Dua sejoli Orang Utan yang biasanya bergelayutan di puncak pohon besar itu berjalan bergandengan di daratan bak pengantin baru yang sedang berbulan madu. Sesekali mereka berlompatan ke pohon besar, bergelantungan, dan tetap berduaan. Mereka berdua sangat bahagia karena beberapa waktu terakhir ini terhindar dari kebakaran hutan dan penebangan pohon yang biasanya suaranya berdesing memekakkan telinga semua penghuni hutan.
Si Jantan memulai pembicaraan. “Dinda, hidup kita ini terancam, lho! Coba kau pikir! Manusia di bumi ini semakin banyak, berkembang pesat sekali, dan semakin maju serta pintar. Mereka membutuhkan segala macam dan banyak sekali. Mereka butuh lahan untuk persawahan dan perkebunan kelapa sawit, juga kayu-kayu besar hunian kita ini. Lalu mengincar tanah kita, membabat, dan membakar hutan tempat tinggal kita ini seenaknya,” kata si Jantan penuh emosi.
“Eh Kanda, kau bilang ini tanah kita?” tanya si Betina. Si Jantan langsung menyambar penuh keyakinan: “Ya, iyalah! Tuhan menciptakan alam ini seisinya. Sebelum didatangi manusia, pasti nenek moyang kita lah yang lebih dulu menghuni hutan ini secara turun-menurun. Sayangnya, pertumbuhan perkembang-biakan kita ini lamban, sedangkan manusia cepat sekali sehingga kita terdesak dan terusir.” “Tetapi, ada orang pintar yang berpendapat, konon manusia itu dulunya merupakan evolusi dari bangsa kita lho, Kanda, sehingga boleh dibilang kita ini bersaudara dengan manusia,” celetuk si Betina meredam si Jantan yang semakin emosional, “Ya, malah ada bukti bahwa DNA kelompok kita ini hampir mirip dengan DNA manusia sehingga pendapat orang pintar tadi mungkin ada benarnya walaupun disanggah oleh para ilmuwan lain, terutama para ahli agama, karena pendapat itu bertentangan dengan kitab suci agama apa pun!”
“Oh ya, saya punya pertanyaan, Dinda harus jawab!” kata si Jantan mulai mengendorkan emosinya. “Kalau orang yang tinggal di desa, namanya kan orang desa. Kalau orang yang tinggal di kota, namanya apa ya?” tanya si Jantan, dan langsung dijawab oleh si Betina: ”Ya, orang kota lah!” “Kalau orang yang tinggal di kampung?” tanya si Jantan kemudian dan juga langsung dijawab oleh si Betina: “Itu orang kampung namanya.” “Nah, kalau orang yang tinggal di hutan, namanya apa?” tanya si Jantan sambil mencolek pipi si Betina dengan genit. “Haa, itu kita ya, Kanda. Orang Utan, sebagaimana mereka memberi nama kepada kelompok kita,” jawab si Betina sambil tertawa terkekeh penuh bangga.
“Berarti ada pengakuan dari mereka toh?” tegas si Jantan. “Tetapi, bagaimana dengan ulah manusia yang terus menebangi hutan tempat tinggal kita ini lalu membakar seenaknya, Kanda?” tanya si Betina. “Padahal, dunia sudah mengingatkan, lho! Untuk menjaga iklim dan lingkungan seluruh jagad, negara yang memiliki hutan agar menjaga kelestariannya. Jadi, hutan kita ini mestinya harus dijaga, bukan dibabat dan dibakar seenaknya!” jelas si Jantan.
“Masalahnya, kita ini di negeri yang masih miskin sehingga kreativitasnya masih sebatas membabat kekayaan hutannya,” kata si Betina dengan nada seperti mencibir. “Ya, memang susah. Negara kaya membutuhkan berbagai macam barang atau produk dari tanah yang kita huni ini sehingga ya saling membutuhkan dan tidak terbendung,” jelas si Jantan. “Wah, kita bakal musnah dong, nanti hanya sebagai tontonan di kebun-kebun binatang saja. Kita harus segera bertindak, jangan diam saja, Kanda!” usul si Betina. “Memang, saya punya ide. Saya akan mengumpulkan para tokoh penghuni hutan ini untuk membahas masa depan kita,” ujar si Jantan dengan optimis bahwa pertemuan harus segera terlaksana.
Maka dibuatlah pengumuman yang ditulis pada daun-daun yang lebar, dipampang pada batang pohon-pohon besar mengenai undangan rapat itu. Juga dibuat spanduk dari dedaunan dan dibentangkan di pohon-pohon yang berisi undangan rapat dengan menyebut tempat dan waktu pertemuan. Tentu saja, undangan versi tutur-tinular yang paling cepat sampai kepada semua hewan penghuni hutan. Berbagai jenis kera, burung, ular, dan berbagai binatang melata lainnya sampai berbagai jenis serangga menyanggupi untuk hadir dalam pertemuan yang sangat penting tersebut. Pada hari yang ditentukan, perwakilan penghuni hutan sudah berkumpul di kawasan tempat pertemuan, bahkan sudah ada yang menginap berhari-hari di atas dan di bawah pepohonan yang rindang dan asri.
Pertemuan pun dimulai. Di dahan pohon besar, si Jantan Orang Utan sambil duduk berwibawa, membuka pertemuan. “Kawan-kawan penghuni hutan yang berbahagia, … apakah kita saat ini sedang berada di tempat yang tenteram dan damai?” tanya si Jantan Orang Utan yang dijawab dengan serempak bersahutan: ”Ya, kita semua nyaman dan damai!”. “Tetapi sebenarnya, kita ini hidup terancam. Coba kita lihat, manusia setiap hari membabat pohon-pohon hunian dan makanan pokok kita. Mereka tak terbendung dan semakin merajalela. Adakah pemikiran dan usul kalian?” teriak si Jantan Orang Utan.
Burung Enggang, yang merupakan spesies aneh karena burung betina bersama anaknya bersarang di dalam rongga pohon, langsung menyampaikan kekhawatirannya. Seolah mewakili suara Burung Pekakak yang paling banyak diburu orang untuk dikoleksi, juga Burung Mina yang brilian serta burung-burung lain yang banyak jumlahnya, berujar: “Ya, Kanda Orang Utan, kami semua khawatir akan punah karena diburu secara serampangan, dan terhempas karena alam hidup kita terampas oleh manusia.”
Demikian juga hewan yang lain, semua mendukung pernyataan burung Enggang. “Bagaimana kalau kita lawan mereka?” usul Buaya dan Ular Kobra hampir serempak bak jagoan yang hebat. “Maksud kalian?” tanya si Jantan Orang Utan. “Ya, kita lawan serempak dan bersatu. Kita serang dan usir mereka begitu datang ke tempat kita ini!” tandas si Buaya. “Semua yang punya kemampuan bela diri agar menunjukkan kehebatan kita kepada mereka!” kata si Ular Cobra bagaikan sesumbar dan menghasut sejawatnya di hutan Kalimantan yang lebat itu.
Orang Utan yang biasa membuat sarang dari ranting dan cabang kayu di puncak pohon dan sering berteriak lantang kalau marah dan mengamuk, tertawa terbahak-bahak. Lalu ucapnya: “Pernah suatu ketika, sewaktu kalian semua lari, saya justru terus bertahan di puncak pohon besar. Saya melempari mereka dengan dahan dan ranting dengan harapan agar mereka mengurungkan niatnya. Yang terjadi malah pohon itu tetap ditebang dengan peralatan modern yang suaranya menderu-deru memekakkan telinga. Ketika pohon-pohon pada tumbang, saya tidak sempat lari. Rupanya saya ikut roboh, terpelanting dan pingsan tertimpa pohon. Setelah siuman, tahu-tahu saya sudah di kota, dalam kerangkeng besi. Untung ada pecinta lingkungan dan hayati yang tahu dan kemudian membantu sehingga saya dikembalikan ke hutan ini, ketemu lagi dengan kalian.”
Bekantan, sejenis kera yang memiliki hidung berdaging panjang, dan Gibbon yang baru dilepas-liarkan karena sempat dipelihara oleh orang kaya di kota, tampak termenung dari awal. Dia tampaknya ditugasi oleh kelompoknya untuk mengikuti pertemuan. “Kok, kalian berdua bengong saja! Ada yang kalian pikirkan atau ada usul?” tanya si Jantan Orang Utan. “Ya, Kanda!” kata si Bekantan dengan suara memelas. “Presiden Republik Indonesia Joko Widodo atau yang dikenal dengan Jokowi, malah mau memindahkan ibu kota RI ke wilayah kita ini,” jelasnya. “Waah, di mana?” teriak semua yang hadir hampir serempak. “Rencana sih di Kalimantan Timur,” sahut si Gibbon. “Oh, jauh ya dari tempat kita,” celetuk si Jantan Orang Utan. “Tetapi pasti orang-orang akan berdatangan ke wilayah kita ini, membangun segala macam lalu kita akan tergusur dan mungkin punah dari muka bumi,” gerutu para hewan yang lain dengan perasaan kaget dan khawatir yang teramat sangat.
“Eh, saya dengar, Presiden Jokowi itu orang hutan juga ya?” tanya si Burung Hantu asal nyeletuk. “Hee, jangan sembarangan kau ucap, ya! Nanti kamu bisa ditangkap karena termasuk mencemarkan nama baik dan menghina,” kata si Jantan Orang Utan menyadarkan. Akan tetapi, si Burung Hantu buru-buru menjelaskan lebih lanjut: ”Bahwa Presiden Jokowi itu seorang Sarjana Ilmu Kehutanan bertitel Insinyur atau Ir. Sehingga bisa kita bilang orang hutan, orang yang tahu segala seluk-beluk tentang hutan. Gitu lho, maksud saya! Dan lagi, sewaktu menjadi Gubernur DKI Jakarta, Pak Jokowi itu pernah melarang “Topeng Monyet” lho! ‘Mencari makan kok menyiksa hewan, sungguh tidak berperi-kehewanan,’ begitu kira-kira pola pikir Pak Jokowi,” jelas si Burung Hantu lebih lanjut bak seorang guru menerangkan kepada murid-muridnya.
“Baik kawan-kawan, saya punya usul! Menyongsong ibu kota baru NKRI di wilayah kita ini, mari kita kirim surat kepada Presiden Jokowi. Mari kita bikin usul rame-rame!” ujar si Jantan Orang Utan dengan yakin seolah pandai menulis surat. “Hayo, mari kita rumuskan bersama! Burung Hantu, cari ranting yang runcing untuk menulis! Kera, kau cari daun-daun lebar yang bisa dipakai untuk menulis!” lanjut si Jantan Orang Utan, sepertinya tidak sabar lagi. “Ya, mari kita mulai!” ujarnya sambil menerawang ke atas dan jari telunjuk yang kanan ditaruh di jidat bak pemikir yang sedang memeras otaknya.
“Kepada Presiden Jokowi di Jakarta. Kami penghuni hutan Pulau Kalimantan, mendengar, bahwa ibukota NKRI akan pindah dari Jakarta ke kawasan kami ya, Pak? Kalau ya, kami semua senang tetapi takut jika kami nanti tergusur dan punah, Pak! Lalu apa kata dunia? Oleh karena itu, kami punya usul agar kawasan kami ini tetap terjaga, hutan serta kehidupan kami yang unik ini! Mohon Pak Presiden pikirkan agar dibuat jalanan semacam Tembok Cina yang meliuk-liuk sepanjang hutan dan sungai, tetapi terlindung atas-bawah agar kawan-kawan saya yang besar maupun yang kecil-kecil tidak bisa masuk mengganggu manusia. Biarlah manusia dari segala penjuru dunia melalui jalanan itu bisa menyaksikan kami dengan kedamaian dan saling membutuhkan penghidupan serta hiburan. Perpindahan penduduk dan pertumbuhannya juga mestinya terkendali dengan baik dan huniannya tertata dengan baik supaya bisa menarik para wisatawan karena lingkungan yang indah. Juga sungai-sungai sebaiknya ditata dengan bersungguh-sungguh sehingga bukan lagi sebagai tontonan banjir, tetapi sebagai sarana pariwisata alam untuk bercengkrama dengan kami. Sebagai kawasan ibu kota, mestinya banyak anggota TNI dan Polri yang menjaga. Bersamaan dengan itu, mohon ikut menjaga kelestarian hutan dan mengamankan kami sebagai penghuninya. Terima kasih Bapak Presiden! Mohon maaf kami tidak bermaksud menggurui, melainkan hanya sekedar sumbang saran. Hormat kami, atas nama penghuni hutan Kalimantan, tertanda ‘Orang Utan’.”
Ternyata semua tokoh penghuni hutan yang hadir ikut mencatat surat yang didiktekan oleh si Jantan Orang Utan. “Hee….., apa yang kalian tulis, Buaya dan lain-lain yang juga mengumpulkan naskah? Huruf apa yang kalian tulis?” tanya si Jantan Orang Utan dengan bangga karena semua mendukung langkahnya. “Ini huruf-huruf di lingkungan kami, Kanda! Biarlah kita kirim saja, siapa tahu di Pemerintah ada yang paham tulisan kami ini,” jelas mereka saling mendukung. Dengan penuh suka-cita dan mengucap terima kasih kepada semua yang hadir, si Jantan Orang Utan menutup pertemuan yang sangat bersahabat tersebut. Tetapi sebelum bubar, tiba-tiba si Kera tarik suara dengan lantang, “Kanda, kebetulan saya menemukan bekas amplop-amplop besar dan koran-koran milik petugas atau pejabat pembabat hutan yang ditinggal di hutan. Kita bisa pilih huruf-hurufnya untuk dimanfaatkan berkirim surat agar bisa sampai ke tangan pak Jokowi dengan selamat!”.
Surat dari dedaunan itu segera dilipat rapi dan kepada Kera yang lincah, bersama Anjing sebagai pengawal, diminta untuk mengirim atau menaruh surat itu ke Kantor Pos, meletakkan di Kantor Pemerintahan, atau markas TNI/Polri di mana saja yang terdekat, dengan harapan bisa disampaikan kepada Presiden Joko Widodo.
Tulisan oleh Muhammad Sadji
Ilustrasi oleh Aldhytian Surya Arthaka