
Disclaimer: Artikel ini ditulis untuk membantu teman-teman menyuarakan keresahan yang terjadi tanpa adanya paksaan dan tanpa tujuan untuk memojokkan pihak manapun. Seluruh data yang Penulis gunakan telah disamarkan dan mendapat persetujuan dari pihak terkait.
“Selalu menjunjung tinggi nilai-nilai dan nama baik almamater serta menjaga keamanan dan ketertiban di lingkungan UGM.”
Sebuah janji yang kita suarakan dengan lantang saat pertama kali kita menapakkan kaki di universitas terbaik Indonesia. Ribuan harap dan cita yang kita bawa untuk menimba ilmu, keberanian untuk meninggalkan kampung halaman demi meraih gelar sarjana di hari esok, dan ratapan doa yang senantiasa terucap untuk kelancaran dunia perkuliahan. Penulis ingin bertanya kepada Saudara, apakah semua yang Saudara harapkan dalam dunia perkuliahan sudah terbayarkan? Atau justru terjerumus dalam lubang penyesalan?
Tak bisa dimungkiri, di balik perguruan tinggi yang tersanjung, terdapat segudang kemunafikan di dalamnya. “Mengakar Kuat Menjulang Tinggi”, sebuah filosofi yang selalu digaungkan di penjuru Bulaksumur, kita seakan diberi tanggungan harapan agar menjadi alumni yang mampu mengabdi bagi Ibu Pertiwi. Namun, apakah filosofi tersebut hanya sebagai citra palsu untuk menutupi ribuan bobroknya sistem dan budaya perkuliahan?
Hasrat untuk Diakui: Seorang Pemenang atau Pecundang
Roda kehidupan terus berputar, transisi perkuliahan membawa krisis baru kehidupan. Menjadi seorang pemenang dari perebutan bangku kuliah di perguruan tinggi terbaik merupakan sebuah kebanggaan, dipertemukan dengan seluruh “sang genius” dari penjuru Negeri membawa daun keberuntungan ataupun malapetaka yang tak berujung—ketakutan akan persaingan yang mampu membuka aib kekurangan dalam diri.
Penulis ingin bertanya kepada Saudara, jika Saudara berada di lingkungan yang membuat tertekan, baik dari segi fisik maupun mental, langkah apa yang akan Saudara ambil? Apakah Saudara akan melakukan segala cara—sekalipun tidak dibenarkan dalam norma kehidupan—demi menyelamatkan harga diri? Atau berjuang dengan hanya sebatas kemampuan diri meskipun nantinya akan dipandang sebelah mata?
Penulis mengingat dengan jelas bagaimana euforia saat menjadi mahasiswa baru, semua orang berlomba-lomba menjadi yang teraktif di dalam kelas, rela menahan kantuk demi mengejar materi selama satu malam, dan belajar bersama demi mendapatkan IP 4.00 pertama sebagai seorang mahasiswa. Pada kenyataannya, hal tersebut tak bertahan hingga satu semester. Membawa gawai saat keluar ruang ujian? Jumlah lembar cheatsheet yang lebih dari ketentuan berlaku? Mengakses tab tambahan saat ujian menggunakan perangkat elektronik? Bahkan, membawa lembar contekan yang disimpan rapi dalam kemeja untuk dibuka saat ujian berlangsung? Mereka melegalkan bermacam cara untuk menyelamatkan harga diri dan membangun citra palsu sebagai seorang pemenang.
Keyakinan dalam diri menentukan bagaimana orang tersebut akan merasa, berpikir, berperilaku, dan memotivasi diri sendiri. Keyakinan ini memberi efek melalui proses kognitif, motivasi, emosional, dan selektif (Bandura, 1994). Rendahnya keyakinan terhadap diri sendiri dapat menjadi faktor utama seseorang merasa tidak mampu untuk melakukan tugas dengan benar dan optimal (Murdorck et al., 2001). Hal inilah yang menjadi pendorong utama untuk memilih jalan licik menuju kesuksesan.
Upaya meraih kemenangan dengan tangan dan mata yang diselimuti dosa dirayakan bak memenangkan undian pahala. Apabila mendapat celah keberuntungan, maka akan mendapat kebahagian untuk mengisi ego diri. Namun, jika dewi kesialan sedang bertindak, ratusan makian dikeluarkan dari diri. Nyatanya kita sedang hidup dikelilingi oleh “mereka” yang sangat bangga akan tindakan dosa, memamerkan lembar contekan setelah keluar ruangan ujian, saling bertanya kepada “teman seperjuangan” apakah dapat membuka contekan yang dibawa, dan masih banyak kebanggaan lainnya bagi mereka. Di balik kalimat “ini urusanku dengan Tuhan, Anda tidak perlu ikut campur seperti malaikat yang suci!”, apakah mereka tidak memikirkan ganjaran apa yang akan mereka peroleh dalam lima atau sepuluh tahun ke depan?
Satu kebohongan pastinya akan diikuti kebohongan lain untuk menutupinya, seperti terjebak dalam lingkaran setan yang terkunci. Generasi yang didambakan menjadi “Generasi Emas 2045”, tetapi banyak sekali melakukan tindakan tak bermoral yang dapat menjadi bibit keburukan di masa mendatang. Fantasi akan nilai tinggi yang tak sebanding dengan kemampuan diri, ketergantungan terhadap mencari jalan pintas yang membuat kita menjadi pribadi yang tak sejalan dengan moral dan etika yang berlaku.
Suara yang Terbungkam: Keresahan atas Ketidakjujuran
“KECURANGAN APAPUN SELAMA UJIAN= DROPOUT”, sebuah spanduk dengan warna merah yang terpampang jelas di sudut-sudut kampus swasta ternama, keputusan ini patut diapresiasi untuk meminimalkan segala bentuk kecurangan. Apakah mungkin Kampus Bulaksumur ini berani untuk mengambil keputusan tersebut dan mampu menerapkannya—tidak hanya tertulis dalam peraturan sebagai formalitas—untuk segala bentuk kecurangan yang ada?
Penulis ingin mengajak Saudara untuk membahas satu per satu kemunafikan yang ada. Kita mulai dari Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, sudah menjadi rahasia umum jika banyak sekali desas-desus kecurangan yang terjadi di DTSL.
“Ketika saya berada di dalam ruang ujian banyak peserta ujian yang izin kepada pengawas untuk pergi ke toilet. Namun, mereka tidak kembali dalam selang waktu yang lama hampir 10–15 menit. Rasa penasaran saya mendorong untuk mengikut mereka, ternyata saat berada di toilet mereka memanfaatkan waktu untuk berdiskusi dan membuka gawai yang mereka bawa padahal sudah ada peraturan untuk meletakkan gawai di dalam tas,” ucap salah satu mahasiswa DTSL.
“Saya pernah melihat kecurangan saat ujian salah satu mata kuliah yang menggunakan laptop, banyak sekali yang mencuri kesempatan untuk membuka WhatsApp ataupun Line untuk mengerjakan soal ujian secara bersama ataupun saling bertukar jawaban,” pengakuan salah satu mahasiswa DTSL.
Selanjutnya kita dengar pesan dari mahasiswa departemen lain yang tak luput dari kasus kemunafikan ini.
“Semester lalu pernah ada kasus cheating saat ujian berlangsung, tetapi pihak departemen langsung mengambil keputusan tegas untuk memberikan nilai E pada mata kuliah tersebut terhadap pelaku,” ujar J, seorang mahasiswa Departemen Teknik Kimia.
“Dari TETI (Teknik Elektro dan Teknologi Informasi) sendiri, pengawasan saat ujian sangat ketat sehingga sulit untuk melakukan kecurangan, tapi pernah saat ujian online terdapat beberapa mahasiswa yang curang. Peraturan di TETI apabila ketahuan melakukan kecurangan langsung diberikan nilai E,” ucap salah satu mahasiswa Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi.
Bergeser keluar dari Fakultas Teknik, kecurangan dalam ujian juga terjadi hampir merata di seluruh fakultas/sekolah yang ada. Penulis sempat mewawancarai dua narasumber dari fakultas yang berbeda.
“Saat ujian pernah ada kecurangan, kebetulan ujian waktu itu menggunakan Google Form sehingga memudahkan untuk membuka tab lain di handphone. Saya lihat peserta ujian di depan saya membuka materi selama ujian berlangsung, padahal ujian bersifat buku tertutup,” ucap L, seorang mahasiswa Fakultas Geografi.
“Saya pernah melihat teman di depan saya melakukan cheating, dia membagi layar laptop menjadi dua—untuk soal dan materi—padahal sifat ujian saat itu tertutup. Sangat disayangkan di UGM terdapat oknum-oknum seperti itu,” ucap I, mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan.
Bagaikan lumut yang tumbuh di musim hujan, tindakan kecurangan dalam ujian sudah seperti hal yang dinormalisasikan bagi kalangan mahasiswa. Entah dorongan apa yang membuat mereka melakukan tindakan tersebut. Untuk memenuhi ekspektasi keluarga yang tinggi? Kecemasan sosial jika mendapatkan IP terendah dari yang lain? Atau justru kebiasaan yang sudah dibawa sejak duduk di bangku sekolah?
Sudah sepatutnya pihak yang bertanggung jawab atas akademik perkuliahan memberikan sanksi yang tegas dan jera bagi pelaku kecurangan. Bagaimana bisa seorang pelaku kecurangan ujian dapat hidup dengan tenang di atas penderitaan kita yang melaksanakan ujian dengan jujur? Jika dibiarkan, mereka akan merasa superior karena berhasil memanipulasi peraturan yang ada dan akan terus melakukan kecurangan dalam jangka waktu panjang.
Semua Tak Acuh, Karma Kehidupan Bertindak
Satu demi satu peraturan ujian dibacakan oleh pengawas sebelum ujian dimulai, suatu hal yang sudah biasa Penulis—mungkin Saudara juga sudah tidak asing—dengar setiap ujian berlangsung. Nyatanya, semua peraturan tersebut hanya sebagai formalitas tinta di atas kertas. Tangan-tangan nakal yang siap beraksi dengan lihai dan bermodalkan tekad seadanya dan doa agar tidak mendapat kesialan pada detik itu.
Perlu menjadi sorotan penting bagi semua pihak atas praktik gelap di kalangan mahasiswa ini. Pertanyaan yang selalu Penulis ingin ungkapkan selama ini adalah apakah pihak departemen sudah mengetahui hal ini, tetapi bersikap seperti tidak terjadi apa-apa atau memang hal ini masih belum terdeteksi oleh departemen? Sangat disayangkan apabila apa yang terjadi di lingkungan DTSL tidak selaras dengan visi departemen yang menyatakan akan menghasilkan lulusan yang andal dan bermoral, profesional, berkompeten, dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat, tetapi dalam praktiknya justru menyeleweng. Penulis berharap departemen dapat mengambil langkah yang tepat untuk menghakimi mereka yang tak bermoral.
Tak lepas dari kebijakan departemen, faktor terpenting yang perlu dievaluasi adalah bagaimana kesadaran mahasiswa atas tindakan yang mereka lakukan. Seorang mahasiswa sudah sewajarnya terus belajar, belajar, dan belajar—bukan belajar untuk mencontek. Tekad dan niat untuk menegakkan integritas haruslah menjadi prinsip yang kita pegang, jangan kalah dengan bisikan ketakutan terhadap kegagalan jika berintegritas. Jika Saudara berhasil atas jerih payah sendiri, akan terasa menjadi pemenang sesungguhnya, daripada Saudara berlumuran dosa demi menjadi sang pecundang.
Tulisan oleh Andhika Rendry Ramadhan
Data oleh Saqila Insyira
Ilustrasi oleh Angga Ilham Akbar Wiyoto