak mendapat kelas akibat kehabisan kuota. Langkah ini sebenarnya dirasa baik lantaran inisiatif akademik dalam memfasilitasi para mahasiswa.

Niat Mulia dengan Impresi yang Kurang Tepat

DTSL kemudian mengundang mahasiswa yang memiliki kesalahan kurikulum di KRS untuk melakukan perbaikan bersama pada Minggu, 15 Agustus 2021 pukul 16.00 WIB. Pertemuan diawali dengan pertanyaan yang diajukan oleh Ketua Program Studi (Kaprodi) S1 Teknik Sipil kepada salah satu mahasiswa terkait alasan dibalik terpilihnya mata kuliah kurikulum 2016. Selanjutnya, beliau memastikan apakah yang bersangkutan mengikuti sosialisasi kurikulum 2021 atau tidak.

Pertanyaan yang cenderung bernada sarkasme itu terlihat seolah mengisyaratkan mahasiswa tersebut tidak mendengarkan sosialisasi kurikulum 2021. Padahal, realitanya hanya tersedia mata kuliah kurikulum 2016 pada pengisian KRS yang menyebabkan mahasiswa tidak bisa memilih mata kuliah kurikulum 2021.

Impresi kurang bersahabat yang disematkan pada pembukaan pertemuan daring tersebut dirasa kurang mengenakkan oleh beberapa mahasiswa. Tensi yang cukup tinggi dan pertanyaan menyudutkan yang ditujukan kepada salah satu mahasiswa menjadi sangat disayangkan. Ditambah lagi, spreadsheet dan form yang sebelumnya diberikan (sebagai solusi) oleh pihak akademik terhitung banyak dan menyebabkan kebingungan.

Kurangnya komunikasi dan koordinasi ini berdampak pada timbulnya ketidaksesuaian pemahaman antara kedua belah pihak yang berujung pada kesalahpahaman sehingga memungkinkan timbulnya kekesalan. Jika dilihat kembali, permasalahan ini menjadi roda yang terus bergulir dan tak berhenti. Ibarat kata pepatah, karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Buntut panjang ketidaksiapan menyambut pengisian KRS kurikulum baru ini membuat huru-hara kian memanjang.

Skenario resolusi yang ditawarkan pihak akademik adalah dengan membuka kembali pengisian KRS. Mahasiswa yang rencana studinya telah disetujui diminta untuk menghubungi DPA agar dibatalkan dan kemudian melakukan pengisian KRS kembali dengan catatan mahasiswa hanya diperbolehkan mengambil kelas yang sama dengan kelas yang telah diambil sebelumnya.

Terlihat setelah satu jam berlalu, pertemuan itu masih belum juga menyelesaikan permasalahan yang ada. Sebaliknya, pertemuan tersebut malah kembali diwarnai oleh sejumlah kendala baru. Mahasiswa dengan rencana studi yang masih berbasis kurikulum 2016 masih belum kunjung dibatalkan oleh DPA. Oleh karena itu, pihak departemen mengagendakan kembali pertemuan lanjutan sejam setelahnya.

Yah, Masih Belum Berakhir Juga…
Solusi yang sama dengan sebelumnya kembali ditawarkan pihak akademik. Akan tetapi, pertemuan ini lagi dan lagi berjalan dengan cukup alot. Beberapa mahasiswa yang sebelumnya telah mendapatkan kelas malah kehabisan kelas setelah membatalkannya sesuai dengan arahan akademik. Hal ini terjadi karena mahasiswa yang belum mendapatkan kuota kelas pada pengisian KRS sebelumnya ikut melakukan pemilihan kelas. Maka dari itu, dengan jumlah kuota yang sama dan jumlah pemilih yang lebih banyak, otomatis menyebabkan kuota kelas habis.

Namun, pengambilan kuota mata kuliah tersebut tidak dapat disalahkan sepenuhnya kepada mahasiswa. Hal tersebut telah disetujui oleh Kaprodi melalui pertanyaan yang ditanyakan mahasiswa pada pertemuan pertama, yaitu terkait pengambilan mata kuliah yang belum sempat terambil pada periode pengisian KRS normal. Pertanyaan itu akhirnya dijawab dengan perizinan oleh Kaprodi.

Kehabisan kuota kelas ini terjadi akibat kurangnya keselarasan pemahaman antara kedua belah pihak sehingga permasalahan masih terus berlanjut dan tak berujung. Menjadi sangat disayangkan ketika pertemuan ini harus diakhiri secara sepihak oleh DTSL beberapa saat setelah berlangsung dan meninggalkan berbagai ketidakpastian. Bak berjalan dengan mata tertutup, begitulah perasaan mahasiswa yang belum kunjung mendapatkan kelas. Tidak tahu apa dan bagaimana kelanjutannya.

Tak berselang lama, pihak departemen kembali memberikan form bagi mahasiswa yang belum menyelesaikan KRS-nya. Langkah ini merupakan langkah yang cukup bijak oleh pihak departemen dalam memfasilitasi para mahasiswa. Setidaknya, departemen beritikad baik untuk menyelesaikan persoalan KRS ini. Setelah meminta keterangan sejumlah mahasiswa yang telah mengisi form tersebut, mereka mengatakan bahwa pada akhirnya mereka berhasil mendapatkan kelas yang merupakan hak mereka. Permasalahan yang menguras tenaga dan emosi ini pun akhirnya dapat mencapai titik terang.

Kalau Dipikir-pikir …
Permasalahan seperti ini dapat kembali terjadi apabila pihak departemen dan mahasiswa tidak berbenah diri. Oleh karena itu, komunikasi serta koordinasi yang baik akan sangat membantu penyelesaian persoalan ini dan berlaku untuk permasalahan lainnya di luar pengisian KRS.

Baik mahasiswa dan pengurus bagian akademik harus saling kooperatif, saling membuka telinga, saling memahami permasalahan satu dan lainnya, serta menaruh empati. Menghindari pemakaian tensi dan nada yang tinggi juga dapat membantu menenangkan keadaan dan menghindari perselisihan. Bagaimanapun, komunikasi akan menjadi jalan keluar ketika kedua belah pihak mau saling menopangkan telinga dan mendengar pendapat satu sama lain.

Selain itu, penyesuaian bobot kerja dengan kuantitas staf akademik perlu diperhatikan demi optimalnya kinerja para staf mengingat beban kerjanya yang tinggi. Peningkatan ini diharapkan dapat mempermudah proses komunikasi dengan mahasiswa. Misalnya, dengan lebih responsif membalas whatsapp?

Tulisan oleh Benedictus Valerian Pradipta dan Giovanni Serena Siahaan
Gambar oleh Bagas Adi Wicaksono

Artikel Terkait