Beberapa waktu terakhir ini, ramai mahasiswa dan aktivis masyarakat berdemonstrasi menuntut agar pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) bisa diaktifkan kembali. Mereka menganggap bahwa orang-orang yang dinyatakan tidak lulus dan dinonaktifkan sebenarnya adalah para sosok yang gigih memberantas korupsi. Indonesia memang mengalami darurat korupsi. Oleh karena itu, masalah korupsi merupakan bahasan yang selalu menarik untuk diperbincangkan.
Pada tahun 1995, penulis sempat mengikuti Kursus Pimpinan Minyak dan Gas Bumi (Suspi Migas) yang diselenggarakan oleh PT Pertamina (Persero) bersama Lemhannas. Salah satu materi yang sangat penting untuk diingat dan dicamkan adalah bahwa setelah Perang Dunia II selesai, kekayaan alam Indonesia itu terkaya kelima di dunia. Itu terjadi pada tahun 1945 ketika kita menyatakan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus oleh Soekarno-Hatta. Sebagai wawas diri, bagaimanakah kondisi bangsa kita ketika merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan yang ke-76 pada tahun 2021? Ternyata Indonesia masih termasuk negara berkembang. Indonesia sempat dikategorikan sebagai negara maju, tetapi turun lagi statusnya hanya karena terserang wabah pandemi Covid-19. Hampir semua negara di dunia memang mengalami nasib yang sama. Sebagai pembanding, mungkin kita bisa berkaca dengan negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Negeri yang baru merdeka pada tanggal 1 Oktober 1949 itu, saat ini sudah menjadi negara adidaya (super power) baru dalam segala hal menyaingi Amerika Serikat dan Rusia. Lalu, apa yang terjadi dengan bangsa kita? Voltaire, pemikir bangsa Perancis, pernah menyatakan, ”Bukan kelangkaan uang, tetapi karena kelangkaan manusia berbakat lah yang membuat suatu bangsa menjadi merana.“
Sebagai negara berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa, apakah benar kita mengalami kelangkaan manusia berbakat? Apabila mengambil tolok ukur dari cabang olahraga sepak bola sebagai contoh, barangkali bisa dianggap benar. Indonesia pernah mengalami penjajahan Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang saling bergantian dalam waktu yang cukup lama, mestinya bisa mewarisi supremasi keunggulan dalam permainan olahraga sepak bola. Akan tetapi nyatanya, sangat jauh tertinggal bila dibanding dengan negara lain. Belum lagi masalah lain yang menyangkut ekonomi, teknologi, dan lain-lain, masih sangat jauh tertinggal. Kenapa ini bisa terjadi? Apakah memang tidak ada pembangunan di negeri ini?
Ekososiofisika
Sepak terjang suatu bangsa dapat diibaratkan seperti pergerakan suatu benda dari suatu titik ke ketinggian tertentu pada sudut kemiringan tertentu. Sampainya benda itu ke tujuan yang diinginkan ke tujuan yang diinginkan sangat bergantung pada bobot benda, sudut kemiringan bidang yang dilalui terhadap bidang horizontal, kekasaran atau friksi permukaan bidang yang dilewati, dan juga kecepatan gerak benda itu. Keberadaan suatu bangsa juga demikian. Tidak ada satupun bangsa di dunia ini yang ingin statis, jalan di tempat. Semuanya pasti ingin membangun dan ingin mengalami kemajuan walaupun hasilnya berbeda-beda. Ada yang maju dengan pesat dalam waktu yang relatif singkat, tetapi ada juga yang malah semakin terpuruk. Teori ilmu fisika yang diadopsi di atas, dapat juga dihubungkan dengan perjalanan suatu bangsa dalam merumuskan dan menapaki masa depannya. Bagaimanakah perjalanan suatu bangsa dalam mencapai kemajuan? Sejarah membuktikan bahwa setiap bangsa berbeda-beda cara menempuhnya dan berbeda-beda pula tingkat keberhasilannya. Mereka tergantung pada modal dasar yang dimilikinya, mutu Sumber Daya Manusia (SDM) yang merupakan perancang sekaligus pelaksana, derajat yang ingin dicapai (tingkat pertumbuhan ekonomi dan GNP yang ingin dicapai), friksi yang ada di dalam negeri dan pengaruh lingkungan dunia, percepatan gerak, daya nalar, serta etos kerja bangsa itu.
Upaya membangun jiwa dan raga bangsa untuk mencapai Indonesia Raya sebagaimana dinyatakan dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya serta usaha memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 merupakan cita-cita luhur dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ibarat benda, itulah arah gerakan yang ingin dituju benda itu. Betapa luhur cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dituangkan di dalam kedua pusaka tersebut.
Akan tetapi, pembangunan yang kita laksanakan belum berhasil seperti yang diharapkan. Bukan karena kelangkaan uang dan bukan juga karena kelangkaan SDM berbakat yang kita alami, melainkan karena friksi penghambat yang demikian besar dan berat yang dialami oleh bangsa Indonesia. Friksi yang demikian besar telah menggerogoti derap serta laju pembangunan ekonomi dan sosial sehingga menjadi terhambat mutu maupun pertumbuhannya. Friksi itu berupa korupsi. Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo yang merupakan tokoh arsitek pembangunan ekonomi Orde Baru pernah menyebut bahwa 30% dana pembangunan dikorupsi sehingga menimbulkan kemerosotan dalam ekonomi, sosial, politik, dan hukum. Bahkan, Fahmi Idris, tokoh demonstran Angkatan 1966 yang pernah menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi semasa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, mengakui bahwa pada masanya Indonesia pernah menduduki peringkat ke-5 dari 98 negara-negara terkorup di dunia (Suyatno dalam Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, 2005). Kondisi saat ini mungkin tidak beranjak jauh.
Korupsi identik dengan gejala masyarakat yang ingin serba instan. Mereka ingin semua harapan dan impiannya bisa tercapai dalam waktu cepat tanpa perlu mencurahkan banyak biaya, tenaga, pikiran, jerih payah, dan keahlian. Dalam hal ini, perilaku korupsi tidak memiliki hubungan atau relasi dengan produktivitas. Tidak akan ada output yang bermutu dan bernilai dari tindakan serta perilaku korupsi. Korupsi bisa dimaknai pula sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan/atau kewenangan yang melebihi batas yang diijinkan sehingga berkaitan pula dengan pelanggaran hak atas orang lain secara melawan hukum. Korupsi juga merupakan tindakan desosialisasi dan antisosial, yaitu suatu tindakan atau perilaku yang tidak mempedulikan hubungan-hubungan dalam sistem sosial. Mengabaikan kepedulian sosial adalah salah satu ciri dari perbuatan korupsi, dan contoh mutakhir justru dilakukan oleh Menteri Sosial Juliari P. Batubara yang saat ini sudah menghadapi proses hukum.
Korupsi bisa dipandang dari berbagai aspek, tergantung pada disiplin ilmu yang digunakan. Kasus memalukan yang ramai digunjingkan dan sedang ditangani KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) adalah Bupati Probolinggo yang terperosok dalam kasus jual-beli jabatan lalu Bupati Banjarnegara yang tersandung dalam kasus suap pengadaan barang dan jasa.
Oleh karena itu, sudah saatnya, Indonesia harus bangkit untuk melawan korupsi lebih keras dan bersungguh-sungguh lagi agar visi dan misi NKRI sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 bisa tercapai dengan baik dan cepat. Menurut Ustadz Abu Sangkan, untuk memberantas korupsi harus dimulai dari pemimpin dan para elitnya, termasuk dalam hal ini elit politik. Alhamdulillah, Presiden Joko Widodo telah memberi teladan yang baik. Dua kali menikahkan putra/putrinya tidak menggunakan Istana Kepresidenan dan tidak mau menerima kado atau bingkisan. Bahkan, setiap gratifikasi yang diterima selalu dilaporkan kepada KPK. Selanjutnya, Lembaga Pemeriksa seperti BPK, BPKP, dan Internal Audit di setiap instansi/BUMN/BUMD diharapkan mampu mengawal Indonesia Bangkit Melawan Korupsi yang sudah mencapai situasi darurat dewasa ini. Kesadaran bangsa Indonesia untuk Bangkit Melawan Korupsi juga mutlak diperlukan untuk secara bersama berhasil mencapai kejayaan pada tahun 2045 ketika kita merayakan HUT Kemerdekaan NKRI yang keseratus tahun nanti!*****
Tulisan oleh Muhammad Sadji