Dari Sampah Berakhir Pasrah (atau Berkah?)

Sampah menjadi salah satu polemik yang sulit diselesaikan Indonesia. Produksi sampah yang terus terjadi tanpa dibarengi dengan pengelolaan dari hulu ke hilir yang baik menimbulkan berbagai dampak bagi masyarakat dan lingkungan.

Setiap manusia pasti menghasilkan limbah, salah satunya adalah sampah. Namun, tidak semua sampah yang dihasilkan dapat ditangani dengan baik. Rata-rata sampah yang ada di Indonesia dibiarkan tanpa proses pengolahan dan hanya berakhir menumpuk di tempat pemrosesan akhir (TPA).

Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan dengan luas sekitar 12,5 hektare adalah salah satu tempat yang digunakan untuk menampung sampah di Daerah Istimewa Yogyakarta. TPST ini digunakan oleh tiga kabupaten/kota, yaitu Bantul, Sleman, dan Kota Yogyakarta. Dalam perencanaannya TPST Piyungan hanya memiliki masa layan hingga tahun 2012. Namun, pada kenyataannya, TPST Piyungan masih terus beroperasi sampai saat ini. Pemakaian yang tidak sesuai dengan rencana ini menyebabkan TPST Piyungan mengalami overload.

Menurut Peraturan Daerah DIY Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, dijelaskan bahwa sampah yang masuk ke TPST wajib melalui proses pemilahan terlebih dahulu. Realitasnya, TPST Piyungan menerima semua jenis sampah, kecuali bahan berbahaya dan beracun (B3). Menurut penuturan Jito selaku Kepala Balai Pengelolaan Sampah, hal ini terjadi karena sampah tersebut dikhawatirkan akan dibuang ke tempat lain, seperti sungai.

Pengolahan sampah bukanlah hal yang mudah dan memerlukan biaya yang tidak sedikit. TPST Piyungan sendiri hanya memiliki sekitar 31 karyawan untuk mengolah sampah dan limbah cair di lahan seluas 12,5 hektar. Menurut Jito, pengelolaan sampah yang ideal sesuai kajian pada tahun 2013 untuk metode sanitary landfill memerlukan sekitar Rp250.000 per tonnya. Sedangkan, anggaran bersih pengelolaan sampah per ton di TPST Piyungan hanya sebesar Rp51.000. Hampir setengah dananya didapat dari retribusi masyarakat, sementara sisanya berasal dari subsidi pemerintah daerah. Anggaran ini berbeda jauh dengan anggaran yang dimiliki TPST Bantargebang Jakarta, yaitu sebesar 500 hingga 600 ribu rupiah per tonnya.

Masyarakat ternyata sudah cukup paham dan sadar akan masalah lingkungan yang terjadi. Berdasarkan penjelasan dari Purwoko, sebagai warga Kota Yogyakarta, program bank sampah sudah digalakkan di lingkungan rumahnya. Program tersebut dikelola oleh PKK dan kelompok pemuda. Sampah yang terkumpul tersebut kemudian dijual dan didaur ulang menjadi kompos atau barang. Hasil pengolahan sampah, seperti kompos, digunakan untuk menanam tanaman yang hasilnya bisa dinikmati masyarakat. Selain bisa mengurangi penumpukan sampah, barang hasil daur ulang juga memiliki nilai ekonomis.

Gambar tampak atas kondisi sampah di area TPST Piyungan

Menurut Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2013, pemerintah daerah perlu memberikan kompensasi kepada masyarakat yang mendapat dampak negatif dari kegiatan di TPST. Kompensasi dapat berupa relokasi, pemulihan lingkungan, biaya kesehatan dan pengobatan, serta kompensasi lain yang setara. Dampak negatif yang sangat terasa adalah bau yang menyengat, apalagi saat musim hujan. Kontak langsung dengan sampah dalam kehidupan sehari-harinya menimbulkan dampak terhadap kesehatan masyarakat. Untuk hal ini, berdasarkan penjelasan Sukardi dan Sulu selaku masyarakat yang tinggal di sekitar TPST Piyungan, setiap tiga bulan sekali diadakan pemeriksaan kesehatan gratis dari pemerintah.

Tumpukan sampah juga menimbulkan limbah berupa cairan yang biasa disebut air lindi. Walaupun sudah terdapat saluran air lindi, tidak menutup kemungkinan terjadinya kebocoran. Pengolahan air lindi sendiri menggunakan sistem kimia biologi. Namun, pengolahan ini kurang efektif karena listrik hanya tersedia selama 8 jam. Hal ini menyebabkan kandungan biological oxygen demand (BOD) dan chemical oxygen demand (COD) melebihi ambang batas aman. BOD dan COD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan bakteri untuk menguraikan polutan. Semakin tinggi nilai BOD dan COD maka kandungan oksigen dalam air menurun, menyebabkan kematian biota air seperti ikan. Oleh karena itu, mayoritas masyarakat sekitar TPA Piyungan sudah tidak menggunakan air sumur untuk kebutuhan sehari-hari, melainkan menggunakan air Perusahaan Air Minum (PAM) karena kandungan BOD dan COD yang tinggi serta air yang berwarna kuning.

Gambar salah satu pekerja di TPST Piyungan

Masyarakat juga mengeluhkan akses jalan yang terganggu. Ada kalanya, saat musim hujan, dermaga pembuangan sampah tidak bisa digunakan karena tergenang air. Hal ini menyebabkan para supir truk membuang sampahnya di pinggir jalan sehingga membuat jalan menjadi kotor dan licin.

Kan masalah mau jalan aja susah, terus sampah di tengah-tengah jalan, mau lewat gimana?” tutur Inem, salah satu masyarakat di sekitar TPST Piyungan. Puncaknya saat akhir tahun 2020, masyarakat menutup sementara TPST Piyungan. Untuk merespons hal tersebut, pemerintah berencana memisahkan jalan masyarakat dengan jalan operasional TPST yang proyeknya sudah mulai terlihat dan diketahui masyarakat.

Gambar para pekerja sedang mengambil sampah di aera TPST Piyungan

Pemerintah perlu segera mencari solusi untuk TPST Piyungan sehingga tidak menimbulkan dampak yang lebih buruk untuk masyarakat. Penanggulangan jangka pendek yang sudah dilakukan adalah membuat tanggul untuk mencegah terjadinya bencana longsoran sampah. Pemerintah juga sedang berusaha mencari lahan baru untuk TPST, tetapi terkendala karena wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sudah sangat padat. Kajian final untuk lahan baru TPST akan dilakukan pada tahun ini. Selanjutnya, pengelolaan sampah di TPST akan melibatkan badan usaha karena hal tersebut akan berdampak baik dari segi kemudahan operasional dan pendanaan.

Berdasarkan data dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) DIY, rata-rata sampah yang masuk ke TPST Piyungan pada Maret 2021 sebesar 713.935 kg per hari. Selayaknya koin dengan dua sisi berlawanan, sampah sering dianggap sebagai masalah yang tak pernah terselesaikan dari dulu hingga sekarang. Namun, sampah juga menjadi harapan untuk sebagian saudara kita yang menggantungkan hidupnya pada keuntungan yang didapatkan dari hasil penjualan atau pengolahan sampah. Berdasarkan penjelasan dari Sukardi, terdapat lebih dari 500 orang yang memilah sampah dan hampir 1.000 ekor binatang ternak mencari makan di sana setiap harinya. Selain itu, beliau juga menjelaskan bahwa taraf hidup dan pendidikan warga setempat yang dahulu hanya sebatas Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) meningkat dan sudah banyak yang bisa mengenyam bangku kuliah. Mereka bertahan bukan karena terpaksa.

Jito selaku Kepala Balai Pengelolaan Sampah

“Satu hasilnya (hasil pemilahan sampah, red), duanya banyak rezekinya dari sampah,” kata Waduli, salah satu pekerja di TPST Piyungan.

TPST Piyungan memiliki permasalahan abadi yang harus diselesaikan, tidak hanya oleh pemerintah dan masyarakat sekitarnya, tetapi juga oleh kita sebagai para penyumbang sampah. Masalah ini muncul mulai dari proses produksi hingga proses pengolahan. Oleh karena itu, kepedulian terhadap lingkungan harus terus digalakkan secara lantang dan masif sehingga proses pengolahan sampah dari hulu ke hilirnya saling mendukung. Sudah bukan waktunya saling menyalahkan, kita harus bergerak bersama-sama dalam menyelesaikan masalah sampah ini untuk generasi dan waktu mendatang.

NADA GITALIA