Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) merupakan ibu kota negara sekaligus kota terbesar di Indonesia. Saat ini, Jakarta digunakan sebagai pusat bisnis, politik, dan kebudayaan di Indonesia. Banyak gedung pencakar langit dibangun di kota ini—gedung-gedung tersebut berupa perkantoran, apartemen, hotel, pusat perbelanjaan, perusahaan swasta, atau perusahaan asing.
Krisisnya Pasokan Air Bersih di Jakarta
Di balik megahnya Kota Jakarta, ada permasalahan yang hingga saat ini masih menghantui kota tersebut, yaitu perkara ketersediaan air bersih. Menurut Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 80% air tanah di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Jakarta tidak memenuhi standar menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 492 tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Data ini didapatkan melalui pemantauan dari 200 titik sumur pengamatan.
Penyebab dari tercemarnya air bersih di Jakarta adalah karena adanya polutan yang terkandung dalam air tanah. Jenis polutan yang mencemari Jakarta sendiri tidaklah sama di tiap daerahnya. Misalnya di Jakarta bagian utara, air tanah daerah tersebut mengandung unsur Fe (Besi), Na (Natrium), Cl (Klorida), TDS (total dissolved solid atau zat padat yang larut), dan DHL (daya hantar listrik atau konduktivitas air murni) yang tinggi. Sementara di Jakarta bagian selatan, air tanahnya mengandung Mn (Mangan), Fe (Besi), dan Pb (Timbal).
Selain air tanah, pencemaran juga terjadi pada sungai-sungai di Jakarta. Hal ini ditandai dengan banyaknya sungai di Jakarta yang sudah tidak dapat menyediakan air baku. Dari total 13 sungai di Kota Jakarta, hanya ada 2 sungai yang tidak terkontaminasi dan dapat menyediakan air baku, yaitu Sungai Cengkareng dan Kali Krukut.
Pencemaran air di Jakarta ini disebabkan oleh berbagai macam faktor. Salah satunya adalah pembuangan sampah sembarangan. Tercatat pada tahun 2020, terdapat 21 ton sampah yang tersebar di perairan Jakarta. Selain pembuangan sampah, ada juga permasalahan tentang tempat buang air besar. Walaupun Jakarta termasuk kota modern dan maju, di daerah perkampungan ternyata masih banyak ditemui orang yang buang air sembarangan, misalnya di sungai, selokan, atau empang ikan.
Banyaknya pencemaran air inilah yang membuat Jakarta mengalami krisis air bersih. Dari keseluruhan kebutuhan air minum Jakarta, hanya sekitar 15% akses aman air bersih sebagai air minum yang terpenuhi. Kondisi ini kemudian diperparah ketika musim kemarau tiba.
Faktor lain yang menyebabkan kurangnya ketersediaan air bersih di Jakarta adalah tercemarnya sumber-sumber air oleh limbah. Air limbah di Jakarta secara garis besar dibagi menjadi tiga, yaitu air limbah industri, air limbah domestik (berasal dari buangan rumah tangga), dan air limbah dari perkantoran atau pertokoan (daerah komersial).
Menurut laporan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tentang pengelolaan air bersih dan limbah cair, air limbah yang menjadi penyumbang pencemaran terbesar adalah air limbah domestik dan air limbah perkantoran. Sebagai contoh di Teluk Jakarta, limbah domestik sendiri sudah menyumbang sebanyak 48% dari pencemaran yang terjadi.
Banyaknya limbah yang terkandung di sumber-sumber air ini disebabkan oleh minimnya instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di Jakarta. Menurut Perusahaan Daerah Pengolahan Air Limbah (PD PAL) Jaya, Jakarta hanya memiliki satu zona yang terbangun infrastruktur IPAL-nya. Ini menyebabkan seluruh limbah domestik masyarakat dibuang secara mentah ke sembilan muara tanpa diolah terlebih dahulu.
Sistem sanitasi di Jakarta memang masih kurang baik bila dibandingkan dengan ibu kota negara-negara tetangga. Bahkan, menurut Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), DKI Jakarta berada di posisi kedua terendah dalam hal sanitasi di antara ibu kota di Asia Tenggara. Jakarta masih minim IPAL, baik IPAL sistem setempat maupun IPAL sistem pipa terpusat. Wilayah di Jakarta yang sudah tersedia sistem perpipaan baru meliputi kawasan bisnis di pusat Jakarta. Wilayah yang menggunakan sistem IPAL terpusat tersebut hanya seluas 1.370 hektare atau 2,07% dari luas total wilayah DKI Jakarta.
Proyek Jakarta Sewerage System
Untuk mengatasi masalah limbah dan sanitasi ini, pemerintah sudah membangun sebuah proyek pengelolaan air limbah domestik yang terpusat bernama Jakarta Sewerage System atau disingkat JSS. Proyek ini merupakan bentuk kerja sama Kementerian PUPR dengan Pemerintah DKI Jakarta melalui Dinas Sumber Daya Provinsi DKI Jakarta. Proyek JSS ini sudah direncanakan sejak tahun 2017, pembangunannya mulai terlaksana pada akhir tahun 2019, serta rencananya akan mulai beroperasi pada 2026.
Proyek Jakarta Sewerage System merupakan proyek pembangunan sistem pengelolaan air limbah domestik terpusat (SPALD-T) skala perkotaan di Provinsi DKI Jakarta. Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas air sungai saat ini sampai pada tingkat yang dapat digunakan untuk sistem penyediaan air DKI Jakarta pada tahun 2050. Dengan adanya proyek ini diharapkan saluran air menjadi bersih dan persediaan air baku makin banyak.
Proyek JSS akan menangani pengolahan limbah domestik di 15 zona (Zona 0 sampai Zona 14). Zona tersebut antara lain adalah IPAL Waduk Setiabudi, Waduk Pluit, Waduk Muara Angke, Hutan Kota Srengseng, IPLT Pulo Gebang (Zona 4 dan 10), Waduk Sunter Utara, IPLT Duri Kosambi, Kamai Pegadungan, Marunda Pond Planning, Situ Rawa Rorotan, Ulujami Pond Planning, Kebun Binatang Ragunan, Kampung Dukuh, dan RW 05 Ceger Pond Planning.
Dari 15 zona yang ada, terdapat zona prioritas untuk segera dilakukan pembangunan serta pelayanan, yaitu Zona 1, 2, 5, 6, dan 8 (Waduk Pluit, Waduk Muara Angke, Waduk Sunter Utara, IPLT Duri Kosambi, dan Waduk Marunda). Hal ini karena zona tersebut dianggap sangat padat penduduk serta merupakan pusat perekonomian dan pemerintahan (terutama pada Zona 1 dan Zona 6).
Pada saat ini, percepatan pembangunan proyek difokuskan pada Zona 1. Zona 1 akan dibangun di Pluit dengan kapasitas rata-rata 198.000 meter kubik per hari. Pada zona ini akan dibangun sistem pipa dari Jalan Sutan Syahrir, Menteng ke utara melalui Kecamatan Tanah Abang dan Kecamatan Petojo hingga ke Waduk Pluit. IPAL JSS Zona 1 dirancang menggunakan teknologi A2O (anoxic, anaerobic, dan oxic process) dan teknologi MBR (membrane bioreactor). Pemilihan teknologi ini dilakukan dengan mempertimbangkan kualitas pengolahan air limbah, ketersediaan lahan, kemudahan, biaya operasi, biaya modal instalasi, fluktuasi beban, kebutuhan tenaga listrik, serta keberlanjutan (sustainability).
JSS ini nantinya tidak hanya mencakup pengolahan air limbah saja, tetapi juga pengadaan jaringan pipa bawah tanah. Pipa tersebut akan disambungkan dengan saluran drainase permukiman warga dan bangunan komersial lainnya sehingga limbah domestik yang terdiri dari black water ataupun grey water dapat mengalir melalui JSS untuk dikelola menjadi air baku. Setelah dikelola menjadi air baku, air tersebut dapat digunakan kembali oleh masyarakat untuk dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Perlu diingat juga bahwa buangan air hujan akan dialirkan melalui saluran drainase ke badan air seperti biasa, tanpa terintegrasi dengan sistem JSS.
Lebih detailnya, proyek JSS ini mengintegrasikan antara pengelolaan air limbah dan air bersih. Pertama, air limbah dari kawasan permukiman dan industri disalurkan ke IPAL melalui sistem perpipaan air limbah. IPAL tersebut akan mengolah air limbah hingga memenuhi baku mutu. Air yang sudah memenuhi baku mutu ini kemudian disimpan ke waduk atau kolam tampungan. Air baku dari waduk nantinya akan diambil dan disalurkan terlebih dahulu ke instalasi pengolahan air (IPA) lalu disimpan. Air dari penyimpanan inilah yang kemudian didistribusikan kembali ke kawasan permukiman dan kawasan industri melalui sistem distribusi air bersih.
Pembangunan JSS merupakan hal yang mendesak. Bahkan, proyek ini termasuk ke dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Kegiatan Strategis Daerah (KSD) Provinsi DKI Jakarta. Semoga proyek JSS ini bisa segera beroperasi seperti yang direncanakan karena dapat meningkatkan sistem pengelolaan pembuangan air limbah domestik. Selain itu, JSS ini juga berguna untuk mengantisipasi kekeringan saat kemarau serta menjaga ekosistem waduk, kali, dan sungai.
Selain itu, menurut Pemprov DKI Jakarta, adanya JSS juga akan meningkatkan akses pelayanan pengolahan air limbah, memperbaiki kualitas air permukiman dan air tanah, menyediakan sumber alternatif air baku dan air bersih, mencegah penyakit, serta dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang sehat.
Tulisan oleh Hakan Malika Anshafa
Data oleh Faatira Azzahra Scientiva Kurniapramono
Ilustrasi oleh Nibroos Muhammad Nashshoor