Musim semi tahun ini berbeda. Menyisakan lebih banyak peluh, memberikan lebih banyak air mata. Walau sang dingin sudah lama berpamit, namun bukan kulit yang masih merinding, akan tetapi hati dan perasaan sendiri. Bahkan, sinar mentari di awal kuartal kedua tahun ini entah mengapa tak menghangatkan. Suasana menjadi lebih suram walau bunga-bunga tak bisa absen untuk bermekaran.
Tidak ada semarak festival musim semi yang biasanya berlangsung dengan penuh sukacita. Tidak nampak para orang tua yang mengajak anaknya berpiknik di bawah pohon sakura yang merekah. Tahun ini hanya lebih diam, serasa tak bernyawa.
Namun, bukanlah hidup terus berjalan. Mengapa harus terus menderita saat mentari saja masih mau terbit sehabis terbenam. Pun bunga sakura masih bermekaran walau musim dingin telah menyerang ranting ringkih itu. Kenapa harus terus menyalahkan keadaan alih-alih fokus mencari peluang baru.
Sudah setahun. Benar, selama itu. Sudah pergi cukup lama, sudah rindu begitu mendalam. Tapi entah mengapa setahun belakangan ini rasanya berat, tak seperti tahun-tahun yang lalu. Mungkin efek terlalu rindu untuk kembali bersama. Atau mungkin perasaan ingin segera pulang dan berbagi kabar dengan yang jauh di sana.
Satu tahun terkurung dalam bilik sederhana, dengan pangan secukupnya. Satu tahun hanya mengecek jam di dinding melihat kapan hari akan berganti. Satu tahun penuh harapan untuk bisa melihat senja dengan penuh sukacita. Tertawa bersama sanak keluarga, menanti datang sang purnama bersama-sama.
Pria yang dipanggil ayah itu benar. Ketika dekat rasa segan begitu berkuasa, tapi saat berjauhan justru rasa rindu bisa memuncak. Menyelami ingatan saja bisa membuat perasaan tak karuan. Membiarkan memori terputar saja lagaknya menggetarkan hati, membuat sesuatu di ujung mata lantas mendesak, ingin ke luar.
“Sudah dilepas, Ayah?” tanyanya dengan bibir bergetar. Digigitnya agar tak bersuara. Tersadar, pertanyaan ini seharusnya tak terucap sekarang.
“Belum.” Jawab pria paruh baya itu singkat. Tak ada intonasi apalagi penekanan yang sering dilakukan.
“Tapi Ayah bisa menelpon?”
“Bukan Aku yang belum.” Satu dengusan terdengar samar, menutupi suara bibir bergetar di ujung sana. Dia mengetahui pasti apa yang dimaksud, tetapi tetap tak bisa berbuat apapun.
Tapi itu delapan bulan yang lalu. Telepon terakhir dengan sang ayah yang tidak akan terulang lagi. Masih ingat suara terakhir itu, penuh sesak dengan napas terbata-bata. Tepat beberapa hari sebelum kabar duka datang, membuat yang jauh tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan sekedar mengantar ke pusara terakhir pun tak mampu.
Menjadi korban keganasan pandemi, sang ayah adalah sosok yang kuat. Beliau mampu bertahan sekitar sebulan di dalam ICU dengan ventilator lengkap sebagai alat bantu pernapasannya. Pilu, tapi tak kuat untuk sekadar meratap. Sesekali membuka mata untuk mencari keberadaan sang istri yang keadaannya tak lebih baik darinya. Terbaring lunglai di sebelah ranjangnya, tak sadarkan diri sudah berhari-hari lamanya.
Keduanya pernah berjanji untuk hidup bersama. Tapi takdir itu lucu, bahkan menghadap Sang Khalik pun mereka tetap bersama. Berjuang berdua, hingga napas tak lagi di dalam raga.
Pria itu terduduk sendirian di bangku tepi jalan, sendu sambil sesekali membuang napas kasar. Di sisi kirinya sebotol air minum diletakkan dengan tutup masih terbuka, lagak habis diminum isinya. Dikeluarkan telepon genggam dari saku jaketnya, kemudian diputarnya musik setelah memasang earphone di telinga.
Alunan musik lembut menginvasi pendengaran membiarkannya mengelus seluruh saraf dan menciptakan nuansa rileks pada dirinya. Lagu itu adalah kesukaannya akhir-akhir ini. Lagu yang selalu mengingatkannya pada rumah, pada nyamannya pelukan bunda yang satu-satunya dia inginkan saat ini.
“Apa kau tahu mengapa aku menginginkan kau bekerja di sana?” sang bunda mengelus surau legam itu. Sambil sesekali meniupkan sesuatu. Barangkali doa penyerta kepada sang buah hati.
“Tidak, Bunda. Kau tak pernah memberitahukannya,”
“Benar. Kau anak yang penurut, bahkan ketika aku memintanya kau tak pernah bertanya alasan.” Dia menarik napas dalam sunyi, lalu melanjutkan ucapannya, “Aku berharap kau bisa berguna bagi banyak orang. Walau jauh dengan kami, tapi kau pergi dengan hormat dan kelak kembali dengan rasa bangga.”
Kelembutan ucapan itu selalu menjadi penyemangat hari beratnya, walau menjalani hidup jauh dari dekapan. Ia selalu menekankan di hatinya bahwa kepergian ini adalah langkah untuk kembali dengan kebanggan.
Sore tadi rinai hujan mengguyur hampir seluruh kota, menyisakan genangan yang sedikit mengganggu pejalan kaki. Hanya beberapa kendaraan terlihat melintas sehingga pria yang sedang duduk itu sesekali mengangkat kaki menghindari cipratan air mengenai pelindung tubuhnya. Jaket tebal membungkus kulit hitam legam itu dengan topi melekat apik di kepala. Tak lupa masker selalu menutupi area wajah, menutupi kerutan samar di area bawah matanya.
Masih ingat pada hari itu. Kala suara sirine memadati jalan, membawa orang-orang tak berdosa yang butuh pertolongan. Masih dalam benak bagaimana ia dengan bersetelan putih lengkap, menjadi harapan dan penolong bagi banyak orang. Masih jua terasa bagaimana peliknya melihat satu persatu orang tumbang meninggalkan anak-anak yang tak henti menangis menatap kepergiannya. Ya, seperti itulah rasa dirinya juga, tapi bedanya dia tak bisa menemani sang terkasih di saat-saat terakhir hidup mereka.
Sudah tiga tahun di negeri orang, sudah tiga tahun jauh dari rumah. Meninggalkan keluarga yang berharap dengan penuh penantian. Namun saat asa datang untuk kembali pulang, takdir seolah menahannya kembali. Terjebak di situasi pelik, kembali menaruhkan nyawa atas nama kemanusiaan.
Pulang. Satu kata yang terlintas di pikirannya saat ini. Terbang bagai kabut malam yang terkena hembusan angin, mengaburkan jarak pandang. Rindu, begitulah anak manusia yang selalu merasa penyesalan datang di ujung, begitu tak terbendung.
Masih di bangku taman, sendirian. Masih menyelami ingatan di bawah sinar sang rembulan. Tengah malam memang waktu yang rawan untuk merasa kesepian. Saat jarum jam, menit, dan detik bersatu di angka dua belas, semua pikiran dan semua masalah memusat di satu bagian yang kadang membuat sakit kepala luar biasa. Suasana tenang justru membuat masalah kecil terasa nyata dan sangat sensitif.
Tapi malam itu juga seakan keajaiban hadir padanya. Membuatnya menarik napas lega, setelah sekian lama bergelut dengan berbagai peristiwa. Malam itu entah mengapa memberikan nuansa berbeda, lebih tenang dan hangat, walaupun suara petasan menguar di penjuru bumi. Menerangi langit malam membuat tidak ada yang rela melewatkannya hanya dengan menutup mata sejenak. Hari sebentar lagi berganti. Senyuman tipis terkembang dan harapan mulai terlantunkan. Baik, hari ini di penerbangan pertama, tempat tujuan adalah pusara sang ayah bunda.
Baiq Melly Ciptayuni Asmarani