Tingginya biaya logistik membuat sebagian investor enggan menanamkan modalnya di Indonesia. Tidak kehabisan akal, Pemerintah pun bergegas untuk membenahi masalah ini. Setelah coba-coba dari kebijakan Point-to-Point hingga Tol Laut, Jokowi pun mengeluarkan kartu terakhirnya, Jaringan Pelabuhan Utama Terpadu. Efektifkah konsep jaringan pelabuhan ini untuk menurunkan peringkat Indonesia sebagai salah satu negara dengan biaya logistik paling tinggi di dunia?
Indonesia dengan 200 juta lebih masyarakatnya tentu sangat membutuhkan pemenuhan ber-bagai barang yang optimal. Agar bisa melancarkan setiap kebutuhan yang ada dalam kehidupan masyarakat, perlu dilakukan pe-ningkatan kualitas dan kuantitas produksi itu sendiri. Salah satunya yang menjadi fokus Pemerintah adalah pengembangan kawasan industri dan perhubungan guna optimalnya proses aktivitas barang.
Berdasarkan RPJPN 2005–2025, visi percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia adalah “Mewujudkan Masyarakat Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur”. Maka salah satu langkah strategis yang dilakukan Pemerintah adalah dengan program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pertumbuhan Ekonomi (MP3EI).
Masterplan ini memiliki dua kata kunci, yaitu percepatan dan perluasan. Strategi pelaksanaan MP3EI dilakukan dengan mengintegrasikan tiga elemen utama: mengembangkan potensi ekonomi wilayah di enam koridor ekonomi (KE) Indonesia—KE Sumatra, KE Jawa, KE Kalimantan, KE Sulawesi, KE Bali-Nusa Tenggara, dan KE Papua-Kepulauan Maluku—Memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal dan terhubung secara global (locally integrated, globally connected), serta memperkuat kemampuan SDM dan IPTEK.
Logistik Indonesia di Mata Dunia
Pelbagai langkah strategis sudah diambil Pemerintah untuk memaksimalkan potensi logistik di Indonesia, mengingat potensi Indonesia yang dianugerahi kekayaan alam melimpah dan komoditas strategis. Selain itu, Indonesia memiliki posisi komersial sebagai penyuplai kekayaan SDA bagi industri-industri, sekaligus sebagai pasar besar dalam supply chain global dengan jumlah penduduk yang banyak.
Namun demikian, Indonesia masih dihadapkan berbagai persoalan di bidang logistik, seperti biaya distribusi dan transportasi nasional yang tinggi; disparitas harga pada daerah tertinggal, terluar, dan perbatasan (3TP); fluktuasi harga dan kelangkaan stok kebutuhan bahan pokok masyarakat; serta biaya tinggi karena praktik KKN pengadaan dan distribusi di sektor publik.
Biaya logistik di Indonesia pada tahun 2020 tercatat sebagai biaya yang paling mahal di Asia dengan nilai mencapai 24% ter-hadap produk domestik bruto (PDB). Trading Across Borders yang me- ngukur jumlah hari dan jam untuk ekspor-impor menjadi indikator penilaian ease of doing business (EoDB) yang pada 2019, Indonesia hanya mencapai nilai 67,3, lalu menjadi 69,3 pada tahun 2020 (yang berarti tidak ada kenaikan signifikan).
Sementara dari data Logistic Performance Index, Indonesia menduduki peringkat ke-46 pada tahun 2020, masih tertinggal jauh dari negara-negara ASEAN lainnya. Kondisi ini menandakan bahwa posisi Indonesia melorot dan tertinggal, bahkan oleh negara tetangga kita.
Indeks tersebut memang bukan satu-satunya parameter dan bahkan, beberapa kalangan meragukan validitas pengukuran dan objektivitasnya. Akan tetapi, karena lembaga yang mengeluarkannya merupakan lembaga resmi dunia yang diakui sebagian besar bangsa, implikasinya tidak dapat dianggap remeh dan dapat dijadikan masukan bagi pengambil kebijakan.
Pemerintah memang telah menjalankan program Tol Laut sejak tahun 2015 dengan tujuan utama memperlancar distribusi barang untuk mempercepat pembangunan wilayah perdesaan di kawasan 3TP. Kebijakan program Tol Laut ini diharapkan bisa membuka peluang dan kesempatan yang sama bagi seluruh masyarakat dalam merespons program pembangunan nasional.
Dalam dinamikanya, Pemerintah mengusung konsep hub (pelabuhan utama) and spoke (pelabuhan pengumpan) sebagai salah satu upaya penunjang program Tol Laut, mengingat wilayah Indonesia terdiri dari gugusan pulau yang tersebar luas dan terpisah lautan.
Pemerintah berusaha untuk membuat jaringan pelabuhan terpadu dan terintegrasi di tujuh pelabuhan utama di Indonesia dengan harapan akan membantu mengurangi biaya logistik dan membuat pelayanan menjadi lebih efisien.
Berbenah guna Mengejar Ketertinggalan
Menurut Koordinator Transportasi Bidang Laut Direktorat Transportasi Bappenas Raden Bonnyswara, tantangan yang dihadapi logistik Indonesia saat ini adalah tingginya biaya, disebabkan oleh ukuran dan muatan kapal yang tidak seimbang karena tidak terkonsolidasi. Maka dari itu, diterapkan konsep Jaringan Pelabuhan Utama Terpadu yang ditempuh melalui 3 strategi, yaitu standardisasi pelabuhan utama, penggunaan kapal dengan ukuran yang lebih besar, dan pengembangan kawasan hinterland.
Kegiatan rantai pasok sering kali mengalami bottleneck pada simpul alih moda, khususnya pelabuhan. Maka dari itu, diperlukan suatu standar yang dapat menjamin efektivitas operasi pelayanan pelabuhan untuk memperlancar rantai logistik. Pada infrastruktur pelabuhan, standar yang perlu diperhatikan adalah panjang dermaga dan kedalaman perairan yang mampu menampung kapal berukuran 2.500 TEUs. Pada operasi pelabuhan, standar yang diperhatikan adalah waktu sandar efektif, produktivitas bongkar muat, serta penerapan teknologi informasi yang dapat memaksimalkan kegiatan operasi pelabuhan dan mempercepat proses distribusi barang secara keseluruhan.
Superhub merupakan pendekatan pengembangan ekonomi yang terpadu antara wilayah ekonomi dan konektivitas. Konsep dari Jaringan Pelabuhan Utama Terpadu mendorong konsolidasi sehingga terbentuk pelabuhan-pelabuhan gateway untuk ekspor-impor. Sebagai contoh, saat ini terdapat empat pelabuhan (Tanjung Priok, Tanjung Perak, Tanjung Emas, dan Belawan) yang berperan sebagai gateway ke luar Indonesia.
Pelabuhan utama merupakan simpul yang berperan sebagai pintu masuk kegiatan ekonomi suatu wilayah. Oleh karena itu, suatu pelabuhan akan berkembang mengikuti perkembangan sosial ekonomi hinterland pelabuhan tersebut. Pembangunan Pelabuhan Patimban dan Pelabuhan Ambon Baru merupakan contoh dari pengembangan pelabuhan sebagai turunan dari perkembangan kegiatan ekonomi suatu wilayah.
Satu di antara usaha lain Pemerintah dalam standardisasi pelabuhan adalah melakukan merger Pelindo. Mergernya Pelindo diharapkan dapat mewujudkan sinergi BUMN di bidang pelabuhan dengan standardisasi operasi sehingga meningkatkan efisiensi logistik nasional. Awalnya, BUMN bidang kepelabuhan tersebut dibagi menjadi 4, berdasarkan wilayah kerja, manajemen, dan operasi. Hal tersebut menjadikan integrasi pelabuhan antarwilayah sulit dicapai.
Per Oktober 2021, merger Pelindo secara resmi telah terlaksana. Pelindo I, Pelindo III, dan Pelindo IV melebur ke dalam Pelindo II yang menjadi surviving entity. Dengan dilakukannya merger, sistem informasi komunikasi kegiatan logistik, pelayaran, dan kepelabuhanan berada pada satu sistem. Selain itu, integrasi akan meningkatkan efisiensi operasi dan belanja modal/capex, menyatukan sumber daya keuangan, meningkatkan leverage, dan memperkuat permodalan. Rencana ke depan setelah merger tersebut adalah mendorong Pelindo untuk lebih fokus pada bisnis sesuai dengan klaster atau subholding pascaintegrasi.
Digitalisasi sebagai Katalisator Logistik Indonesia
Salah satu bentuk penstandaran dan pengefisiensian operasi pelabuhan, digitalisasi ekosistem pelabuhan juga sedang giat digalakkan. Digitalisasi untuk layanan di pelabuhan diyakini bisa meningkatkan kinerja logistik nasional, memperbaiki iklim investasi, juga untuk mempermudah tracking data dan sistem pengadministrasian kegiatan logistik.
Pemerintah telah melakukan sejumlah upaya digitalisasi seperti Inaportnet atau sistem layanan tunggal berbasis internet di 4 pelabuhan utama, yaitu Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Makassar. Inaportnet bertujuan untuk mengintegrasikan aplikasi pada bidang kepelabuhanan yang melayani kapal dan barang dari seluruh instansi terkait ataupun pemangku kepentingan di pelabuhan.
Lalu ada juga National Logistic Ecosystem (NLE), ekosistem logistik yang menyelaraskan arus lalu lintas barang dan dokumen internasional, sejak kedatangan sarana pengangkut hingga barang tiba di gudang. NLE berorientasi pada kerja sama antara instansi pemerintah dan swasta, menghubungkan sistem-sistem logistik yang telah ada.
Indonesia National Single Window (INSW) adalah penanganan dokumen kepabeanan, perizinan, dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan kegiatan ekspor, impor, dan logistik secara elektronik. Selain platform digitalisasi di atas, terdapat sejumlah sistem informasi lain, seperti Informasi Muatan dan Ruang Kapal (IMRK), Logistic Communication System (LCS), dan Indonesia National Single Window (INSW).
Sementara itu, riuh senyap keluhan muncul dari sisi pelaku usaha logistik. Perizinan yang berbelit-belit, integrasi antarmoda, hingga tata kelola logistik jadi sorotan. Dampak dari merger Pelindo yang dirasa masih minim turut jadi persoalan. Saatnya birokrasi kepelabuhanan berbenah!
Berbicara mengenai konektivitas dan logistik, infrastruktur kepelabuhanan terkadang dipandang sebelah mata. Hal ini karena pelabuhan di Indonesia belum terkelola secara ekonomis dan efisien. Padahal, menurut Leny Maryouri selaku Ketua Forum Transportasi Laut Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), investasi pembangunan jari-ngan pelabuhan jauh lebih murah bila dibandingkan dengan pembangunan jalan atau rel.
“Jadi, makanya kalau kita perhatikan perkembangan kota-kota zaman dahulu kala/luar negeri, pembangunan kota itu selalu dimulai dari coastal area(area pesisir). Logistik di coastal area itu menjadi bagian dari driven economies (ekonomi yang didorong), harusnya pelabuhan itu (menjadi) driving economies”
Leny berkeyakinan bila Pemerintah fokus pada logistik dan pengembangan area pesisir, negara ini dapat lebih cepat maju dan efisien dari sisi penggunaan anggaran guna menciptakan kota-kota baru. Secara teoretis, dengan hadirnya pelabuhan maka akan ada industri yang turut tumbuh di sekitarnya. Supply economic dan aspek lain-lain yang sifatnya bermanfaat secara ekonomi bagi daerah tersebut pun cepat lambat akan hadir.
Hinterland, Konektivitas, dan Kebangkitan Kawasan
Pelabuhan bukan hanya tempat bongkar muat barang ataupun naik turunnya penumpang, tetapi juga sebagai titik temu antara moda angkutan dan pintu gerbang ekonomi pengembangan hinterland-nya.
Hinterland pelabuhan adalah daerah-daerah yang terletak di sekitar (belakang) pelabuhan, termasuk kota pelabuhan itu sendiri serta daerah luar yang saling memiliki hubungan ekonomi dengan pelabuhan. Daerah hinterland memiliki luas yang relatif, tidak mengenal batas administratif suatu daerah, tetapi tergantung dari luas wilayah ekonomi itu sendiri.
Pengembangan hinterland sangat erat kaitannya dengan potensi ekonomi yang dapat dikembangkan pada wilayah tersebut sehingga pengembangan hinterland perlu memperhatikan komoditas unggulan wilayah, ketersediaan sarana dan prasarana, serta sistem pengelolaan kawasan terpadu pelabuhan.
Contoh hubungan pelabuhan dan hinterland-nya adalah Pelabuhan Bitung untuk memaksimalkan ekspor dan impor barang di Sulawesi Utara. Keberadaan Pelabuhan Bitung juga akan mendukung kegiatan industri Indonesia Timur yang meliputi Ambon dan Ternate (pertanian, industri, dan pertambangan) serta Samarinda, Balikpapan, Tarakan, dan Nunukan (batu bara, minyak bumi, dan kayu lapis).
Pelabuhan Bitung adalah pelabuhan yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan target sebagai pelabuhan hub internasional. Pemerintah menargetkan pada tahun 2023, KEK Bitung akan beroperasi dengan volume output 1,458 juta ton dalam wujud produk perikanan, pengolahan kelapa, produk farmasi, dan produk-produk daerah lainnya.
“Sampai saat ini, sesuai pengamatan saya, lebih banyaknya integrasi inter/multimodanya itu yang menjadi kesulitan utama. Ketersediaan trucking system—saya tidak tahu kenapa, sepertinya Pemerintah tidak ada yang berpikir ke sana untuk mempunyai BUMN/BUMD yang mengkhususkan diri menyediakan trucking/logistik,” tutur Leny terkait permasalahan yang sering dihadapi sebuah hinterland.
Menurutnya, terkadang ada area tertentu yang sudah melaksanakan panen, tetapi trucking system dan swastanya masih belum siap sehingga terjadilah oversupply pada daerah tersebut.
Leny berpendapat seharusnya pada kebutuhan-kebutuhan tersebut, Pemerintahlah yang harus bolak-balik, atau dengan kata lain menyediakan truk—sebuah hal yang telah lama dilakukan pada kegiatan logistik di luar negeri. Pemerintah harus melakukan hal tersebut hingga pada titik tertentu ketika terbentuk sebuah demand sehingga barulah swasta akan ikut terlibat mengisi ruang kekoso- ngan dari kemampuan Pemerintah.
Antara Swasta dan Pemerintah
Dominannya peran negara (melalui BUMN) dalam pengaturan, pembangunan, dan pengelolaan layanan pelabuhan menjadi salah satu faktor yang menghambat upaya peningkatan efisiensi pelabuhan. Dominannya peran negara memunculkan monopoli pemerintah yang membuat pengelolaan pelabuhan menjadi tidak efisien karena tidak ada persaingan.
Monopoli juga menutup partisipasi sektor swasta untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan pengelolaan pelabuhan. Tertutupnya partisipasi sektor swasta membawa dampak negatif yang signifikan terhadap penurunan kualitas dan kuantitas pelabuhan untuk mendukung peningkatan daya saing perekonomian. Ini terjadi karena kemampuan keuangan negara untuk membangun dan memperbaiki infrastruktur cenderung menurun seiring tekanan fiskal akibat tingginya biaya utang, subsidi, dan transfer dana ke daerah yang cenderung meningkat setiap saat.
Hal senada juga diungkapkan oleh Leny, selain dominansi pemerintah, perizinan yang berbelit-belit juga menyusahkan swasta untuk dapat berkontribusi di dunia logistik Indonesia. “Sumber kompleksitas itu malah dari Kemenhub, itu pengamatan saya. Sisi swasta sangat antusias untuk bisa memberikan pelayan dan mereka juga siap berinvestasi untuk membangun pelabuhan umum,” ungkap Leny.
Berdasarkan data yang dipaparkan oleh beliau, badan usaha pengelolaan pelabuhan di Indonesia sudah berada di angka lebih dari 200–300 perusahaan. Walaupun begitu, tidak lebih dari 10 perusahaan tersebut yang sudah punya pelabuhan atau hak konsorsium dari pelabuhan. Hal tersebut disebabkan oleh terlalu kompleksnya perizinan pengelolaan pelabuhan umum di Indonesia. “Kalau kita melihat negara kita, kepulauan dengan 17 ribu pulau, sebenarnya 2 ribu pelabuhan masih relatif kecil,” tambahnya.
Menanggapi mengenai mergernya Pelindo, Ketua Forum Transportasi Laut MTI tersebut berpendapat belum banyak merasakan dampaknya—para pelaku usaha sebatas merasakan dampak aspek rasa dari merger Pelindo. Hal ini karena dengan ada merger Pelindo, Pemerintah di-rasa serius untuk membenahi persoalan logistik di Indonesia. “Impact-nya ada, tetapi belum optimal, jadi masih perlu perbaikan,” pungkasnya.
Pada akhirnya, sebuah kebijakan memang tidak bisa dilaksanakan semata-mata oleh satu pihak. Niat baik Pemerintah untuk memperbaiki muruah logistik di Indonesia memang merupakan sebuah kewajiban. Niat baik itu bukan lagi hanya sekadar menerapkan policy dan berharap jadilah Indonesia Raya pada aspek logistik, tetapi juga soal sinergi antarlembaga yang ikut campur tangan, serta kerja sama masyarakat untuk terlibat pada keagungan dalam penantian itu.
YOGA FAERIAL BASKARA