GLASGOW: COP26 dan Keputusan Akhirnya

Pada tanggal 31 Oktober hingga 12 November 2021, COP26 diadakan di Glasgow, Skotlandia, dengan melibatkan beberapa pemimpin negara untuk membahas tentang peralihan iklim global. COP26 merupakan singkatan dari Conference of the Parties ke-26 atau bisa diartikan sebagai Pertemuan Para Pihak. Dalam forum tingkat tinggi tersebut, terdapat 197 negara yang terlibat dalam pembahasan mengenai aturan sekaligus sistem yang akan digunakan untuk mengatasi isu perubahan iklim dunia.

Bagaimana Sejarah COP26?

COP26 adalah konferensi akbar nan krusial terkait iklim di planet kita, planet keempat dalam urutan tata surya, planet Bumi. KTT ini bermula dari penyelenggaraan Earth Summit oleh PBB pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brasil, yang menghasilkan The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Konvensi tersebut kemudian diadopsi dalam kegiatan COP26 tahun ini.

Melalui UNFCCC, kesepakatan banyak negara untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer tercipta dalam sebuah perjanjian yang ditandatangani oleh 197 pihak. Harapannya, gangguan berbahaya pada sistem iklim yang diakibatkan oleh manusia dapat dicegah. Setiap tahun, sejak 1994, PBB telah melibatkan setiap negara yang ada di bumi dalam COP atau KTT iklim global.

Apa Saja Pembahasan dari COP26?

Setelah melalui dua minggu yang panjang dengan berdialog, berdiskusi, serta mendapatkan protes dari beberapa pihak, COP26 di Glasgow akhirnya mencapai titik temu yang ditandatangani oleh hampir 200 negara. Pakta Iklim Glasgow yang berisi aspek-aspek penting berkaitan dengan iklim dunia menjadi hasil akhir dari perbincangan panjang tersebut.

COP26 diadakan untuk memperbarui serta memperkuat Perjanjian Paris atau Paris Agreement yang dibentuk dalam COP21 pada tahun 2015 silam. Perjanjian ini diperkuat karena belum ada kemajuan signifikan selama enam tahun ke belakang sehingga dinilai tidak mencapai target pemanasan global yang sebelumnya telah ditetapkan. Pada perjanjian tersebut, batas peningkatan suhu yang harus dipatuhi seluruh negara dalam KTT sampai tahun 2030 adalah 1,5 derajat celcius. Namun, pada tahun 2021, suhu bumi sudah bertambah sebesar 1 derajat celcius. COP26 menjadi tempat untuk bernegosiasi dengan fokus yang lebih ambisius pada target di tahun 2030.

Sebuah usaha preventif diperlukan untuk mencegah terjadinya perubahan iklim global. Oleh karena itu, dalam COP26 dibahas isu-isu penting yang dirasa mampu menjadi solusi dari kekhawatiran masyarakat dunia. Beberapa isu yang dibahas dalam COP26 di antaranya adalah pentingnya penyusunan aturan untuk pasar karbon global dan penggunaan kendaraan listrik sebagai alat transportasi. Selain itu, dibahas juga perihal penghentian deforestasi dengan bantuan keuangan dari negara maju dan subsidi untuk negara-negara berkembang. Lalu, bagaimana realisasi dari rencana yang dihasilkan dari pembahasan mengenai isu-isu tersebut?

Realisasi dari Rencana yang Diharapkan

Usaha preventif yang direncanakan tentunya dapat memberikan pengaruh terhadap roda kehidupan negara-negara di dunia, khususnya bagi negara berkembang. Salah satu aspek yang akan paling mendapat senggolan adalah keberlangsungan ekonomi suatu negara.

Oleh karena itu, hasil yang diharapkan setelah COP26 berakhir adalah adanya kompensasi sekaligus pendanaan dari negara-negara maju atas dampak ekonomi yang akan menimpa negara berkembang. Dana yang diberikan tentunya akan digunakan untuk memerangi dan menanggulangi perubahan iklim. Salah satu contohnya adalah membantu penerapan ekonomi yang lebih ramah lingkungan bagi negara-negara berkembang.

Selain itu, hasil COP26 juga mengharapkan setiap negara yang menandatangani perjanjian memiliki komitmen untuk mencapai target nol emisi dan pengurangan karbon secara bertahap serta progresif pada tahun 2030.

Permasalahan Batu Bara Mengubah Hasil Akhir COP26

Rencana-rencana yang diusulkan untuk mencegah perubahan iklim global yang diargumenkan oleh berbagai pihak dalam COP26 lama-kelamaan mendekati garis finish. Namun, tidak adanya veto dari hampir 200 delegasi yang hadir di Glasgow membuat Presiden COP26 Alok Sharma tampak emosional sebelum mengetuk palu penanda berakhirnya KTT iklim PBB.

Di menit-menit terakhir terjadi drama yang melibatkan India, Tiongkok, dan negara-negara pemakai batu bara lainnya karena merasa keberatan atas klausul penghapusan PLTU batu bara. Mereka meminta untuk merevisi bagian penghapusan penggunaan batu bara agar diganti dengan upaya penurunan penggunaan batu bara secara bertahap.

India merupakan negara yang sangat bergantung pada batu bara dan menjadi negara penghasil gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia, setelah Tiongkok dan Amerika Serikat. Kemudian, perlu diketahui bahwa pembangkit listrik tenaga batu bara diperkirakan akan tumbuh sebesar 4,6 persen setiap tahunnya hingga 2024.

Dilansir dari BBC, Menteri Lingkungan dan Iklim India Bhupender Yadav, dalam pidatonya di COP26, mempertanyakan bagaimana negara berkembang dapat berjanji untuk menghapus bahan bakar fosil serta batu bara secara progresif sementara pembangunan dan kemiskinan masih menjadi topik krusial yang perlu mereka tangani.

Laporan analisis Pew Research Center, 18 Maret 2021, menyebutkan bahwa sekitar 75 juta penduduk India jatuh ke dalam kemiskinan akibat pandemi Covid-19 dan menyumbang hampir 60% peningkatan kemiskinan global pada tahun 2020. Selain karena India merupakan negara industri yang masih berkembang, dampak dari wabah Covid-19 juga memberikan banyak pengaruh pada sektor ekonomi negaranya. Hal tersebut menunjukkan kesenjangan antara India dan negara-negara maju yang sudah mulai beralih menggunakan energi baru terbarukan.

Dalam diskusi tersebut, Tiongkok turut mendukung argumen yang disampaikan oleh India karena mereka juga merupakan salah satu negara industri pengguna batu bara. Jika mencermati pendapat dari negara-negara dengan basis industri material, pemberhentian penggunaan batu bara apalagi peralihan menggunakan energi baru terbarukan bukanlah perkara yang mudah.

Sebelumnya, mengutip dari Kompas, terdapat tiga keputusan akhir yang dihasilkan COP26. Keputusan tersebut berkaitan dengan negara adidaya berbahan bakar batu bara dan gas, produsen minyak, serta kesepakatan untuk menjaga kenaikan suhu bumi maksimal sebesar 1,5 derajat celcius. Ketentuan maksimal suhu ini sudah disetujui terutama oleh pulau-pulau Pasifik yang sangat terdampak kenaikan permukaan air laut.

Kemudian, intervensi selama 11 jam oleh India memberikan perubahan pada isi dari Pakta Iklim Glasgow yang akhirnya disetujui oleh 197 negara untuk mencapai kesepakatan bersama. Negara-negara yang terlibat setuju untuk mengganti penggunaan kata phase out atau menghilangkan penggunaan batu bara secara bertahap menjadi phase down atau mengurangi penggunaan batu bara secara bertahap.

Hasil akhir dari COP26 tentunya memberikan kekecewaan pada negara-negara pesisir dan kepulauan yang terancam menghadapi bencana karena kenaikan permukaan air laut.

Omong Kosong Belaka Atau Bukan?

COP26 berakhir dengan memberikan keputusan yang harus diadopsi oleh negara-negara dalam konferensi tingkat tinggi iklim PBB. Kemudian, muncul sebuah pertanyaan, “Apakah perubahan iklim global benar-benar bisa teratasi dengan keputusan tersebut?” sementara COP25 yang diadakan pada tahun 2019 silam dianggap tidak memberikan banyak perubahan pada dunia. Alasannya karena mekanisme pasar karbon dirasa tidak sesuai dengan ekspektasi dan janji yang ditetapkan.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, COP26 membahas tentang pemberhentian deforestasi (pengubahan area hutan menjadi lahan tidak berhutan secara permanen untuk aktivitas manusia) dengan bantuan ekonomi dari negara-negara maju. Namun, apakah negara-negara maju mampu memenuhi harapan untuk memberikan dana bantuan agar negara berkembang dapat melaksanakan usaha pencegahan perubahan iklim dengan meminimalkan dampak pada sektor ekonomi negaranya? Indonesia pun dalam KTT iklim PBB kemarin, sempat memberi penolakan pada usulan pemberhentian deforestasi karena pertimbangan ekonomi.

Negara-negara maju diminta untuk berpartisipasi dalam memberikan kucuran dana berbentuk climate finance dengan target 100 miliar dolar. Meskipun telah memberikan tanda tangan bukti persetujuan pada perjanjian yang dibuat melalui COP26, apakah negara maju benar-benar dapat memenuhi keputusan tersebut dengan baik? Karena pada dasarnya, setiap negara—termasuk negara maju—pasti masih memiliki hal-hal krusial lain yang perlu diurus dan tentunya membutuhkan dana dari negara.

Jika dana yang sebesar 100 miliar dolar tidak terpenuhi, rasanya sulit untuk memaksa negara-negara berkembang meninggalkan batu bara atau menghentikan deforestasi yang memberikan imbas pada ekonomi negara.

Dunia mengharapkan target net-zero emissions tercapai di tahun 2050, tetapi usaha sekaligus pencapaian setiap negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sangat beragam. Sebagai masyarakat, seharusnya kita mulai membuka pandangan terhadap lingkungan dan perubahan iklim yang terjadi di dunia. Pertanyaan seperti, “Mampukah dunia mengatasi perubahan iklim global?” seharusnya sudah pernah muncul di dalam pikiran meskipun hanya dalam waktu yang singkat.

Namun, bisakah? Jika melihat penggunaan bahan bakar batu bara dan fosil yang masih tetap berlanjut di masa depan, tentunya emisi gas rumah kaca di atmosfer juga akan bertambah.

Ada banyak aspek-aspek yang perlu diperhatikan mulai dari sekarang. Harus ada kesadaran pribadi yang dimunculkan dalam diri sendiri agar mampu ikut berkontribusi dalam pengurangan gas rumah kaca. Perlu diketahui bahwa, sebagai manusia, sudah sepantasnya masyarakat ikut melakukan usaha preventif agar bumi tetap terjaga. Karena kalau bukan kita, siapa lagi yang dapat membuat bumi bertahan?

Tulisan oleh Choirunnisa Qurratu
Data oleh Nabila Alifyya Husna
Gambar oleh Nibroos Muhammad Nashshoor