Gempa bumi bukanlah hal tak lazim bagi masyarakat Indonesia. Pasalnya, Indonesia sendiri memang berdiri di atas cincin api pasifik yang merupakan pertemuan tiga lempeng tektonik dunia, yakni Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik.
Lempeng sendiri merupakan bagian dari kerak bumi yang mengapung di atas lapisan astenosfer serta bersifat plastis dan mobile. Hal tersebut mengakibatkan lempeng tektonik dapat bergerak dengan cukup bebas dan mampu berinteraksi antara lempeng satu dan yang lainnya. Masing-masing lempeng memiliki arah pergerakan yang berbeda-beda—Lempeng Indo-Australia bergerak relatif ke arah utara dan menyusup ke dalam Lempeng Eurasia, sementara Lempeng Pasifik bergerak relatif ke arah barat.
Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengamati dan mencatat 26 kejadian gempa bumi merusak (destructive earthquake) di Indonesia sepanjang tahun 2021. Jumlah gempa bumi merusak pada tahun 2021 merupakan jumlahan tertinggi dalam kurun waktu dua dekade silam.
Gempa bumi adalah getaran asli dari dalam bumi yang kemudian merambat ke permukaan karena rekahan bumi mengalami perpecahan dan tergeser dengan keras. Berdasarkan faktor penyebabnya, gempa dibedakan menjadi tiga jenis, yakni gempa tektonik, vulkanik, dan runtuhan.
Gempa tektonik adalah gempa yang diakibatkan oleh proses tektonik baik lipatan maupun patahan muka bumi yang mengakibatkan pergeseran (dislokasi) lapisan-lapisan batuan pembentuk litosfer. Pusat gempa tektonik tersebar di sepanjang zona subduksi lempeng (zona tumbukan lempeng di mana salah satu lempeng menunjam ke bawah dan lempeng lainnya terangkat ke permukaan) samudra ke bawah lempeng benua. Gempa vulkanik adalah getaran gempa yang menyertai aktivitas gunung api, baik sebelum maupun saat terjadi erupsi. Gempa runtuhan adalah gempa yang terjadi akibat runtuhnya massa batuan yang mengisi ruang kosong dalam litosfer.
Penggolongan gempa juga didasarkan atas karakteristik hiposentrum dan episentrumnya. Hiposentrum (pusat gempa) adalah titik atau garis dalam litosfer yang menjadi tempat bebatuan berguncang dan mengakibatkan terjadinya gempa. Adapun, episentrum adalah titik atau garis di permukaan Bumi sebagai tempat gelombang gempa dirambatkan ke wilayah di sekitarnya. Letak episentrum adalah tegak lurus terhadap hiposentrum.
Dampak fenomena gempa bumi dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu dampak primer dan sekunder. Dampak primer adalah dampak yang diakibatkan oleh getaran gempa itu sendiri. Getaran gempa yang cukup besar saat sampai ke permukaan bumi dapat merusak bangunan dan infrastruktur lainnya seperti jalan, rel kereta api, bendungan, dll. Banyaknya bangunan yang rusak ini juga dapat menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda. Dampak sekunder adalah dampak lain yang dipicu oleh adanya gempa, misalnya tsunami dan tanah longsor. Dampak sekunder ini sangat bervariasi dan biasanya secara berturut-turut terjadi setelah gempa.
Kejadian-kejadian gempa bumi ini telah mengakibatkan banyaknya kerusakan bangunan dan menyebabkan adanya korban jiwa. Hingga saat ini, masih belum ditemukan metode yang akurat untuk memprediksi lokasi pusat, waktu terjadi, dan kekuatan gempa bumi. Oleh karena itu, usaha yang paling baik adalah dengan cara mitigasi bencana gempa bumi. Mitigasi tersebut dapat berupa analisis peak ground acceleration serta dengan penggunaan alat berupa base isolation system.
Analisis Peak Ground Acceleration
Peak ground acceleration (PGA) merupakan percepatan getaran tanah maksimum yang diakibatkan oleh peristiwa gempa bumi. Nilai PGA didapatkan dari akumulasi rekaman kejadian gempa bumi yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Nilai percepatan getaran tanah maksimum yang dihasilkan menunjukan tingkat risiko bencana yang -terjadi. Dengan demikian dapat diketahui bahan bangunan atau struktur bangunan yang tepat. Di samping itu, analisis beban maksimal yang dapat ditanggung tanah dan bangunan, ketinggian gedung, hingga tulangan pada bangunan pun perlu diperhatikan sehingga dapat mengantisipasi kerusakan dalam bangunan.
Nilai PGA dapat dihitung dengan menggunakan fungsi atenuasi yang menggambarkan korelasi antara intensitas gerakan tanah setempat. Sayangnya, fungsi atenuasi yang berlaku di suatu tempat belum tentu berlaku di tempat yang lain karena sangat bergantung pada kondisi alam setempat. Pemilihan fungsi atenuasi didasarkan pada kesamaan kondisi geologi dan tektonik dari wilayah fungsi atenuasi tersebut dikembangkan.
Terdapat beberapa faktor penentu nilai PGA. Faktor pertama adalah besar magnitudo, yakni besarnya energi seismik yang dipancarkan oleh sumber gempa. Besaran magnitudo merupakan perbandingan secara logaritmik dari amplitudo gelombang gempa yang direkam oleh seismograf terhadap sebarang amplitudo gempa lain yang lebih kecil. Secara teori, magnitudo tinggi menghasilkan nilai PGA yang tinggi dan magnitudo rendah akan menghasilkan nilai PGA yang rendah pula. Faktor kedua adalah kedalaman hiposentrum, kedalaman fokus hiposentrum gempa dapat bervariasi dari permukaan hingga mencapai 700 km di atas zona subduksi. Faktor ketiga adalah periode dominan tanah, yaitu waktu yang dibutuhkan oleh gelombang untuk merambat pada lapisan tanah/sedimen. Periode dominan tanah didasarkan atas hubungan persamaan periode dan frekuensi. Nilai periode dominan tanah di suatu tempat dapat dicari dengan mencari nilai frekuensi predominannya terlebih dahulu.
Variasi nilai peak ground acceleration mengakibatkan adanya klasifikasi tingkat risiko gempa. Klasifikasi tersebut mengelompokkan sepuluh tingkat risiko yang dihasilkan oleh gempa bumi berdasarkan nilai PGA dalam satuan gravitational acceleration (gals) atau dalam satuan meter per detik kuadrat. Tingkatan yang ada yaitu sangat kecil (<0,25), kecil (0,25–0,50), sedang satu (0,50–0,75), sedang dua (0,75–0,10), sedang tiga (1,00–1,25), besar satu (1,25–1,50), besar dua (1,50–2,00), besar tiga (2,00–3,00), sangat besar satu (3,00–6,00), dan sangat besar dua (>6.00).
Di Indonesia sendiri, nilai PGA cukup bervariasi. Sebagai contoh, 0,60–0,70 gals untuk Banda Aceh dan sekitarnya, 0,41–0,45 gals untuk Bengkulu, dan 0,2–0,4 gals untuk Jawa Timur. Berdasarkan data yang tercatat pada tahun 1981 hingga 2014, nilai PGA Yogyakarta cukup fluktuatif (0,57–4,12 gals). Tidak hanya menghadirkan klasifikasi tingkat risiko gempa, variasi nilai PGA juga mengakibatkan adanya klasifikasi intensitas skala MMI, yakni tingkat kerusakan gempa yang dinyatakan dalam intensitas dan dihitung berdasarkan kerusakan yang terjadi di daerah yang terkena. Klasifikasi MMI tertera pada tabel terlampir.
Penggunaan Base Isolation System
Beban lateral pada bangunan akibat respons gempa di Indonesia cukup tinggi apabila dibandingkan dengan pengaruh beban lateral lainnya seperti angin. Terdapat beberapa metode untuk mereduksi demand beban lateral tersebut yang diatur dalam SNI 1726. Pasal 12 membahas tentang isolasi massa struktur atas dari goncangan gempa menggunakan base isolation system.
Pada struktur konvensional dengan kondisi terjepit di dasarnya, peristiwa gempa bumi akan menyebabkan deformasi pada struktur atas dan menimbulkan kerusakan yang nantinya akan menyebar pada area bangunan. Sementara pada bangunan dengan base isolation system, ketika terjadi goncangan tanah, sistem akan mengisolasi massa struktur yang berada di atasnya sehingga mengurangi risiko kerusakan pada bangunan. Pada dasarnya, penggunaan base isolation system ini adalah untuk meningkatkan kinerja dari struktur atas ketika bangunan terkena guncangan gempa bumi.
Material khusus digunakan pada sistem isolasi dasar sebagai peredam getaran (seismic isolator) yang letaknya berada di antara bangunan dan fondasi dasar. Sistem ini bertujuan untuk meningkatkan waktu getar alami struktur akibat gempa, sehingga tidak membahayakan struktur bangunan beserta isinya. Isolasi dasar ini terbuat dari lembaran-lembaran karet yang direkatkan pada pelat baja secara berselang-seling. Kegunaan dari pelat baja tersebut adalah untuk meningkatkan kekakuan karet ke arah vertikal sehingga karet tidak mengembung ke samping karena beban bangunan.
Terdapat dua jenis sistem isolasi dasar. Jenis pertama adalah elastomeric-based yang memiliki tiga tipe, yakni lead rubber bearing, high-damping rubber bearing, dan low-damping rubber bearing. Jenis kedua adalah friction-based yang memiliki dua tipe, yakni single concave pendulum bearing dan double concave pendulum bearing.
Sistem isolasi dasar memiliki karakteristik yaitu tingkat kekakuan lateralnya rendah serta memiliki kemampuan recentering; disipasi energi yang baik, kaku, dan stabil pada arah vertikal (terhadap beban gravitasi bangunan dan saat terkena perpindahan lateral yang besar); serta memiliki sifat mekanis yang terukur dan stabil. Base isolation system ini akan sangat efektif apabila struktur bangunan berada pada tanah yang sifatnya keras dan memiliki periode dasar yang rendah (bangunan rendah). Sebaliknya, sistem isolasi dasar ini akan berkurang efektivitasnya apabila bangunan didirikan pada tanah yang lunak serta periode dasarnya tinggi (bangunan tinggi).
Bentuk mitigasi bencana gempa bumi di Indonesia dapat dilakukan dengan analisis peak ground acceleration yang menghasilkan ukuran intensitas gempa bumi yang dialami suatu wilayah untuk dipetakan. Peta tersebut nantinya dapat mengindikasikan tingkat kerawanan terhadap gempa bumi untuk keperluan rencana tata ruang dan wilayah ataupun konstruksi bangunan tahan gempa. Hal itu dapat meminimalisasi kerusakan bangunan dengan melakukan desain konstruksi tahan gempa pada daerah yang memang memiliki intensitas gempa yang cukup tinggi. Penerapan sistem isolasi dasar juga tentunya akan menunjang konstruksi bangunan tahan gempa yang memang didesain khusus untuk wilayah rawan gempa.
Tulisan oleh Aizna Syachkalita
Data oleh Wafa Nisrina Salsabila
Ilustrasi oleh Haykal Fahri Gibran