Kabar adanya pembengkakan dana sekitar Rp27 triliun dari Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) menjadi perbincangan hangat di khalayak Indonesia, terutama para insinyur. Terlebih lagi, penyelesaian pembengkakan dana tersebut pada akhirnya dibebankan pada APBN. Hal ini tidak sesuai dengan klaim awal Presiden Jokowi (15/9/15) yang menekankan bahwa pendanaan tidak akan menggunakan APBN.
Per November 2021, progres konstruksi proyek KCJB sudah sebesar 79%. Proyek yang nantinya menjadi pionir teknologi kereta cepat di Asia Tenggara ini direncanakan akan beroperasi pada akhir tahun 2022. Lantas, seperti apa teknologi dan infrastruktur yang digunakan dalam proyek ini hingga menelan biaya hingga Rp114,24 triliun?
Kerja Sama Indonesia-Tiongkok, Pucuk Dicinta Ulam Tiba?
Dilansir dari detik.com, gagasan megaproyek ini muncul pada masa Pemerintahan SBY (tahun 2014) dan ditindaklanjuti dengan studi kelayakan yang dibantu oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) terkait pengadopsian teknologi kereta cepat Shinkansen. Adopsi tersebut akan dilakukan untuk menghubungkan Jakarta dan Surabaya dengan fase pertama, yakni Jakarta–Bandung.
Walau sempat diputuskan untuk tidak diprioritaskan oleh Pemerintahan Jokowi pada awal terpilihnya, Jokowi akhirnya memunculkan rencana untuk melanjutkan proyek KCJB pada tahun 2015. Pada bulan Maret, Jokowi mengunjungi Jepang dan Tiongkok untuk membicarakan foreign direct investment (FDI). Kemudian pada bulan Juli, Pemerintah mulai menggaungkan “kontes pemilihan” antara Jepang dan Tiongkok. Kedua belah pihak saling adu tawaran dengan beberapa kali merevisi tawarannya.
Pemerintahan Jokowi sempat melakukan tarik ulur terkait keberlanjutan pembangunan proyek KCJB dan hampir membatalkannya. Barulah pada akhirnya, Tiongkok terpilih sebagai negara partner dalam proyek ini.
Dalam artikel Kompas (31/10/21), terdapat 3 alasan yang mendasari hal tersebut. Pertama, Tiongkok menjanjikan proyek tersebut bisa dilakukan murni dengan skema bisnis antar-BUMN kedua negara atau disebut business to business (B2B). Kedua, Tiongkok meyakinkan Pemerintah Indonesia bahwa Pemerintah Indonesia tidak perlu memberikan jaminan apa pun untuk proyek ini. Ketiga, Tiongkok menjanjikan akan terbuka soal teknologi yang digunakan sehingga memungkinkan adanya transfer ilmu.
Keputusan terpilihnya Tiongkok tentu membuat Jepang mengutarakan kekecewaannya dan menyebut tindakan ini sebagai hal yang tidak bijaksana, apalagi Jepang sudah membantu studi kelayakan. Dalam The Diplomat, Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Yoshihide Suga mengatakan bahwa tindakan Indonesia telah mengabaikan kebijaksanaan. Suga meragukan keberhasilan proyek yang tidak menggunakan pembiayaan pemerintah.
Sekilas Proyek KCJB
Beberapa negara kini berlomba-lomba mengembangkan teknologi kereta cepat yang lebih efisien. Pengembangan teknologi kereta cepat memang menjanjikan bagi kemajuan suatu negara. Pasalnya, infrastruktur transportasi yang andal merupakan tulang punggung keberhasilan berbagai sektor penggerak pertumbuhan ekonomi. Atas dasar tersebut, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk membangun KCJB di bawah PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) yang tertuang dalam Perpres No.107 Tahun 2015.
PT KCIC, pemilik proyek KCJB saat ini, bertanggung jawab atas pengerjaan proyek KCJB. Perusahaan ini merupakan gabungan dari konsorsium Indonesia, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PT PSBI) sebesar 60% saham, dan konsorsium Tiongkok, Beijing Yawan HSR Co. Ltd. sebesar 40% saham.
Hingga kini, pembangunan proyek ini masih terus digencarkan untuk mengejar target operasional pada akhir tahun 2022 mendatang. KCJB memiliki panjang trase 142,3 km (double track) yang terbentang dari Jakarta hingga Bandung dengan empat stasiun pemberhentian, yakni Halim, Karawang, Padalarang, dan Tegalluar (juga berfungsi sebagai depo). Setiap stasiun akan terintegrasi dengan moda transportasi massal di setiap wilayah.
PT KCIC menyebutkan bahwa stasiun ini nantinya tidak hanya berfungsi sebagai stasiun saja, tetapi juga tempat berlangsungnya kegiatan ekonomi. Hal ini dilakukan guna mengoptimalkan pendapatan sesuai skema usaha yang feasible melalui pendapatan selain dari penjualan tiket (non-farebox revenue). Beberapa kanal non-farebox revenue yang akan dijalankan di antaranya adalah usaha sewa dan pengembangan properti, aktivitas komersial stasiun, periklanan, bisnis telekomunikasi dan digital, serta pengembangan kawasan berkonsep transit-oriented development (TOD).
Adapun dari total panjang 142,3 km yang dibangun; sepanjang 42,78 km (30,1%) akan dibangun di atas tanah (at grade) melalui penimbunan atau penggalian; 82,69 km (58,1%) akan dibangun melayang (elevated) menggunakan sekitar 2.900 batang pier; dan 16,81 km (11,8%) akan dibangun di bawah tanah (underground) menggunakan 13 buah terowongan.
Ketika infrastrukturnya sudah jadi, KCJB akan menggunakan generasi terbaru kereta cepat CR400AF berkecepatan operasional 300 km/jam dan berkapasitas angkut sekitar 109.000 orang per hari. Kecepatan tersebut memungkinkan KCJB memangkas waktu tempuh Jakarta–Bandung menjadi hanya sekitar 40 menit saja.
Pekerjaan Prasarana: Komponen Jalan Rel
Selasa (1/6) Tim Liputan Clapeyron berkesempatan langsung untuk mengunjungi proyek KCJB didampingi oleh Syariffudin (lebih akrab dikenal Dinky) selaku Officer PR & CSR PT KCIC saat itu.
Pekerjaan di proyek KCJB terdiri dari penyiapan prasarana, sarana, operasi, dan maintenance. Pembangunan dan persiapan sarana-prasarana masih terus digenjot. Beberapa hal yang masuk dalam pekerjaan prasarana adalah pekerjaan ketekniksipilan (terowongan dan struktur layang), pekerjaan komponen jalan rel, stasiun, sistem komunikasi, persinyalan, energi, dan kelengkapan lainnya, sedangkan pekerjaan sarana adalah penyiapan electric multiple unit/rolling stock.
Secara umum, struktur jalan rel terdiri atas rel, bantalan, penambat rel, balas (bisa dengan sub-balas), dan tanah dasar. KCJB menggunakan kelas struktur jalan rel terbaik (kelas I). Struktur terbaik dipakai guna menjamin keselamatan pengguna moda KCJB. Pada buku Jalan Rel oleh Suryo Hapsoro, jalan rel kelas 1 diharuskan setidaknya menggunakan Tipe Rel R60 (massa 60 kg/m), bantalan beton dengan jarak 600 mm, dan penambat EG.
Pada proyek KCJB, sistem tanpa balas (ballastless track) lebih dominan digunakan jika dibandingkan dengan balas (ballasted track). Pemilihan penggunaan sistem dengan ataupun tanpa balas mempertimbangkan kecepatan kereta cepat yang lewat dan kondisi geologi khusus.
Ballastless track digunakan pada jalur yang dilewati dengan kecepatan rancang lebih dari 300 km/jam. Sebaliknya, penggunaan ballasted track digunakan pada jalur dengan kecepatan rendah (saat mendekati stasiun). Hal ini dilakukan guna menghemat biaya konstruksi. Ballastless track memang lebih mampu menahan beban akibat kecepatan kereta, tetapi memerlukan biaya yang lebih mahal untuk konstruksinya. Namun, biaya perawatan ballastless track lebih kecil jika dibandingkan dengan ballasted track.
Jenis ballastless track yang digunakan adalah teknologi CRTS III Slab Ballastless Track. Komposisi jenis ini terdiri dari rel, pengencang tipe WJ-8, bantalan beton (track slabs), lapisan isolasi, dan lapisan dasar berupa beton bertulang dengan displacement-stopping. Track slab sudah mulai dipasang di proyek KCJB (29/12).
Jenis ini masih jarang digunakan pada kebanyakan struktur jalan rel di Indonesia. Secara sederhana, ballast diganti dengan susunan bantalan beton yang tersusun rapat. Jenis konstruksi ini memiliki kemampuan untuk menahan beban gandar yang lebih besar daripada ballasted track.
Rel kereta cepat akan dipasang setelah track slab terpasang. Menurut Detik (29/12), hampir 100% rel sudah berada di Tegalluar dan sedang dalam tahap pengelasan (welding). Pemasangan rel (track laying) akan dilakukan dari arah Tegalluar ke Jakarta dengan bantuan laying track machine.
Rel yang digunakan merupakan R60 dengan panjang masing-masing batang rel 50 m (dikirim dari Tiongkok) yang kemudian dilas menjadi 500 m. Pemilihan panjang 500 m dilakukan agar rel tersebut minim sambungan sehingga lebih berkeselamatan dan mudah perawatannya. Menurut Dinky, Indonesia masih belum dapat memproduksi jalan rel yang memenuhi standar kereta cepat (R60) sehingga masih mengimpor dari Tiongkok. Dinky menyayangkan manufaktur Indonesia masih belum siap mendukung pembangunan jalan rel kereta cepat saat ini dan berharap Proyek KCJB menjadi langkah awal perkembangan manufaktur Indonesia.
Teknologi Sistem KCJB dan CR400AF
KCJB menggunakan kereta tipe EMU generasi terbaru, yakni CR400AF (pengembangan tipe CRH380A oleh CRRC Qingdao Sifang). Kereta ini sudah dipakai pada rute Hong Kong–Shenzhen. Satu rangkaian kereta CR400AF terdiri dari delapan gerbong dengan komposisi empat gerbong bermotor dan empat gerbong tanpa motor. Kereta ini didesain mampu menahan kecepatan 420 km/jam.
Walaupun berkecepatan tinggi, kereta ini memiliki cabin noise yang lebih rendah jika dibandingkan dengan tipe sebelumnya sehingga mampu meredam getaran dan suara di dalam kereta lebih optimal.
CR400AF juga dilengkapi dengan dua emergency brake (EB). Pertama, EB yang bekerja berdasarkan perintah driver controller, fasilitas emergency brake penumpang, dan kontrol kewaspadaan masinis. Kedua, EB tipe UB yang akan aktif berdasarkan fungsi automatic train protection (ATP), pendeteksi jarak antarkereta dan saat power kereta dalam kondisi off/tidak bekerja. Dengan dua sistem EB ini, CR400AF menawarkan tingkat keselamatan yang lebih untuk melindungi kereta pada saat terjadi kesalahan sistem ataupun human error.
Sistem yang mendukung operasional kereta terdiri dari sistem komunikasi dan komando serta sistem kontrol operasi. Sistem kontrol operasi yang digunakan pada kereta KCJB adalah CTCS-3 berbasis GSM-R radio yang memiliki cadangan sistem CTCS2. Secara sederhana, sistem ini memungkinkan kereta cepat untuk tetap beroperasi dan mengambil tindakan apabila terjadi malfungsi sistem sehingga kereta lebih berkeselamatan.
Pekerjaan Prasarana: Penyiapan Infrastruktur Pendukung
Pekerjaan struktur yang ada menerapkan standar yang berlaku guna memastikan keselamatan kereta cepat yang melintas. Secara umum, pengerjaan struktur pada proyek ini hampir sama dengan megaproyek lainnya. Namun uniknya, cukup banyak pekerjaan konstruksi yang dibantu dengan mesin khusus dan teknologi pracetak. Teknologi pracetak digunakan terutama untuk memproduksi box girder dan track slab.
Pemilihan jenis struktur menyesuaikan ruang bebas yang tersedia bagi kereta cepat (sesuai aspek kesesuaian alinyemen vertikal) dan menghindari adanya konflik (crossing) dengan objek yang tidak diinginkan. Oleh sebab itu, sekitar 70% jenis struktur yang dipakai adalah struktur melayang dan bawah tanah.
Hingga (15/11), terowongan (tunnel) yang telah tembus berjumlah 10 tunnel. Kebanyakan tunnel pada proyek KCJB digali menggunakan metode ekskavasi. Akan tetapi, pembangunan struktur bawah tanah pada Tunnel 1 menggunakan perlakuan berbeda.
Tunnel 1 dibor menggunakan tunnel boring machine (TBM) raksasa yang didatangkan langsung dari Tiongkok. TBM ini memiliki diameter sebesar 13,23 meter, panjang 102,3 meter, serta berat 2.600 ton dan menjadi TBM terbesar se-Asia Tenggara. TBM ini dipilih guna menjamin keamanan konstruksi agar tidak berdampak pada kawasan sekitarnya, terutama bagian tunnel yang menembus melintang Jalan Tol Jakarta–Cikampek (tingkat kesulitan konstruksi tinggi).
Struktur elevated proyek KCJB secara umum terdiri dari pier dan box girder. Box girder memiliki berat 725 ton. Untuk memenuhi kebutuhan box girder di sepanjang trase, proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung memiliki tiga buah casting yard (CT), yakni di Cikarang (CT1), Karawang (CT2), dan Kota Bandung (CT4).
Setiap proses yang dilakukan untuk instalasi box girder dibantu dengan mesin khusus. Pertama, box girder yang sudah dibuat di casting yard diangkut dan diangkat dengan beam moving crane menuju transporter. Kedua, box girder dipindahkan dengan transporter menuju lokasi instalasi. Ketiga, box girder dari transporter dipasang dengan mesin beam launcher. Dengan metode ini, lalu lintas di bawah proyek KCJB tidak terganggu oleh aktivitas konstruksi.
KCIC melakukan inspeksi untuk memastikan pekerjaan pengecoran dan pemasangan box girder dilakukan sesuai dengan standar kualitas yang ditentukan. Mulai dari ketepatan pemasangan, kesesuaian desain dengan gambar, standar material, sertifikasi, hingga metode pengecoran.
Dinky menyebutkan bahwa pembangunan prasarana sudah mempertimbangkan aspek mitigasi bencana, seperti banjir dan tanah longsor. Dinky juga menambahkan bahwa daerah yang rawan longsor sudah diberi perkuatan tanah dan pembuatan struktur penahan tanah sehingga pembangunan ini tidak memberikan dampak buruk pada daerah sekitarnya. Terkait banjir, tim sudah memitigasi daerah rawan dan jika terjadi banjir, tim akan melakukan tindakan percepatan penyurutan air dengan pemompaan.
Menurut Rahman Suhanda, GM Technical & Design Management PT KCIC, pada artikel Berita Satu, KCJB dilengkapi dengan earthquake early warning system (EWS). Pasalnya, teknologi kereta cepat sangat sensitif dan berpotensi mengalami kecelakaan akibat adanya gempa yang menyebabkan perubahan alinyemen, geometrik, dan getaran.
Peluang dan Tantangan Keberlanjutan KCJB
Dinky menyebutkan adanya penambahan biaya adalah hal yang wajar dan tidak dianggap pembengkakan dana. Menurut Dinky, biaya tersebut sering disebut biaya tidak terhitung terkait pembangunan/pemindahan fasilitas umum. Contohnya, pemindahan SUTET, sekolah, masjid, dan lain sebagainya. Seiring berjalannya waktu, kenyataan di lapangan ternyata kurang sesuai di perencanaan awal (trase). Dinky juga mencontohkan pembangunan Stasiun Halim yang awalnya ingin dibangun di atas (elevated) ternyata tidak bisa dan harus membangun di bawah tanah yang menyebabkan biayanya lebih mahal.
KCIC optimis dapat melakukan payback. Menurut Dinky, studi kelayakan proyek (ridership) sudah memenuhi secara operasional dan finansial kereta cepat apalagi akan didukung dengan konsep pengoptimalan pemasukan, salah satunya kawasan TOD.
Dinky menutup dengan mengatakan bahwa Proyek KCJB ini dapat menjadi benchmark pembangunan kereta cepat di kawasan ASEAN. Dengan adanya pelatihan SDM dan alih teknologi dari Tiongkok, SDM dan teknologi Indonesia (terutama di WIKA) dapat terserap di proyek kereta cepat yang ada di kawasan ASEAN.
Menurut Harya Setyaka Dilon, Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia saat diwawancara CNBC, proyek ini harus diselesaikan karena sudah berjalan. Harapannya, selain dapat menjadi moda alternatif kepadatan rute jalan tol, proyek KCJB juga secara tidak langsung dapat menangkap kebutuhan masyarakat berpuluh-puluh tahun mendatang.
Teknologi kereta cepat memang identik dengan teknologi milik negara maju. Teknologi kereta cepat bisa jadi merupakan masa depan yang baik apabila tidak terdapat moda transportasi berkecepatan tinggi baru yang lebih efisien dan berkelanjutan. Pasalnya, kereta merupakan moda yang relatif paling andal di segala cuaca sehingga dapat bertahan apabila krisis iklim makin parah setiap tahunnya.
Menurut pandangan penulis, sejatinya hanya waktu yang bisa menjawab kelaikan pembangunan KCJB ini. Waktu yang akan menjawab—akankah KCJB menjadi beban utang tak berkesudahan bagi generasi mendatang atau justru tulang punggung penyokong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan?
Supaya KCJB berjalan optimal, pengembangan kolaboratif dan berkelanjutan perlu dilakukan. Sistem jaringan transportasi publik seharusnya terintegrasi secara multimoda dan tidak lagi bersifat standalone. Selain itu, berbagai skema mitigasi perlu disiapkan untuk mengantisipasi masalah dan kerugian di masa mendatang. Salah satunya potensi risiko rendahnya penumpang karena tidak sesuai prediksi (shortfall demand) dan kemungkinan adanya gagal bayar yang akan merugikan BUMN pemilik proyek ini. Hal ini dapat berakibat pada kematian BUMN terkait ataupun penggunaan APBN untuk membayar hutang dan bunga secara terus-menerus.
Pembangunan KCJB tidak sepenuhnya buruk. Alih pengetahuan dan teknologi harus segera dilakukan apabila Indonesia ingin menjadi negara maju nantinya. Proyek KCJB merupakan sebuah batu loncatan bagi perkembangan teknologi transportasi perkeretaapian di Indonesia.
Keberhasilan proyek ini akan memengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sudah siapkah pemerintah dan masyarakat menerima berbagai kemungkinan yang menyertai teknologi ini?
Tulisan oleh Taufan Rosyadi Yusuf
Data oleh Damar Anindyo dan Nathanael Bimo
Gambar oleh Tiara Ramadhani