Saat ini, hampir semua kegiatan manusia membutuhkan mobilitas. Berbagai kebutuhan dipenuhi dengan mentransportasikan orang dan barang. Di Indonesia, jalan menjadi tulang punggung mobilitas orang dan barang. Budi Karya Sumadi selaku Menteri Perhubungan mengatakan bahwa angkutan barang via jalur darat mendominasi logistik di Indonesia. Persentasenya mencapai 90% dari total moda transportasi barang lainnya. Setiap tahun, puluhan hingga ratusan kilometer jalan dibangun. Dikutip dari Informasi APBN 2022, pemerintah pada tahun ini saja berencana untuk membangun 295 km jalan baru.
Akan tetapi, setiap tahun pula puluhan hingga ratusan kilometer jalan harus diperbaiki ataupun dilapis ulang. Kerusakan jalan dipengaruhi oleh berbagai hal. Mulai dari kondisi subgrade, permasalahan drainase, kualitas perkerasan jalan, hingga beban yang berlebih. Kerusakan jalan menjadi satu hal yang rumit sekaligus umum terjadi di sekitar kita.
Jalan rusak yang telah diperbaiki, seolah pasti rusak setiap beberapa tahun sekali. Hal itu menjadikan perbaikan jalan seolah sia-sia dilakukan. Padahal, suatu jalan didesain dengan umur rencana hingga puluhan tahun.
ODOL yang bikin bodol
Dalam kajian transportasi, sebagai insan teknik sipil, kita tidak asing dengan terminologi kendaraan overdimension overload (ODOL). Sesuai dengan sebutannya, kendaraan ini memiliki dimensi dan muatan yang berlebihan, melanggar aturan daya angkut dan dimensi kendaraan.
Umumnya, kendaraan ODOL yang sering terlihat melintas di jalanan adalah truk. Ciri-cirinya mudah dikenali. Laju kendaraan ODOL relatif lambat dan sulit bermanuver akibat muatan yang terlalu berat atau dimensinya yang berlebihan.
Berdasarkan data dari Kementerian Perhubungan, 24,9% dari 621.504 kendaraan diketahui sebagai kendaraan ODOL. Persentase tersebut diperoleh dari 81 Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB) sepanjang Januari—April 2021. Pelanggaran kendaraan ODOL di jalan tol juga terbilang masih cukup tinggi. Data dari Jasa Marga, persentase kendaraan ODOL di ruas jalan tol pada tahun 2019 mencapai 37,87%.
Sekilas, kendaraan ODOL hanya berakibat pada kondisi lalu lintas saja. Padahal, kerusakan jalan juga disebabkan oleh lalu-lalang kendaraan ODOL. Dalam hal ini, muatan kendaraan ODOL yang melebihi desain beban perkerasan akan mempercepat kerusakan jalan. Kementerian PUPR mengungkapkan bahwa kendaraan ODOL mengakibatkan biaya pemeliharaan jalan melonjak hingga 43,45 triliun per tahun. Hal ini tentu sangat merugikan keuangan negara. Dampak lain yang tidak kalah penting adalah ancaman keselamatan pengguna jalan lain yang berakibat pada kecelakaan lalu lintas.
Sebenarnya, pemerintah telah menargetkan Indonesia bebas ODOL atau zero ODOL pada tahun 2023. Program tersebut tentu membutuhkan kerja sama lintas sektoral dan keseriusan semua pihak. Salah satu tindak lanjut program tersebut adalah pemasangan teknologi weigh in motion (WIM) di sejumlah ruas jalan dan jembatan di Indonesia sejak 2017. Baru-baru ini, pemerintah juga telah mengumumkan bahwa teknologi WIM juga telah dipasang di sepuluh ruas jalan tol di Indonesia dan aktif sejak 1 Januari 2022.
Mengapa kendaraan perlu ditimbang?
Dalam UU No. 38 Tahun 2004 tentang jalan, jaringan jalan dibagi menjadi beberapa kelas. Masing-masing kelas jalan memiliki daya dukung yang berbeda-beda. Adanya klasifikasi jalan disebabkan karena pembangunan prasarana jalan masih mengikuti sarana kendaraan.
Oleh karena itu, pemerintah membangun UPPKB atau jembatan timbang sebagai salah satu alat pengawasan dan pengendalian muatan angkutan barang. Kendaraan akan ditimbang beratnya, termasuk juga beban di setiap gandar dalam kondisi statis atau berhenti.
Kendaraan yang terbukti melanggar ketentuan akan dikenai sanksi berupa tilang dan penindakan lainnya. Dengan mencegah kendaraan ODOL melintas di jalan, laju kerusakan jalan akan menurun signifikan sesuai dengan fourth power rule. Singkatnya, prinsip tersebut menyatakan bahwa laju kerusakan perkerasan jalan proporsional dengan pangkat empat beban gandar.
WIM secara sederhana
Weigh in motion (WIM) merupakan suatu proses pengukuran beban dinamis roda dari suatu kendaraan yang bergerak dan memperkirakan beban roda yang sesuai ketika kendaraan dalam kondisi statis (ASTM E1318). Dapat dikatakan, proses ini memungkinkan kendaraan tetap melaju selagi penimbangan dilakukan. Karena kendaraan dalam posisi bergerak, hasil penimbangan WIM perlu dikoreksi dan dikalibrasi secara berkala supaya mendekati hasil penimbangan dalam kondisi statis.
Sedikit tentang sejarah WIM
Salah satu upaya paling awal dalam pengembangan sistem WIM adalah pada tahun 1952 oleh United States Bureau of Public Roads. Sistem sensor massa terdiri dari platform beton bertulang yang berada di perkerasan jalan. Platform ditopang oleh kolom-kolom yang menahan regangan dan terhubung dengan kabel. Keluaran sistem berupa jejak osiloskop yang dianalisis secara manual untuk menghitung bobot gandar, jarak, dan kecepatan kendaraan. Pada tahun 1955, Mississippi State College di Amerika Serikat bereksperimen menggunakan timbangan kapasitor metal plate dan rubber sheet. Akan tetapi, hasil timbangan sangat dipengaruhi oleh temperatur, gaya traksi, gaya kejut, dan efek tepi.
Sejak dekade 70-an, teknologi sensor WIM berkembang seiring dengan makin berkembangnya komputer. Di Eropa, ditemukan berbagai sensor WIM seperti wire, strip and bar sensors, capacitive, piezoelectric, dan fiber optics. Pada dekade berikutnya, berbagai standar dikeluarkan di berbagai negara untuk mengalibrasi sensor sehingga sistem WIM dapat menghasilkan data keluaran yang akurat.
Macam WIM
Secara garis besar, sistem WIM terbagi menjadi low speed WIM (LS-WIM) dan high speed WIM (HS-WIM). Sebenarnya, keduanya memiliki tujuan penggunaan yang berbeda. LS-WIM umumnya digunakan di area tertentu, di luar jalur lalu lintas. Sesuai artinya, kecepatan kendaraan saat melintasi sensor WIM ini berada di kisaran 5–10 km/jam, sementara HS-WIM lebih banyak diterapkan di jalur lalu lintas. Dengan adanya HS-WIM, penimbangan dapat dilakukan tanpa harus memperlambat laju kendaraan yang melintas. Sensor efektif menimbang meski laju kendaraan di atas 60 km/jam.
Prinsip pembagian sistem WIM menjadi LS-WIM dan HS-WIM adalah fungsi dan akurasi. Sistem LS-WIM, dengan tingkat akurasi yang lebih tinggi, memungkinkan filterisasi dan penindakan bagi kendaraan overload langsung dilakukan. Sementara sistem HS-WIM lebih ditujukan untuk memiliki akurasi yang cukup tetapi masih bisa mengawasi kendaraan overload dengan kecepatan tinggi.
Komponen WIM
Sistem WIM memiliki banyak komponen yang berbeda antara satu dan yang lainnya, disesuaikan dengan kondisi dan data keluaran yang ingin diperoleh. Secara umum, komponen dasar sistem WIM meliputi:
a. Mass Sensor
Sesuai dengan namanya, sensor ini yang mengukur beban kendaraan yang melintas di atasnya. Sensor ini menghasilkan output berupa berat kendaraan, beban tiap gandar, bahkan beban tiap roda. Mass sensor terbagi menjadi dua berdasarkan tampaknya. Ada yang berupa scales/plates dan strips/bars.
Dari jenis scales/plates, dibagi lagi menjadi beberapa macam, seperti load cell ataupun bending plates. Load cell—disebut pula sebagai transducer—merupakan alat yang memanfaatkan prinsip deformasi sebuah material (dalam hal ini regangan) akibat adanya tegangan mekanis yang bekerja. Regangan yang ada kemudian diubah menjadi sinyal listrik. Begitu pula dengan bending plates. Dengan menggunakan lendutan yang terjadi pada bending plates akibat beban vertikal yang melintas di atasnya, besar beban dapat diukur dengan mentransformasikan besar lendutan menjadi sinyal listrik.
Umumnya, sensor jenis scales/plates memiliki tingkat akurasi yang tinggi meski biayanya cukup mahal dan instalasinya lebih lama. Akurasi yang cukup baik membuat sensor jenis ini digunakan pada sistem LS-WIM.
Jenis strips/bars umumnya menggunakan prinsip piezoelectric. Dalam sistem WIM, berbagai jenis teknologi piezoelectric dikembangkan untuk menghasilkan keluaran data yang makin akurat. Jenis-jenis sensor ini antara lain adalah piezo-polymer, piezo-ceramic, dan piezo-quartz. Karena jenis sensor ini berbentuk strips/bars, instalasinya relatif lebih cepat dan biayanya relatif lebih murah daripada sensor jenis scales/plates. Dengan teknologi terbaru—sensor dengan teknologi piezo-quartz—sensor jenis strips/bars memiliki akurasi yang tinggi dan cocok digunakan pada sistem HS-WIM.
b. Vehicle Classification and/or Identification Sensor
Salah satu data yang bisa diperoleh dari adanya sistem WIM adalah jenis kendaraan yang melintas. Hal itu bisa diperoleh dengan mendeteksi keberadaan kendaraan di suatu titik awal dan titik akhir. Melalui selisih waktu yang dideteksi sensor, wheel base, jarak antar-gandar, hingga jarak antar-roda, dapat diketahui sehingga mudah untuk mengklasifikasikan kendaraan. Jenis-jenis detektor kendaraan antara lain adalah loops, piezoelectric cables, treadle switches, dan tubes.
Selain itu, dengan menggunakan kamera CCTV, citra kendaraan yang melintas dapat dengan mudah diidentifikasi dan diklasifikasikan. Adanya citra gambar atau video juga dapat menjadi bukti riil untuk pelaksanaan penindakan pada kendaraan overload.
c. Processor and data storage unit
Processor berfungsi sebagai mesin yang menerima sekaligus menganalisis berbagai data yang diperoleh dari mass sensor dan vehicle identification sensor. Keluaran data yang ada berupa laporan ringkas yang berisi berbagai parameter dari tiap kendaraan yang melintas. Data-data tersebut kemudian disimpan di dalam suatu storage unit. Umumnya, letak kedua komponen ini berada di sekitar jalan.
d. User communication unit.
Komponen inilah yang menampilkan secara langsung kepada pengguna sistem WIM data keluaran dari processor dan data storage unit. Data-data yang diterima dapat ditransmisikan melalui kabel atau dengan sinyal antena. Operator jalan dan aparat penegak, melalui komputer, dapat secara real time melakukan pengawasan dan penindakan kepada kendaraan yang terindikasi overload.
Di Indonesia, teknologi WIM sebenarnya bukan hal yang baru. Beberapa jembatan di Indonesia saat ini berperan sebagai “jembatan timbang” alias dipasangi sistem WIM. Misalnya pada Jembatan Suramadu di Jawa Timur, Jembatan Pawiro Baru di lintas Pantura, Jembatan Kaligawe di Semarang, Jembatan Cisomang di ruas Jalan Tol Purbaleunyi, dan lain sebagainya.
Penerapan sistem WIM di jalan tol juga telah diterapkan. Jalan tol Tangerang–Merak merupakan ruas tol pertama yang secara mandiri mengaplikasikan sistem WIM. Sistem WIM yang terintegrasi dengan sistem transaksi jalan tol ini telah diimplementasikan sejak 2014.
Dilansir dari Astra Infra Toll Road, berdasarkan survei yang dilakukan pada tahun 2014, 43% dari seluruh kendaraan niaga yang melintas jalan tol tersebut merupakan kendaraan yang overload. Akan tetapi, sejak diterapkan teknologi ini, pada akhir 2017 jumlah kendaraan yang overload berhasil menurun sebesar 21%. Selain itu, potensi kerusakan jalan akibat kendaraan overload turun hingga lebih dari 50% dan jumlah kecelakaan akibat kendaraan overload turun sebesar 58%.
Melihat angka-angka tersebut, dapat dibayangkan betapa efektifnya sistem WIM apabila diterapkan di lebih banyak ruas jalan di Indonesia. Aplikasi teknologi WIM di sepuluh ruas jalan tol pada awal tahun ini merupakan langkah yang tepat untuk diambil. Walau begitu, langkah tersebut tidak boleh berhenti hanya pada pemasangan. Perlu dilakukan penindakan tegas dan sosialisasi kepada pengguna jalan mengenai bahaya kendaraan ODOL serta kerugian yang ditimbulkannya.
Dengan makin masifnya penggunaan teknologi ini, bukan tidak mungkin program Indonesia Bebas ODOL dapat semakin cepat tercapai. Koordinasi antarlembaga dan kerja sama dari masyarakat merupakan hal yang mutlak dilakukan. Teknologi hanya alat bantu, muaranya ada pada sumber daya manusia dan penegakan hukum di lapangan.
Bayangkan betapa nikmatnya berkendara lancar di jalan yang mulus, di negeri ini. Angan itu bukan angan semata, melainkan angan dalam genggaman. Mari kawal hingga Indonesia bebas kendaraan ODOL.
Tulisan oleh Filipus Alfiandika N
Data oleh M. Fahmi Gibran dan Filipus Alfiandika N
Ilustrasi oleh Rafi Hanan