Sustainable development, atau dalam Bahasa Indonesia berarti pembangunan berkelanjutan, sudah menjadi standar paradigma pembangunan modern saat ini. Slogan lembaga dan perjanjian internasional, teriakan para aktivis lingkungan, jargon yang dibawa proyek pembangunan, hingga publikasi akademik serempak menggaungkannya sebagai solusi menghadapi krisis lingkungan yang perlahan mulai mengancam keberlangsungan komunitas global.
Akan tetapi, di balik maraknya tuntutan untuk menyegerakan implementasi konkret dari pembangunan berkelanjutan, berapa banyak dari kalian yang sebenarnya paham dengan maksud dari pembangunan berkelanjutan itu sendiri?
Pentingkah untuk memahami definisi ketika lebih baik melakukan aksi? Jawabannya adalah iya! Pengingat terbaru mungkin bisa diambil dari demonstrasi mahasiswa pada 11 April lalu yang mengundang banyak kritikan dari berbagai kalangan karena mahasiswa dianggap sekadar menggelar demonstrasi tanpa mengerti betul apa masalah yang didemonstrasikan.
Kembali ke topik, apa yang menjadi definisi dari pembangunan berkelanjutan? Apa yang membuat jalannya pembangunan dikatakan berkelanjutan? Mengapa konsep ini sendiri penting? Apakah hanya karena Perjanjian Paris pada tahun 2015 yang menjadikan konsep ini sebagai kewajiban baru bagi seluruh negara di dunia? Tidakkah Indonesia sebagai negara berkembang lebih baik fokus penuh pada penguatan ekonomi nasional?
Ketika pertanyaan-pertanyaan di atas belum bisa terjawab dengan kuat dalam benak kalian, bukankah konsep pembangunan berkelanjutan ini terancam menjadi sebuah klise–gagasan yang terlalu sering dipakai hingga akhirnya makna sebenarnya lambat laun memudar. Lantas, apa sebenarnya pembangunan berkelanjutan ini bagi Indonesia? Sebuah tren nyata yang memang perlu diadopsi untuk keberlangsungan hidup ke depan atau hanya klise belaka hasil meniru atau ikut-ikutan tren yang digagas forum internasional? Artikel ini selanjutnya bermaksud memberi pencerahan terkait.
Ide-ide yang melahirkan pembangunan berkelanjutan
Istilah pembangunan berkelanjutan muncul dari ide akan keberlanjutan atau ketahanan (sustainability) yang diperkirakan mulai menjadi bahan diskusi para ahli pada era revolusi industri. Pada abad ke-17 dan ke-18, yang pertama kali menggagas ide seputar keberlanjutan adalah pakar kehutanan dan ekonomi. Pakar kehutanan mengkhawatirkan sumber daya hutan yang makin menurun akibat eksploitasi besar-besaran untuk mendorong revolusi industri di Eropa, sedangkan pakar ekonomi mempertanyakan batas pertumbuhan ekonomi dan demografi menyusul perkembangan lebih lanjut dari revolusi industri.
Berlanjut pada abad ke-19, ide keberlanjutan diperdalam oleh para naturalis dan ekologis yang memperdebatkan dua konsep konservasi sumber daya alam: konservasi antroposentris yang mengutamakan konservasi untuk menjaga keberlangsungan konsumsi manusia di masa mendatang, dan preservasi biosentris yang mengutamakan nilai ekologis sumber daya alam sebagai komponen dari alam itu sendiri.
Ide keberlanjutan baru kemudian memperoleh perhatian serius pada akhir abad ke-20. Hal ini didorong oleh kebijakan negara-negara barat pasca-Perang Dunia II yang berkeinginan untuk membantu pembangunan negara-negara yang baru merdeka ataupun yang masih belum berkembang, sembari mendorong pertumbuhan ekonominya sendiri.
Pergerakan tersebut banyak mengimplementasikan program pertumbuhan ekonomi yang tidak memperhatikan keselamatan lingkungan sehingga menuai banyak kritikan. Keberlanjutan kala itu memperoleh berbagai platform diskusi, terutama melalui buku-buku seperti Limits to Growth, The Meaning of Development, A Blueprint for Survival, dan Manifesto for a Sustainable Society. Pada tahun 1980-an, perbincangan mengenai keberlanjutan pun mulai menggandeng tema pembangunan sehingga dikenal sebagai pembangunan berkelanjutan.

(Sumber: Purvis, Mao, dan Robinson, 2019)
Mendefinisikan pembangunan berkelanjutan
Terlepas dari banyaknya pendapat yang diajukan berbagai kalangan, definisi paling populer dari pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Definisi ini berasal dari Laporan Brundtland dari Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan berjudul Our Common Future yang disampaikan pada tahun 1987. Laporan Komisi Brundtland disebut menjadi katalis yang mendasari paradigma modern dari pembangunan berkelanjutan.
Lebih lanjut, pembangunan berkelanjutan didefinisikan dalam wujud paradigma tiga pilar yang menunjukkan aspek-aspek kehidupan yang perlu diperhatikan agar keberlanjutan dapat tercapai. Ide ini diduga berasal dari penjabaran lanjutan terhadap Laporan Brundtland meski sebenarnya sumber asalnya tidak begitu jelas—seakan ide ini muncul begitu saja dalam sejumlah literatur dan telah menjadi pandangan umum mengenai pembangunan berkelanjutan.
Tiga pilar ini adalah ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ketiga aspek tersebut dianggap sebagai pilar penopang yang menjadi kunci untuk mencapai keberlanjutan. Namun, konsep ini tidak sepenuhnya universal karena sejumlah gagasan lain menganggap aspek seperti politik, pasar, dan budaya perlu dipertimbangkan pula sebagai pilar penopang.
Ketiga pilar tersebut juga dipandang dalam berbagai bentuk atau model. Ada model yang menggambarkan ketiganya sebagai pilar bangunan, artinya ketiga aspek tersebut bersifat independen dan tidak saling memengaruhi satu sama lain, tetapi ketiganya sama-sama menjadi penyokong keberlanjutan.
Model lain menyusun ketiga aspek tersebut dalam bentuk tiga lingkaran konsentris dengan ekonomi sebagai lingkaran terdalam, kemudian disusul sosial dan lingkungan. Bentuk konsentris ini juga menggambarkan ketiga aspek (lingkaran) bersifat independen, tetapi lingkaran dalam akan terpengaruh oleh gangguan yang dialami oleh lingkaran luar. Contohnya adalah apabila terjadi gangguan pada aspek sosial, aspek ekonomi akan ikut terganggu, tetapi aspek lingkungan tidak mengalami dampak apa pun.
Model selanjutnya adalah model menyerupai diagram venn. Model ini dianggap paling mendekati konsep keberlanjutan dan pembangunan berkelanjutan secara lebih luas oleh banyak pihak. Dalam model tersebut, ketiga aspek saling bersilangan. Keberlanjutan dianggap sebagai ruang silang dari ketiga aspek tersebut—artinya keberlanjutan adalah ketika aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan saling berimbang serta saling mendukung baik pertumbuhan maupun kelestarian satu sama lain.
Kembali ke pertanyaan: tren atau klise?
Dengan melihat perkembangan saat ini, sesungguhnya bukanlah hal yang bisa disangkal bahwa pembangunan berkelanjutan adalah tren nyata serta solusi untuk memitigasi atau setidaknya membantu adaptasi kita ke depan dalam menghadapi berbagai bencana lingkungan akibat rusaknya alam. Akan tetapi, jika setelah membaca ulasan-ulasan di atas kalian menemukan bahwa sebagian besar yang tercantum adalah pengetahuan baru bagi kalian maka konsep pembangunan berkelanjutan adalah klise untuk kalian.
Jadi, apakah hanya ini saja kepentingan kita memahami secara betul teori keberlanjutan dan pembangunan berkelanjutan? Tidak juga! Dalam ontologi, ilmu pengetahuan pembangunan berkelanjutan adalah ilmu yang masih terbuka—hal yang tak mengherankan bila mengingat ilmu ini memadukan berbagai cabang disiplin ilmu dalam pembahasan ataupun implementasinya.
Dengan mengetahui paradigma dasar dari pembangunan berkelanjutan, penulis mengajak pembaca sekalian untuk bijak dalam memberi ide atau gagasan baru yang mendukung kemajuan ilmu ini demi tujuan pembangunan berkelanjutan tetap berada pada arah yang benar, tanpa terkontaminasi kepentingan atau ideologi kelompok tertentu.
Tulisan oleh Geraldine Melyana (Mahasiswi Akuntansi Universitas Airlangga)
Ilustrasi oleh Hanif Albaihaqi