Kampus seharusnya menjadi tempat yang aman untuk belajar, berkarib, berekspresi, serta mengembangkan beragam potensi dalam diri. Akan tetapi, ada saja perkara yang tidak dikhayalkan terjadi dalam lingkungan kampus, salah satunya adalah kasus kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual ini sebenarnya bukanlah hal baru yang terjadi di kampus Indonesia. Jumlah kejadiannya pun sudah cukup banyak, hanya saja ada beberapa kasus yang tidak terungkap oleh media.
Alasan mengapa kasus ini bisa tidak terungkap salah satunya adalah karena korban kekerasan seksual tidak berani melapor ke bagian hukum. Siti Mazuma, Direktur LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan), dalam Kompas.com mengatakan bahwa keengganan korban untuk melapor adalah karena sistem hukum Indonesia yang belum memihak kepada korban.
Hingga akhirnya, pada tanggal 31 Agustus 2021, Kemendikbud Ristek menerbitkan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Peraturan ini diharapkan dapat menjadi pelindung secara hukum bagi mereka yang menjadi korban kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Alih-alih mendapatkan respons positif dari pihak luar, peraturan ini justru banyak menuai kontra dari beberapa pihak. DPR Fraksi PKS Komisi X dan Komnas HAM merasa tidak dilibatkan dalam perancangan Permendikbud tersebut. Selain itu, ada juga dari PP Muhammadiyah yang mempermasalahkan frasa “tanpa persetujuan korban” yang seakan-akan melegalkan perbuatan seks bebas apabila korban setuju, sehingga mereka meminta peraturan tersebut direvisi menjadi “kekerasan seksual yang terdiri dari paksaan dan suka sama suka dengan alasan norma dan etika”.
Frasa “tanpa persetujuan” yang dimaksud terletak pada Pasal 5 ayat (2) poin b, f, h, g, l, dan m, meliputi:
- Memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;
- Mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
- Mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
- Menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
- Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban; serta
- Membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban.
Esensi Permendikbud 30
Permendikbud 30 ini merupakan langkah yang baik untuk melindungi korban kekerasan seksual dari pelaku mengingat pada saat ini belum ada peraturan yang secara spesifik membahas kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Permendikbud 30 ini juga memberikan angin segar kepada mahasiswa untuk lebih berani dalam membela dirinya karena dalam peraturan itu dijelaskan secara detail bentuk-bentuk kekerasan seksual yang mungkin terjadi.
Adanya gap of power di lingkungan perguruan tinggi, misal antara dosen dan mahasiswa, memungkinkan terjadinya kekerasan seksual. Dosen yang mengharuskan mahasiswanya melakukan “sesuatu” agar diluluskan atau mendapatkan nilai merupakan salah satu dampak dari adanya gap of power tersebut.
Contoh kasus gap of power yang pernah terjadi adalah kasus mahasiswi UNRI yang sedang melakukan bimbingan dosen. Kasus ini berlangsung saat korban—dalam hal ini seorang mahasiswi—sedang melakukan bimbingan skripsi bersama dosen Syafri Harto. Korban bercerita ketika sedang bimbingan skripsi tidak ada orang lain selain mereka berdua di dalam ruangan. Korban pun dibuat terkejut ketika dosen pembimbingnya tiba-tiba bertanya mengenai kehidupan sehari-hari dan pekerjaannya. Lalu, diakhiri dengan pelaku mengucapkan kata “i love you” pada korban.
Tidak berhenti sampai di situ, korban juga mengaku ketika bimbingan skripsinya sudah selesai, korban yang hendak pamit bersalaman, tangannya tiba-tiba dipegang dan tubuhnya ditarik mendekat pada tubuh sang dosen. Sang dosen pun mencium pipi dan kening korban hingga meminta untuk mencium bibir korban. Korban yang ketakutan lantas mendorong tubuh dosen dan pergi. Korban berusaha melaporkan pada sekretaris jurusan, tetapi ia justru diminta untuk diam dan tidak menceritakannya kepada orang lain.
Dengan adanya Permendikbud 30 ini, apabila terjadi hal yang sama di kemudian hari, korban dapat mengetahui secara pasti bahwa perbuatan tersebut adalah salah satu bentuk kekerasan seksual di ranah hukum. Korban juga akan mendapatkan perlindungan dari ancaman-ancaman yang mungkin terjadi dari pihak pelaku serta mendapatkan kepastian bahwa kasusnya akan diusut hingga tuntas. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya peraturan bahwa semua perguruan tinggi wajib membentuk Satuan Tugas sebagai pusat pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Dalam peraturan tersebut, perguruan tinggi diwajibkan untuk melakukan pencegahan kekerasan seksual melalui pembelajaran, penguatan tata kelola, serta penguatan budaya komunitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan.
Setiap perguruan tinggi diminta untuk menyediakan layanan aduan kekerasan seksual, memasang tanda informasi yang berisi layanan aduan kekerasan seksual, dan peringatan bahwa kampus tidak menoleransi kekerasan seksual. Perguruan tinggi juga wajib melatih mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, serta warga kampus terkait upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Selain itu, perguruan tinggi diharapkan untuk melakukan sosialisasi secara berkala terkait pedoman pencegahan kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi.
Permendikbud 30 ini juga mengatur sanksi terhadap tindakan kekerasan seksual yang sudah terjadi. Mulai dari sanksi administratif ringan seperti teguran tertulis atau permintaan maaf secara tulis yang dipublikasikan, sedang seperti pemberhentian sementara dari jabatan, hingga berat seperti pemberhentian tetap.
Makna “Persetujuan Korban” dalam Konteks Kekerasan
Permendikbud ini pada hakikatnya adalah untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual di perguruan tinggi. Akan tetapi, adanya frasa “persetujuan korban” membuat peraturan ini menimbulkan pertentangan dari beberapa pihak.
Makna “persetujuan korban” pada konteks kekerasan seksual berbeda dengan konteks suka sama suka. Dalam konteks kekerasan seksual, “persetujuan” dapat timbul akibat dari ancaman atau pengaruh pelaku pada korban. Sedangkan dalam konteks suka sama suka, persetujuan datang dari motivasi kedua belah pihak. Dalam peraturan menterinya sendiri dikatakan bahwa persetujuan korban tidak berlaku apabila timbul dari ancaman atau pengaruh pelaku pada korban. Kasus persetujuan akibat pengaruh atau ancaman dari pelaku tersebut kemudian dianggap sebagai kasus kekerasan seksual.
Dalam Peraturan Menteri tersebut, kekerasan seksual diartikan sebagai setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.
Oleh karena itu, jika ingin mengatur mengenai kegiatan seksual yang dilandasi oleh suka sama suka, harus dibuat peraturan tersendiri dan tidak bisa digabungkan dengan Peraturan Menteri tentang PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi karena berada di luar cakupan dan konteks.
Selain berada di luar konteks, penggabungan dari peraturan mengenai kekerasan seksual dan seks bebas ke dalam Permendikbud 30 sebagai “kekerasan seksual yang terdiri dari unsur paksaan dan suka sama suka” akan menimbulkan dilema lainnya. Salah satu contohnya adalah korban kekerasan bisa seolah-olah juga dianggap sebagai pelaku. Misalkan terdapat kasus kekerasan seksual, kemudian korban melaporkan pelaku atas perbuatannya. Namun, dalam proses penyidikan, pelaku mengaku bahwa mereka memiliki hubungan dan saling menyukai. Proses penyelesaiannya akan menjadi lebih panjang karena terjadi perdebatan mengenai motivasi kedua belah pihak. Pengakuan pelaku tersebut juga akhirnya melemahkan status korban. Dengan demikian, korban bisa saja terjerat ke dalam sanksi itu sendiri apabila kasusnya tidak benar-benar diusut hingga tuntas.
Komentar-komentar yang sebatas mempermasalahkan sebuah frasa di dalam sebuah peraturan yang memiliki gebrakan-gebrakan baru untuk mencegah kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi seakan-akan kurang menangkap urgensi dari peraturan itu sendiri.
Akan lebih baik jika kita menunggu dalam berkomentar hingga peraturan tersebut diterapkan oleh perguruan tinggi mengingat Permendikbud 30 ini yang masih seumur jagung. Andaipun berkomentar maka dapat bertanya terkait bagaimana peraturan tersebut diterapkan di perguruan tinggi? Atau bagaimana pemerintah melalui Kemendikbud Ristek memonitor peraturan tersebut supaya benar-benar ditegakkan di setiap perguruan tinggi? Atau pertanyaan-pertanyaan lainnya yang berkaitan dengan penegakkan serta efektivitas peraturan tersebut.
Permendikbud 30 ini dapat menjadi payung hukum yang melindungi korban kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Alangkah baiknya apabila kita mendukung sepenuhnya agar Permendikbud 30 dapat diterapkan di kampus-kampus Indonesia. Dengan begitu, rasa aman dan nyaman akan tercipta bagi seluruh mahasiswa yang sedang menikmati masa perkuliahannya.
Tulisan oleh Hakan Malika Anshafa
Data oleh Shafa Arkan Athalla
Ilustrasi oleh Arieq Zulian