Apakah kalian tahu? Ketika kalian mengendarai mobil yang berbahan bakar bensin sejauh 1 km, kalian sudah membuang 200g CO2 ke atmosfer. Lampu 10 watt yang kalian nyalakan selam 1 jam, telah menghasilkan 9,51g CO2 ke udara. Apakah kalian tahu bahwa kita, penduduk Indonesia, telah menghasilkan 2,09 ton emisi karbon per tahun? Banyak sekali aktivitas sehari-hari manusia menghasilkan jejak emisi karbon yang dapat merusak bumi kita.
Di Indonesia, perubahan penggunaan lahan seperti deforestasi dan degradasi lahan gambut serta energi sektor seperti penggunaan batu bara dan bahan bakar fosil menjadi sumber emisi utama. Akan tetapi, ada beberapa kegiatan manusia yang tidak dapat dihindari sehingga produksi emisi pasti terjadi.
Saya setuju dengan pernyataan ini. Terutama, Indonesia negara berkembang yang berfokus pada industri. Belum lagi 270,6 juta lebih masyarakat Indonesia yang sebagian besar menggunakan transportasi berbahan bakar bensin, memakai listrik dengan banyak, dll. Meski begitu, saya juga setuju dengan kalimat yang kedua. Beberapa kegiatan manusia memang sulit untuk tidak menghasilkan emisi. CO2 juga tidak hanya datang dari aktivitas manusia, tetapi juga dari alam sendiri.
Seperti bom alami, begitu gunung api meletus tidak hanya menghasilkan abu vulkanik, tetapi juga gas CO2 dan SO2. CO2 itulah yang dapat kita manfaatkan. Peristiwa tersebut juga dapat mencemari kebersihan udara kita. Terlebih lagi, Indonesia merupakan negara yang mempunyai sebutan “ring of fire” karena gunung api yang kita miliki sangat banyak. Jika beberapa letusan gunung api terjadi secara bersamaan, maka gas CO2 dapat dihasilkan dalam jumlah banyak, sehingga berdampak pada pemanasan global. Seperti pada awal tahun 2021, banyak gunung api di Indonesia meletus (Gunung Merapi, Gunung Semeru, Gunung Sinabung, dll.).
Selain gunung api, tumbuhan pun memproduksi CO2. Tumbuhan menghasilkan O2 pada siang hari, dan menghasilkan CO2 pada malam hari. Menurut Food and Agriculture Organization of United Nation (FAO) 2020, Indonesia menduduki peringkat ke-9 sebagai negara dengan area hutan terluas di dunia, sehingga potensi CO2 yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan di Indonesia juga pasti sangat banyak.
Dari sini kita melihat sebanyak apa potensi CO2 yang dapat dihasilkan Indonesia. Selain potensi tersebut berubah menjadi potensi polusi, pencemaran udara, atau tidak dimanfaatkan sama sekali, mengapa tidak mengubah menjadi potensi lain? Seperti potensi energi? Selain berperan besar dalam perubahan iklim, polusi, dan lain-lain, gas CO2 ternyata juga dapat diubah menjadi sumber energi.
Pada tahun 2016, perusahaan ExxonMobil mengumumkan partnership dengan FuelCell Energy Inc. untuk memajukan teknologi baru yang lebih efisien dalam penangkapan CO2, yaitu dengan menggunakan teknologi sel bahan bakar karbonat/fuel cell. Fuel cell inilah yang digunakan untuk penangkapan karbon. Pastinya industri, gunung api, dan sumber-sumber CO2 lainnya mengeluarkan limbah CO2. Tetapi dulu setelah CO2 ditangkap oleh fuel cell, zat kimia tersebut hanya disimpan ke bawah tanah. Oleh karena itu saya berpikir untuk menggabungkan dengan inovasi yang ditemukan oleh tim peneliti dari Cornell University, Amerika Serikat mengenai konversi CO2 ke listrik. Jadi limbah CO2 tersebut akan ditangkap oleh fuel cell, lalu dipisahkan/dipilih dan diambil hanya CO2 saja. CO2 itu akan masuk ke anoda dan katoda. Anoda terbuat dari aluminium dan katoda terbuat dari campuran aliran CO2 dan O2. Akan ada reaksi elektrokimia antara anoda dan katoda di mana CO2 terikat dan dapat menghasilkan listrik sebesar 13 amper jam per gram katode dengan pelepasan tegangan listrik sebesar 1,4 volt.
Bagian anoda dan katoda bisa dibilang mesin untuk mengkonversi CO2 menjadi listrik. Meskipun hasil voltase tidak banyak, kita dapat meningkatkan jumlah volt menjadi lebih besar dengan membuat mesin tersebut lagi, dan menjadikan mesin 1 dan mesin 2 rangkaian listrik seri.
Dari penjelasan di atas, kita bisa lihat bahwa limbah CO2 dapat didaur ulang dan dimanfaatkan untuk menghasilkan energi. Bagaimana jika Indonesia sudah mengganti sumber energi industri menjadi EBT (Energi Baru Terbarukan) ke depannya? Apakah teknologinya sia-sia? Tidak hanya dari industri saja, tetapi seperti yang saya kemukakan sebelumnya, bahwa gunung api dan tanaman yang kaya di Indonesia dapat menjadi alternatif. Jika CO2 dari tanaman menjadi salah satu sumber listrik untuk teknologi ini, maka Indonesia dapat lebih hijau. Lagi pula, energi yang dihasilkan teknologi CO2ini juga dapat disimpan untuk ke depannya.
Terkait dengan komitmen komposisi EBT untuk bauran energi tahun 2025 sebesar 23 persen. Jika ada target menggunakan EBT sebanyak 23% di Indonesia yang mungkin dicapai dalam 4 tahun lagi, maka 100% EBT dapat dicapai sekitar 17 tahun lagi. Dalam 17 tahun tersebut, berapa banyak limbah yang telah dihasilkan industri-industri yang masih bersumber pada bahan bakar? Berapa banyak gunung api yang meletus dan mengeluarkan asap yang terkandung CO2? Berapa banyak CO2 yang sudah dimanfaatkan dengan menggunakan teknologi tersebut? Tentunya bisa terkumpul, dan belum tentu Indonesia dapat menggunakan sumber EBT 100% dalam 17 tahun ke depan. Mengapa? Tentunya karena tantangan-tantangan yang menghambatnya.
Jika kita melihat dari sisi ekonomi dan finansial, mesin teknologi “CO2 menjadi listrik” ini pastinya membutuhkan biaya tidak sedikit. Oleh karena itu butuhnya dukungan finansial untuk EBT dari pemerintah. Tetapi perbandingan subsidi untuk BBM dan EBT masih sangat jauh di Indonesia.
Di Indonesia, subsidi BBM masih menjadi porsi terbesar anggaran subsidi energi. Dalam hal subsidi, pengembangan EBT belum mendapatkan porsi di APBN. Hal ini menunjukan bahwa EBT di Indonesia masih kurang didukung secara finansial oleh pemerintah dibandingkan dengan BBM (Bahan Bakar Minyak). Apalagi setelah penurunan ekonomi Indonesia yang disebabkan oleh dampak pandemi Covid-19. Perihal ini dapat menghambat kemajuan dan penerapan inovasi EBT di Indonesia, serta dapat menjadi hambatan untuk proses pengerjaan mesin teknologi “CO2 menjadi listrik”. Belum lagi harga aluminium yang dibutuhkan untuk anoda semakin tinggi.
Selain itu, transisi dan adaptasi untuk menerapkan teknologi EBT di Indonesia masih sulit. Indonesia masih bergantung lebih banyak terhadap bahan bakar dibandingkan EBT, sehingga teknologi-teknologi EBT di Indonesia masih ketinggalan dibandingkan negara-negara lain yang sudah lebih canggih, dan sudah memberikan fokus yang baik terhadap EBT, seperti negara-negara di Eropa.
Bauran EBT di Uni Eropa pada 2010 baru mencapai 22%, lalu pada 2020 telah meningkat hampir dua kali lipat menjadi 38%. Pada tahun 2010 pun Eropa sudah bisa mencapai penggunaan EBT sebanyak 22%. Sedangkan Indonesia baru ingin mencapai nilai persen yang hampir sama pada tahun 2025, dan itu pun belum pasti akibat pandemi Covid-19. Mengapa Eropa bisa mencapai target dengan baik? Mereka konsisten dalam mencapai target tersebut dan serius dalam menerapkan strategi untuk mendukung EBT. Mereka mengurangi pemakaian bahan bakar dengan mulai menutup Pembangkit Listrik
Tenaga Uap (PLTU), menerapkan pajak karbon, dll. Hal ini membuat Eropa beralih pada EBT dan memberi fokus lebih terhadap kemajuan EBT. Indonesia masih belum memberi kebijakan-kebijakan yang tepat dalam kemajuan EBT. Menurut saya cara berpikir Indonesia juga masih mau yang instan dan cepat, tetapi tidak memikirkan jangka panjangnya.
Kesimpulan saya, kemajuan EBT di Indonesia masih perlu dikembangkan lagi. Saya harap inovasi teknologi “CO2 ke listrik” dapat segera diterapkan di Indonesia agar membantu pengurangan emisi yang dikeluarkan selama proses pencapaian target EBT 100% di Indonesia. Target sudah tercapai atau belum, semoga potensi teknologi “CO2 ke listrik” tetap diperhatikan seterusnya. Inovasi teknologi ini akan bermanfaat dan membantu lingkungan tanah air kita menjadi lebih baik, serta memajukan negara Indonesia.
Semoga esai ini dapat membawa perubahan bagi masa depan EBT di Indonesia.
Tulisan oleh Clovira Yoveline Gunawan (Juara 2 Lomba Opini Claproyex#5)
Ilustrasi oleh Caroline Valencia
Tulisan ini merupakan karya yang meraih Juara 2 dalam Lomba Menulis Opini Claproyex#5 yang mengangkat Tema “Tantangan dan Proses Indonesia dalam Memenuhi Energi Baru Terbarukan”