
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa pembangunan infrastruktur Indonesia masih paling lambat di antara negara ASEAN 5 (Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, dan Filipina). Lantas, mengapa infrastruktur menjadi sektor yang mendapatkan pemangkasan anggaran terbesar?
Latar Belakang
Sebagai rakyat yang tak jarang dibohongi, kita harus berpikir rasional tentang maksud kebijakan ini. Jika mengacu pada pernyataan Presiden, efisiensi anggaran melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2025 ini dimaksudkan untuk mengurangi anggaran yang mubazir sehingga dapat digunakan sepenuh-penuhnya untuk kesejahteraan masyarakat. Selaras dengan fitrahnya, KBBI mengartikan efisiensi sebagai ketepatgunaan dalam menjalankan suatu usaha. Namun, maksud tersebut belum terlihat dalam aksi nyata pemerintah.
Setiap aksinya malah memperlihatkan kontradiksi dari maksud efisiensi ini. Mulai dari kabinet gemuk yang diperkirakan menambah beban anggaran sebesar dua triliun rupiah dibandingkan periode sebelumnya (sumber: CNN), Perpres Nomor 140 tahun 2024 yang mempersilakan masing-masing kementerian untuk mengangkat lima stafsus dengan fasilitas yang bisa setara dengan jabatan struktural eselon 1b (sumber: Tempo), hingga berbagai program prioritas yang memakan banyak anggaran, tetapi tidak dikaji ulang.
Terlebih lagi, apabila melihat rincian efisiensi anggaran kementerian dan lembaga, tiga kementerian yang menangani sektor krusial malah mendapatkan pemangkasan anggaran yang besar, yaitu Kementerian PU (Rp81,38 triliun), Kementerian Diktisaintek (Rp22,54 triliun), dan Kementerian Kesehatan (Rp19,63 triliun). Maka dari itu, apa yang sebenarnya dimaksud dengan kesejahteraan masyarakat? Dalam menebak hal tersebut, mari coba untuk menelaah lebih lanjut dalam sektor infrastruktur.
Justifikasi: Pemangkasan Anggaran Infrastruktur Tidak Dapat Dibenarkan
Menurut seorang pengamat politik, Raymond Surya Chin, menyatakan bahwa kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan merupakan kunci dari majunya suatu negara. Dia menjelaskan bahwa rakyat butuh kualitas hidup yang baik untuk mendukung pendidikannya, lalu mengenyam pendidikan untuk meningkatkan kompetensinya, lalu mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga mereka dapat meningkatkan kualitas hidupnya dan begitu seterusnya. Sebagai tulang punggung, infrastruktur mendukung masyarakat dalam mengakses ketiga sektor tersebut.
Mungkin, sebagian besar masyarakat tidak merasakan hal tersebut karena hidup di perkotaan—berbeda dengan mereka yang hidup di daerah. Menilik kehidupan masyarakat daerah, mereka masih mengalami kendala dalam mengakses rumah sakit dan sekolah, bukan hanya bangunannya yang terbatas, melainkan juga jalannya yang mungkin penuh halang rintang. Dalam menyambung hidup, sebagian besar dari mereka tidak mengandalkan sektor formal, tetapi usahanya sendiri, tetangga, ataupun sanak saudara (red: local based community). Walaupun tampak nirmala, negara sebenarnya sedang merugi.
Masyarakat dalam narasi tersebut jarang memiliki orientasi untuk meningkatkan kualitas hidupnya atau bahkan berkontribusi pada negara. Umumnya, mereka hanya memikirkan hal-hal pragmatis seperti pemenuhan kebutuhan dasar di hari esok karena memang penuh ketidakpastian. Percayalah, kehidupan seperti itu bukanlah narasi belaka. Menyadur pernyataan Ayu (Dosen HI Universitas Brawijaya) dalam artikelnya yang dipublikasi melalui laman The Conversation, risetnya bersama tim pada 2016–2017 menunjukkan banyak penduduk Kabupaten Timor Tengah Selatan di Nusa Tenggara Timur harus menempuh jarak sepanjang enam sampai sepuluh kilometer untuk membeli air bersih seharga Rp2000 per jerigen berisi 20 liter dan naik menjadi Rp2500 per 20 liter pada 2021.
Di status quo, Indonesia yang sedang mendapatkan bonus demografi pun malah menghadapi banyak tantangan. Masyarakat usia produktif—yang jumlahnya lebih banyak—belum mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengakses layanan kesehatan dan pendidikan ataupun lapangan pekerjaan di sektor formal. Maka dari itu, alih-alih membangun negeri, masyarakat usia produktif pun masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya ataupun keluarganya.
Melihat hal-hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa infrastruktur merupakan sektor yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat—dengan urgensi bonus demografi—tetapi pembangunan infrastruktur di Indonesia dinilai masih lambat, bahkan setelah pemerintah sebelumnya jor-joran di sektor infrastruktur. Jika demikian, efisiensi anggaran infrastruktur adalah hal yang tepat untuk dilakukan. Namun, apakah pemangkasan anggaran yang dilakukan pemerintah sekarang adalah efisiensi?
Implikasi: Nasib Sang Proyek Abadi setelah Efisiensi.
Dalam sambutan beliau di Kongres ke-XVIII Muslimat NU, Prabowo menyebutkan bahwa perbaikan jalan yang rusak merupakan salah satu prioritas dalam efisiensi ini. Nyatanya, anggaran perawatan jalan dipangkas hingga tak bersisa. Mulai dari sejumlah ruas jalan rusak di Kabupaten Bandung Barat yang batal diperbaiki karena pemangkasan dana alokasi khusus (DAK), perbaikan jalan nasional di Lampung pun menjadi lambat karena adanya pemangkasan ini, hingga masih banyak lagi di daerah lainnya.
Dalam lingkup yang lebih besar, pemangkasan anggaran ini membuat resah sejumlah BUMN Karya. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPR pada 5 Maret silam, sejumlah BUMN tersebut disimpulkan memiliki masalah dengan utang besar dan munculnya ketidakpercayaan mendapat bayaran ketika bekerja sama dengan para BUMN Karya (sumber: Tempo).
Dengan jumlah proyek yang diminimalkan karena pemangkasan dan persaingan yang ketat dengan perusahaan swasta ataupun luar negeri, kesehatan BUMN Karya sangat mengkhawatirkan sehingga Komisi IV DPR pun sepakat untuk membahas pembentukan panitia kerja (Panja) terhadap BUMN Karya. Apabila tidak berusaha diselamatkan, bukannya tidak mungkin bagi BUMN Karya untuk melakukan layoff.
Konklusi
Maka dari itu, apakah pemangkasan anggaran melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2025 masih dapat dikatakan sebagai efisiensi? Apakah efisiensi seharusnya dilakukan dengan mengorbankan apa yang dibutuhkan dan urgen bagi masyarakat? Apakah dampak dari efisiensi ini tidak diperkirakan akan merugikan sejumlah pihak yang malah membutuhkan? Yang lebih buruk, apakah maksud dari efisiensi ini bukan untuk kesejahteraan masyarakat sedari awal? Menurut saya (seorang rakyat biasa), jawabannya adalah (masih) tidak. Menyanggah kebijakan pemerintah adalah hal yang mudah, mereka melontar janji utopis saat kebijakan masih berupa gagasan dan melantur saat distopia menjadi kenyataan.
Data oleh Farrel Todotua
Tulisan oleh Raihan Putra Aditya
Layout oleh Shafa As Syifa Listyoputri