Pertarungan Stigma dan Masa Depan PLTN

Wacana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) terus bergulir. Terakhir, pemerintah berencana untuk melakukan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, yang disebut akan menjadi fasilitas setrum tenaga nuklir pertama dengan skala komersial di Asia Tenggara.

Sebagai salah satu upaya mengurangi emisi karbon, wacana pembangunan PLTN terus menimbulkan pro-kontra. Banyak pihak mendorong agar proyek PLTN di Indonesia segera terwujud karena dinilai lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan pembangkit listrik yang lain. Sementara itu, di sisi lain banyak pula aktivis yang kontra terhadap proyek ini karena dinilai tidak cocok dengan kondisi geografis Indonesia. Lalu, sebenarnya seberapa urgenkah proyek PLTN di Indonesia?

PLTN merupakan pembangkit daya termal yang sumber panasnya berasal dari satu atau beberapa reaktor nuklir. Hampir sama dengan prinsip kerja PLTU, PLTN menggunakan uap bertekanan tinggi untuk memutar turbin. Putaran turbin tersebut mampu menghasilkan energi listrik sebesar 40 MWe hingga 2000 MWe.

Hingga tahun 2015, tercatat 437 PLTN yang beroperasi di dunia. Secara keseluruhan, seperenam energi listrik dunia dihasilkan oleh PLTN. Reaktor nuklir yang pertama kali membangkitkan listrik adalah stasiun pembangkit percobaan EBR-I pada 20 Desember 1951 di dekat Arco, Idaho, Amerika Serikat. Sementara itu, PLTN pertama yang menghasilkan listrik untuk jaringan listrik mulai beroperasi di Obninsk, Uni Soviet, pada 27 Juni 1954.

Di Indonesia sendiri, ada tiga reaktor nuklir yang digunakan sebagai reaktor riset yang sampai sekarang masih beroperasi. Ketiga reaktor riset ini adalah reaktor TRIGA 2000 di Bandung yang memulai operasinya pada tahun 1965 dengan kapasitas 2 MW, reaktor Kartini di Yogyakarta yang beroperasi mulai pada tahun 1979 dengan kapasitas 250 kW, dan reaktor GA Siwabessy di Serpong yang mulai operasinya pada tahun 1987 dengan kapasitas 30 MW.

Namun, meski telah meneliti teknologi dan energi nuklir lebih dari setengah abad, hingga saat ini Indonesia belum mempunyai atau mengoperasikan PLTN. Ada beberapa alasan mengapa hingga saat ini Indonesia belum mempunyai PLTN.

Pertama, Indonesia berada dalam wilayah ring of fire sehingga dinilai berisiko tinggi dapat menimbulkan kerusakan pada PLTN. Cincin Api Pasifik atau ring of fire adalah jalur dengan banyak gunung berapi aktif dan daerah pertemuan lempeng bumi yang mengakibatkan wilayah ini rawan bencana gempa bumi dan letusan gunung berapi.

Kedua, teknologi nuklir membutuhkan subsidi besar. PLTN memiliki desain yang cukup kompleks, memerlukan ahli berkualifikasi tinggi, serta harus memenuhi standar yang ada. Ditambah lagi, safety untuk daerah ring of fire memerlukan teknologi yang mutakhir sehingga dikhawatirkan pembiayaan pembangunan PLTN ini dapat membebani APBN yang ada di Indonesia dan dikhawatirkan pula dapat menyebabkan ketergantungan teknologi terhadap negara lain.

Ketiga, sumber daya manusia dinilai belum siap mengelola teknologi nuklir. Jumlah dan kompetensi sumber daya manusia yang piawai tentu dapat meningkatkan keamanan dan keselamatan dalam pengelolaan serta pengembangan PLTN. Agar dapat memaksimalkan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir, link antarperguruan tinggi dan pemerintah sebagai penyuplai SDM perlu terus diperkuat.

Keempat, berkaca dari kecelakaan yang terjadi di negara-negara lain, seperti peristiwa Chernobyl dan Fukushima, keamanan PLTN masih diragukan. Tragedi Chernobyl disebabkan oleh kesalahan manusia yang sedang melakukan pengujian. Sistem otomatisasi pada reaktor Chernobyl dimatikan untuk kepentingan pengujian sehingga tanda peringatan tidak terdeteksi. Selama pengujian, tiba-tiba terjadi lonjakan daya hingga menyebab ledakan besar. Sementara itu, tragedi Fukushima dimulai akibat tsunami setelah terjadinya gempa bumi di Tohoku.

Hal-hal yang telah disebutkan di atas memancing munculnya stigma masyarakat terhadap pembangunan PLTN. Pada tahun 2008, Indonesia telah memiliki rencana pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, Jepara. Akan tetapi, rencana tersebut ditentang keras oleh masyarakat sekitar sehingga pembangunan tidak dilanjutkan.

Belakangan ini, tenaga nuklir sebagai alternatif penghasil listrik kembali marak diperbincangkan. Terlebih setelah pertemuan Conference of Parties (COP) ke-26 di Glasgow, opsi penggunaan energi nuklir direncanakan dimulai tahun 2045. Rencananya, pemanfaatan energi nuklir sebagai sumber pembangkit listrik ini memiliki kapasitas hingga 35 gigawatt pada tahun 2060.

Tentunya, opsi tersebut diharapkan tidak sekadar wacana belaka. Mengingat banyaknya kelebihan PLTN jika dibandingkan dengan pembangkit lain, diharapkan pembangunan PLTN di Indonesia dapat segera terwujud.

Kelebihan dari penggunaan PLTN bila dibandingkan dengan pembangkit lain ialah ketahanan energi listrik yang lebih stabil, tidak bergantung pada cuaca. Tidak seperti pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang bergantung pada kondisi cuaca, energi nuklir tidak terpengaruh oleh kecepatan angin atau sinar matahari, serta produksi energi nuklir dapat diprediksi dan lebih stabil.

PLTN merupakan pembangkit listrik yang bersih karena tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca secara langsung, berbeda dengan pembangkit listrik berbasis batu bara yang dianggap sebagai penyumbang emisi karbon terbesar. Berdasarkan Nuclear Energy Institute (NEI) pada tahun 2019, dengan menggunakan pembangkit berbasis nuklir, Amerika Serikat berhasil menekan emisi karbon lebih dari 476 juta metrik ton—nilai ini seperti mengurangi 100 juta mobil dari jalan.

Selain itu, nuklir memiliki densitas energi yang relatif besar. Dalam proses menghasilkan energi, nuklir melepas energi dalam jumlah yang lebih besar jika dibandingkan dengan bahan bakar konvensional, batu bara. Oleh sebab itu, nuklir dinilai lebih efisien.

Berdasarkan uraian di atas, pemanfaatan energi nuklir untuk memenuhi kebutuhan suplai listrik dapat diwujudkan antara lain dengan :

  1. Mengampanyekan informasi mengenai pemanfaatan teknologi nuklir untuk meningkatkan pemahaman dan kesamaan persepsi publik. Stigma masyarakat terkait PLTN umumnya disebabkan oleh banyaknya misinformasi dan kabar negatif yang diterima masyarakat. Masyarakat juga cenderung skeptis pada hal baru. Informasi yang berimbang, tepat, dan akurat dapat mengubah pandangan publik untuk mendukung pengembangan PLTN di Indonesia.
  2. Wawas diri akan histori kecelakaan PLTN yang terjadi di beberapa negara di dunia. Pada tragedi Fukushima, evakuasi dilakukan sehingga tidak menimbulkan korban jiwa. Dari kecelakaan-kecelakaan yang telah terjadi, kita dapat mempelajari, memperhitungkan risiko, dan mengantisipasi sehingga meminimalkan kemungkinan terjadinya kecelakaan.
  3. Mengikuti perkembangan teknologi nuklir. Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi turut mengalami perkembangan pesat. Begitu pula yang terjadi pada teknologi keselamatan nuklir. Tentunya, teknologi yang digunakan makin mutakhir sehingga keamanan dan ketahanan juga meningkat. Teknologi tersebut di antaranya menggunakan prinsip pertahanan berlapis (defense in depth), penghalang ganda (multiple barriers), keselamatan melekat (inherent safety), dan keselamatan pasif (passive safety system).
  4. Meningkatkan komitmen atau political will terhadap pembangunan PLTN. Regulasi serta road map yang jelas dan terstruktur diperlukan agar tidak terpengaruh dinamika perkembangan politik domestik dan global. Selain itu, jaminan hukum digunakan untuk menarik investor dalam pembangunan PLTN, serta memberikan insentif pada lembaga penelitian dan badan pemerintah khusus terkait nuklir.

“Jangan menunggu sempurna untuk memulai,” termasuk pengembangan PLTN. Ungkapan ini dirasa sesuai untuk mendorong terwujudnya PLTN di Indonesia. Pembangunan PLTN membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Tak bisa dimungkiri, awal mula pembangunan PLTN memang membutuhkan banyak waktu dan biaya. Namun, dengan political will dan road map yg jelas, penelitian teknologi dan pelatihan SDM di Indonesia bisa ditingkatkan. Permasalahan seperti ketergantungan teknologi dan pengolahan limbah radioaktif dapat terselesaikan serta dapat membuka peluang pemanfaatan baru lainnya.

Dengan adanya transisi energi yang lebih ramah lingkungan, harapannya suplai listrik dapat lebih stabil dan harga listrik PLTN dapat bersaing dengan harga listrik yang bersumber dari energi fosil. Ditambah lagi, setelah berhasil mengembangkan satu PLTN bukan hal yang tidak mungkin untuk mengembangkan PLTN kedua, ketiga, dst. Indonesia nantinya menjadi makin berpengalaman dalam pengembangan PLTN sehingga keselamatan dan keamanan meningkat.

Tulisan oleh Amalia Ramadhani
Data oleh Jason Devian Putra
Gambar oleh Rifki Fadhillah