Forum Kita
2022. Indonesia sudah memasuki tahun ke-4 pandemi Co-vid-19. Yang bermula sebagai kasus terisolasi pada bidang kesehatan kerap menjadi permasalahan yang menorehkan coraknya di buku sejarah dunia. Pembatasan aktivitas, ketidakpastian, dan pengalihan anggaran menghambat kegiatan logistik, infrastruktur, pariwisata, ujungnya—aktivitas ekonomi Indonesia.
Pada tahun keempat ini, dunia sudah mulai pulih dan Indonesia juga terus merevitalisasi diri. Pariwisata, industri, dan pembangunan dijadikan trinitas perbaikan kondisi finansial bangsa. Bisa dilihat sejak tahun 2016, penetapan Sepuluh Bali Baru menaruh pelosok penjuru Indonesia di panggung dunia. Puncak ancala hingga dasar bahari, sumber daya Indonesia merupakan anugerah tak terhingga dalam mewujudkan independensi yang sesungguhnya.
Domestik. itulah fokus utama Pemerintah dalam merapikan negara. Pembenahan birokrasi, pendorongan kebijakan dalam negeri, dan penghilirisasi untuk sepenuhnya memanfaatkan hasil bumi kita juga kiat digencarkan Pemerintah. Emas—kuning, cokelat, hitam—diberhentikan ekspornya secara bertahap agar difokuskan untuk industri manufaktur. Layaknya sungai baja, seluruh komoditas mengalir dari hulu ke hilir dalam rantai industri yang terus berevolusi.
Pembangunan infrastruktur menjadi kunci dalam memaksimalkan efisiensi kedua sektor tersebut. Dilatarbelakangi kawasan industri dan pengembangan yang Indonesiasentris, pembangunan simpul konektivitas diharapkan akan merealisasikan Indonesia sebagai pemimpin ekonomi Asia Tenggara.
Langkah tersebut bisa dilihat dari pembangunan pelabuhan utama di luar Jawa, seperti Makassar New Port, serta pengemba- ngan Pelabuhan Bitung dan Sorong. Penyetaraan pembangunan dapat dilihat dari penstandardan “Barat dan Timur” dari segi infrastruktur ataupun operasi.
Namun, aktifnya kegiatan industri dapat membawa dampak buruk terhadap alam baik secara langsung maupun tidak langsung. Padahal, Indonesia sudah berkomitmen untuk terus menjaga lingkungan dan mencapai net zero emission pada tahun 2060.
Dari awal berjejak, banyak permasalahan sudah muncul. Sektor lahan dan hutan yang berkaitan erat dengan pembukaan ruang—pembalakan dan pembakaran liar—menyumbang 49,5% dari emisi karbon Indonesia. Belum lagi adanya perkebunan dan pertambangan demi mendorong industri agro dan mineral.
Kegiatan industri sendiri juga mewakili sektor industrial processes and product uses (IPPU) berkat operasi dan produksi limbah. Kali ini, industri semen menjadi sorotan utama karena banyaknya emisi yang dihasilkan.
Pemerintah tak berhenti berusaha untuk mengerem laju karbonisasi Indonesia. Dari elektrifikasi kendaraan, pemberlakuan pajak karbon, hingga penanaman sabuk hijau. Di balik semua pembangunan, ada upaya dalam menjaga harmoni alam kita.
Namun, apakah benar upaya itu sudah cukup? Seiring waktu, apakah pertunjukan keseimbangan ini bisa diteruskan, tak hanya oleh kita, tetapi oleh anak, cucu, dan penerus kita?
Apakah laju revitalisasi ekonomi perlu diperlambat untuk menjaga kondisi lingkungan? Ataukah Ibu Pertiwi bisa kita korbankan untuk kebutuhan temporal?
Sumber daya alam memanglah sumber daya. Pasti terdapat kompromi di balik seluruh pembangunan negeri. Namun, sampai mana?
Dalam Majalah Vol.66 Clapeyron, kami akan membahas dikotomi alam dan pembangunan, tidak hanya dari kaca mata idealis pers mahasiswa, tetapi juga dari pertimbangan realistis para pemangku kebijakan.
Akhir kata, selamat membaca laporan tahunan kami. Di dalam arus jutaan sudut pandang, teruslah bersuara dan berteriak demi perbaikan Bangsa.
PENJAGA MARKAS