Kemunafikan, adalah tindakan yang berhubungan erat dengan pengkhianatan, berkata tidak sesuai dengan hati, serta bermuka dua. Suatu tindakan secara terbuka yang menyatakan sikap atau bertingkah laku tertentu, tetapi kemudian bertindak dengan cara yang tidak konsisten terhadap sikap atau tingkah laku tersebut. Sebuah kata yang dikenal juga dengan istilah hipokrisi, berasal dari Yunani ὑπόκρισις (hypokrisis) yang artinya cemburu, berpura-pura, atau pengecut.
Hipokrisi adalah kebohongan
“Hadirilah webinar yang diselenggarakan oleh kami. Dengan tema mengenal lebih dalam tentang saham, jadilah milenial yang pintar memutar cuan,” ucap organisasi yang menjual risol mayo sebagai revenues utamanya. Pun setelah webinar tersebut dilaksanakan, transaksi jual-beli risol mayo atau melakukan paid promote masih menjadi hal yang utama.
Dari mana sisi masuk akalnya ketika banyak di antara kita yang seperti itu. Dana usaha (danus) yang tidak merepresentasikan kemajuan perkembangan bisnis dan zaman, padahal anggotanya sudah sering membicarakan mengenai saham, trading, sampai NFT.
Akhmad Saeful, Vice President Corporate Audit, Risk Management, and Business Transformation di Paragon Technology and Innovation, berpendapat bahwa hal terpenting dalam sebuah proses belajar adalah internalize that into yourself. Penulis percaya jika kebanyakan mahasiswa Indonesia Raya tidak hipokrit dengan segala tindakannya, negara ini dapat cepat mencapai kejayaannya.
Ketika seluruh anggota organisasi perkuliahan yang mengadakan webinar tentang “Lead Yourself by Implementing Self-Management Skills”, benar-benar seluruhnya dapat mengaplikasikan ilmu manajemen diri dan orang di sekitarnya sehingga Ia tidak kesulitan, bahkan tertekan saat menjalani perkuliahan.
Ketika seluruh anggota organisasi yang mengadakan webinar tentang “Kebangkitan Energi Baru dan Terbarukan guna Terwujudnya Kedaulatan Energi Nasional”, benar-benar seluruhnya menggunakan EBT dan public transport, kritis terhadap isu tersebut sehingga energi Indonesia dapat berdaulat.
Ketika seluruh anggota organisasi yang mengadakan webinar tentang “Mengulik tentang Saham”, benar-benar seluruhnya menggunakan saham sehingga menjadikan saham sebagai pendapatan utama organisasi tersebut.
Maka, seketika itu juga Indonesia akan mencapai keagungan yang telah lama-lama dinantikan.
Jika berkembangnya zaman tidak diiringi oleh berkembangnya pola pikir organisasi, bersiaplah organisasi Saudara akan tenggelam dimakan zaman. Organisasi mahasiswa perlu menjadi organisasi yang agile (lincah), artinya organisasi tersebut secara cepat dapat mengonfigurasi ulang strategi, struktur, proses, orang, dan teknologi, menuju peluang untuk menciptakan nilai dan melindungi nilai organisasinya.
Berdasarkan hasil penelitian McKinsey & Company (2017), organisasi yang agile mampu memberikan kinerja yang lebih baik. Oleh karena itu, perubahan ke arah organisasi yang menjadi cepat atau lincah–mengikuti tuntutan zaman–menjadi salah satu agenda prioritas perusahaan eksekutif di berbagai belahan dunia.
Lalu, perlu diingat bahwasanya mahasiswa berperan sebagai agent of change (agen perubahan) dalam kehidupannya bersama masyarakat. Penggerak perubahan ke arah yang lebih baik melalui pengetahuan, ide, dan keterampilan yang dimilikinya. Mahasiswa sangat bisa menjadi lokomotif kemajuan suatu bangsa, mengantarkan negara ini menuju yang dicita-citakan oleh The Founding Fathers. Maka dari itu, mahasiswa memiliki kewajiban moral untuk menjadi contoh dan membawa perubahan ke arah yang lebih baik dalam kehidupan bermasyarakat.
“Jika sebuah organisasi mengadakan webinar bertema ‘Beralih Menggunakan Angkutan Umum’, memberikan undangan kepada pejabat publik yang tiap hari berkutat dengan persoalan itu, ditambah partisipan webinar kebanyakan adalah panitia itu sendiri. Lalu bagaimana caranya 200 juta lebih masyarakat Indonesia yang lain dapat tercerahkan untuk beralih menggunakan angkutan umum?”
Hipokrisi adalah kepura-puraan
“Dinamika zaman sekarang banyak diglorifikasikan pada menjalankan tugas saja. Terlalu besar orientasinya pada event yang sukses ketimbang memberikan value atau experience kepada anggotanya.”
Sepanjang Penulis berdinamika di bangku perkuliahan, aktif dalam sejumlah organisasi dan kepanitiaan, mengikuti banyak kegiatan di luar kampus, menjalani berbagai wawancara di dalamnya, seleksi beasiswa, hingga sekarang bisa lolos seleksi magang di sebuah perusahaan dengan keketatan 0,07%; hanya ada satu prosesi wawancara sebuah organisasi yang pewawancaranya meninggalkan trauma buruk bagi yang mengikutinya. Mereka (para pewawancara) seolah-olah menjadi orang yang paling suci, menekan semua peserta yang mereka temui, membentak, dan melakukan hal-hal konyol lainnya. Berbeda betul dengan sifat asli mereka yang penulis biasa temui–organisasi tersebut Penulis temui di DTSL UGM.
Tekanan bagaikan pedang bermata dua. Jika tidak digunakan, Saudara bisa gagal menebas lawanmu. Ceroboh digunakan, Saudara pasti berhasil menebas dirimu sendiri. Jangan main-main dengannya jika hanya dengan dalih “melestarikan tradisi”. Mengubah tradisi itu sulit, tetapi memperluas perspektifmu tidak. Toh, tradisi dibangun berlandaskan perspektif luhur pendahulu kita, bukan kita.
Menurut Boby Andika Ruitang, kontributor Medium sekaligus lulusan Jurusan Psikologi UI, jika Saudara ingin melakukan sesuatu yang berhubungan dengan psikologis seseorang, Saudara harus memiliki pendekatan ilmiah yang valid dan dapat diandalkan untuk itu. Alasan di balik ini sederhana: ketika Saudara mengutak-atik pikiran, kepribadian, dan perilaku orang, Saudara harus yakin dengan apa yang Saudara lakukan dan harus bertanggung jawab karena hal tersebut. Hal yang sama harus berlaku untuk pembuatan program orientasi, hal yang banyak diabaikan oleh organisasi.
Tidak cukup hanya mengadakan permainan atau seminar dengan tema random selama orientasi untuk menanamkan soft skill dan nilai-nilai lain. Dibutuhkan program yang dipikirkan dengan cermat, didasarkan pada teori yang jelas, dan harus diuji sebelum akhirnya digunakan secara resmi. Saudara perlu menggunakan metode yang benar untuk mendapatkan output yang diharapkan dari peserta, dimana mereka dapat menarik wawasan yang berarti dari kegiatan tersebut. Saudara tidak dapat menyelenggarakan aktivitas di mana wawasan soft skill yang diperoleh bersifat ambigu—sehingga mengabaikan tujuannya. Saudara juga harus mempertimbangkan karakteristik audiens target, mungkin cocok untuk siswa sekolah menengah atas, tetapi tentu tidak akan seefektif metode untuk mahasiswa. Inilah sebabnya program yang spesifik dan dirancang dengan hati-hati sangatlah penting.
Orientasi seharusnya tidak menjadi proses di mana Saudara ceramah kepada mereka tentang kerja tim (atau soft skill lainnya), melainkan proses penemuan diri di mana penekanannya adalah pada partisipasi aktif peserta, dan penyelenggara hanya bertindak sebagai fasilitator untuk membimbing–tidak mendikte–aliran aktivitas. Ini adalah sesuatu yang perlu dilakukan oleh para profesional yang terampil seperti pendidik, dan bukan sekadar volunteering.
“Orientasi bertujuan untuk mengenalkan peserta terhadap organisasi, tugas, dan kegiatan yang ada di dalamnya. Menanamkan nilai-nilai baik suatu organisasi sehingga hal tersebut dapat terus terjaga (dikenal juga dengan istilah moral force ‘kekuatan penjaga moral’). Lagi pula, tidak ada yang ingin tahu bahwa Saudara adalah penekan, terlebih hipokrit.”
Hipokrisi adalah pengecut
Donald Sull, seorang dosen senior di MIT Sloan School of Management dan co-founder CultureX, dalam Toxic Culture Is Driving the Great Resignation, pernah menganalisis alasan turnover (keluarnya) karyawan di 500 perusahaan dalam rentang April hingga September 2021. Hasilnya, toxic corporate culture ‘budaya perusahaan yang beracun’ merupakan alasan paling kuat penyebab banyak karyawan mengundurkan diri dari perusahaannya. Ia menemukan bahwa elemen utama yang berkontribusi terhadap budaya beracun tersebut adalah kegagalan untuk mempromosikan keragaman, kesetaraan, dan inklusi; anggota merasa tidak dihargai; dan perilaku tidak etis. Poin pentingnya, yaitu budaya beracun perusahaan adalah faktor terbesar yang mendorong karyawan keluar dari perusahaan, dikenal dengan istilah The Great Resignation.
Sedari awal kaderisasi, mahasiswa telah dibentuk dengan sebuah nilai luhur 6S, senyum, salam, sapa, sopan, santun, srawung. Penulis berpendapat nilai luhur tersebut perlu diterapkan di mana pun kita berada, kapan pun, dan kepada siapa pun. Bukankah nilai-nilai luhur tersebut seharusnya diterapkan sampai kita mati? Bukan sampai korsa didapat? Dari mana salahnya menyapa adik tingkat yang lebih muda? Apakah di dunia kerja nanti kita hanya akan sopan dengan seseorang di atas kita, tetapi kita dengan tinggi hati menginjak orang di bawah kita? Remember, respect is earned, not given.
Jika nilai luhur tersebut hanya akan berlaku di hadapan angkatan senior dan luntur di hadapan angkatan junior, maka roda kebodohan ini akan terus berputar demikian. Mau sampai kapan?
Kalau hal ini terus terjadi, bukan tidak mungkin minat mahasiswa baru terhadap sebuah organisasi akan makin menurun. Terlebih, ada banyak kesempatan yang lebih menguntungkan daripada bergabung organisasi di kampus. Kegiatan lain seperti exchange, magang, atau lomba dirasa lebih besar manfaatnya untuk masa depan setelah lulus daripada sekadar menjadi anggota organisasi.
Kata munafik dalam bahasa Yunani juga memiliki arti “seorang aktor” atau “pemain panggung”. Secara harfiah diterjemahkan sebagai “an interpreter from underneath” yang mencerminkan bahwa aktor Yunani kuno mengenakan topeng dan berbicara dari bawah topeng itu.
Menggunakan topeng lakon di hadapan kakak tingkat, berganti topeng drama di hadapan adik tingkat, tidak melupakan topeng opera di hadapan dosen, selalu bersiap dengan topeng drama farce ketika menghadapi keluarga, boleh jadi juga memiliki topeng yang berbeda untuk teman yang berbeda pula. Hidup terus menerus seperti itu dalam sebuah lingkaran kemunafikan. Topeng apa yang Saudara pakai sekarang?
Kemunafikan, adalah tindakan yang berhubungan erat dengan pengkhianatan, berkata tidak sesuai dengan hati, serta bermuka dua. Sebuah kata yang dikenal juga dengan istilah hipokrisi, berasal dari Yunani ὑπόκρισις (hypokrisis) yang artinya cemburu, berpura-pura, atau pengecut, pengecut.
Tulisan oleh Yoga Faerial Baskara
Ilustrasi oleh Ambrosius Bowo Laksono