Jika ditanya kapan aku berpenampilan paling menarik, pagi ini adalah jawabannya. Blouse terbaik yang dibeli ibuku di pasar malam dan celana high waist yang sedang tren sudah siap kupakai untuk menemani tamuku jalan-jalan. Perjalanan ini sangat kunantikan karena aku tidak sabar memperlihatkan seluruh pusat kota yang canggih ini padanya yang datang dari desa.
Tamuku hari ini sangat spesial karena dia adalah seorang penari, sekaligus sahabat masa kecilku. Rita namanya. Sepuluh tahun yang lalu, dia sekolah dan tinggal di kompleks yang sama denganku di pinggir kota sebelum akhirnya memutuskan pindah ke desa mengikuti orang tuanya. Tiga hari lalu, Rita dan teman-temannya datang ke kota untuk menarikan tarian tradisional di acara pelantikan camat kemarin—seperti yang kuduga, dia sangat bersemangat ketika aku mengajaknya keliling pusat kota hari ini.
“Rita!” sapaku sambil melambaikan tangan saat melihatnya masuk di ujung gang. Penampilannya sangat sederhana dengan kaus oblong, jaket denim, training hitam, dan rambut yang dikucir seadanya. Dari dahulu Rita memang selalu seperti itu, sederhana dan apa adanya. Lihatlah, pagi ini wajahnya terlihat bersemangat untuk ukuran seseorang yang sudah menarikan tiga tarian tradisional kemarin malam.
“Apa kabar, Lisa? Wah! Bajumu bagus sekali ya!” sambut Rita.
“Kabarku baik. Terima kasih banyak!” aku tersenyum lebar, mengangguk. Tentu saja! Aku ini sudah bertahun-tahun jadi anak kota!
“Daerah di sini sudah banyak berubah ya? Jadi nostalgia,” celetuk Rita yang disambut oleh anggukanku, “jadi, kita mau berkeliling ke mana?”
“Yang pasti bukan di sini. Di sini tepinya ibu kota, tidak ada apa-apanya. Kamu juga sudah kenal daerah ini. Jadi, aku akan mengajakmu ke pusat kota!” balasku yang disambut oleh senyum lebar Rita. Aku sudah merencanakan perjalanan hari ini sejak kemarin malam. Karena Rita menyukai buku, perpustakaan pusat adalah destinasi utama hari ini.
Perjalanan ini akhirnya dimulai dengan tiket kereta yang harganya tidak sampai sepuluh ribuan. Tiket itu berhasil mengantar kami ke pusat kota yang jaraknya puluhan kilometer dalam waktu singkat. Pemandangan kereta pagi dipenuhi seragam orang-orang pinggir kota yang berusaha tepat waktu untuk sampai ke kantor mereka di pusat kota. Mereka memenuhi kereta sampai tidak ada lagi bangku yang tersisa.
Aku mendengus kesal. Harusnya tamuku bisa merasakan rasanya duduk di bangku kereta listrik hari ini. “Kamu tidak apa-apa kalau berdiri?” tanyaku yang dibalas oleh anggukan Rita. Masih dengan wajah antusiasnya.
“Tidak apa-apa. Aku senang sekali bisa naik kereta! Soalnya dari desa ke pusat kota cuma bisa pakai mobil atau pick up, terus lama banget perjalanannya. Dahulu belum ada kereta begini, jadi aku takjub,” balasnya.
Aku mengangguk meski tidak mengerti kenapa Rita sangat senang hanya karena kereta biasa ini. Rita kemudian melanjutkan cerita tentang desanya dan tak jarang juga bertanya tentang seluk-beluk pusat kota hingga kami tiba di sana.
Setengah jam perjalanan dengan kereta ini akhirnya nyaris melunturkan semangat Rita. Suhu pagi yang menurutku biasa saja ternyata cukup panas sampai membuat Rita merengek dan memintaku untuk berteduh sesaat setelah menurunkan kaki di stasiun.
“Ayo berteduh dulu, Lisa! Ayo cari pohon dan berteduh sebentar. Oh, dulu kita pernah jalan-jalan di sini, kan? Seingatku ada pohon besar di sekitar bundaran di depan sana,” kata Rita menarik lengan bajuku keluar dari stasiun.
Aku mengikuti Rita dengan ekspresi bingung. Ini benar-benar di tengah jalan! Di mana kami bisa menemukan pohon yang cukup besar untuk duduk berteduh? Dan pohon sepuluh tahun lalu? Aku yakin pohon itu sudah ditebang untuk dibangun bangunan.
Benar saja. Sampai di sana, yang aku dan Rita lihat hanya sebuah kafe kecil yang juga diapit oleh toko-toko kecil lainnya. Rita terdiam,“Ah, kota sudah banyak berubah, ya?”
“Memang. Untuk pendingin, orang sekarang sudah pakai AC di masing-masing gedung, Rita. Jadi jarang ada yang memelihara pohon di luar,” jawabku. Aku sekilas melihat senyum Rita menghilang. Tentu saja, meski jarang berkunjung, pohon dan suasana kota ini memiliki banyak kenangan karena menjadi destinasi kunjungan wisata anak-anak SD, termasuk aku dan Rita saat itu.
Aku menghela napas dan mengajak Rita ke perpustakaan pusat, salah satu destinasi kunjungan wisata SD yang dahulu selalu jadi favorit Rita. Ide itu tanpa ragu disambut wajah ceria olehnya. Bagi seorang kutu buku seperti Rita, rasa panas dan kelelahan karena berjalan kaki akan menguap dengan mudah ketika mencium bau perpustakaan dan bertemu buku kesukaannya.
“Waah! Bukunya banyak sekali. Hei, bahkan ada komputer di sini!” kata Rita sambil menengadahkan kepalanya ke langit-langit, mengagumi betapa besar dan megahnya perpustakaan pusat.
Lagi-lagi wajah antusiasnya terpancar. Aku hanya bisa mengangguk sambil mencoba memahami Rita. Fasilitasnya memang sangat bagus, tetapi bukankah itu hal wajar? Apa yang spesial?
“Perpustakaan pusat memang bagus seperti perpustakaan pada umumnya. Punya AC, komputer, dan ruangan-ruangan nyaman untuk belajar,” jelasku.
“Benarkah? Jadi yang tinggal di sini sangat beruntung, dong! Bisa baca buku sepuasnya dengan aman dan nyaman. Tidak seperti perpustakaan kampung yang buku-bukunya tidak lengkap dan sudah bosan kubaca berulang kali. Juga jarang sekali ada buku-buku ilmiah untuk belajar,” timpal Rita sambil memilih novel di rak bagian nonfiksi. Aku tertegun sebentar sebelum ikut mencari buku yang ingin kubaca. Waktu berlalu dengan cepat ketika aku dan Rita tenggelam dalam bacaan masing-masing.
Cahaya matahari mengajakku untuk menatap dinding kaca perpustakaan. Dari sana terlihat pemandangan pusat kota dengan jelas, lengkap dengan gedung-gedung raksasa.
Aku terdiam. Apakah aku memang beruntung?
Pukul satu siang, aku dan Rita kemudian memutuskan untuk mencari makanan murah di sekitar pusat kota. Di kanan kiri kami sebenarnya banyak pilihan kafe dan restoran. Namun, Rita tetap memaksaku untuk mencari warteg karena dia menjamin bahwa di sana akan lebih enak dan murah.
Berjalanlah kami menyusuri gang-gang kecil di sebelah kawasan bangunan yang padat. Aku dan Rita terus menutup telinga agar menghindari suara berisik klakson kendaraan sambil berusaha mencari jalan pintas ditemani panasnya matahari siang. Kami tak lupa juga menutup mulut dan hidung agar tidak batuk karena menghirup asap. Sangat sulit untuk berjalan di trotoar karena tak jarang ada pengendara motor yang lewat. Rasa lelah terus menemani kami sebelum akhirnya sampai di warteg sederhana yang tak jauh dari posisi kami tadi.
Setelah memesan makanan dan duduk, aku dan Rita menghela napas panjang bersamaan. “Bagaimana? Jalan-jalan di pusat kota sangat melelahkan, ya?” sahutku.
Rita mengangguk, “Aku tidak pernah merasa lelah seperti ini ketika keliling desa sepanjang hari.”
“Benar, suara bising, udara yang membuat sesak, sampai udara yang panasnya bukan main! Kiri kanan hanya bisa melihat jalan bertingkat dan gedung-gedung saja,” aku tertawa.
“Hahaha! Benar. Tetapi hari ini juga sangat menyenangkan karena aku bisa melihat gedung-gedung cantik di pusat kota, terutama perpustakaannya yang sangat lengkap, tidak seperti perpustakaan kampung yang buku-bukunya sudah bosan kubaca berulang kali. Oh! Kota juga sangat keren karena jalannya besar-besar dan punya kereta yang bisa mengantarmu ke mana saja dengan harga murah. Kamu harus tahu betapa sulit dan lelahnya hanya untuk pergi ke kampung sebelah,” timpal Rita.
Aku dan Rita terus mengobrol hingga makanan yang dipesan sudah diantar. Dua porsi ayam goreng, nasi, dan es teh yang menggugah selera sudah ada di depan mata.
“Kamu betah tidak hidup di desa?” tanyaku. Rita mengangguk.
“Betah banget! Soalnya di sana banyak orang-orang baik sampai-sampai aku nyaris kenal seluruh warga desa. Kamu tahu? Setiap hari ada saja yang datang ke rumah, entah itu sekadar berkunjung sampai yang bawa oleh-oleh.”
“Itu saja, kah?”
“Hahaha! Kalau kamu mau aku jelasin semua, nanti kita bisa makan sampai sore, loh! Tetapi yang jelas, di sana sangat asri dan sejuk. Oh! Satu lagi! Setiap ada hari besar di desa, pasti selalu ada festival adatnya. Misalnya takbiran saat hari raya atau cuma sekadar menari saat acara ulang tahun desa. Semuanya seru,” tambah Rita dengan tersenyum lebar.
Namun, raut muka tiba-tiba berubah bingung, “Lisa, aku penasaran. Kenapa Pak Camat di kotamu mengundang kami untuk menari? Apakah di sini tidak ada sanggar tari atau semacamnya?”
Aku tertegun dan menggeleng, “Tidak ada sanggar di sana. Tetapi aku tahu kok, nama tariannya dari pelajaran Seni Budaya. Yah, walaupun aku tidak bisa menarikannya.”
Rita tertawa kecil, “Hahaha! Iya, tubuhmu kaku! Aku tidak bisa membayangkan kalau kamu menari.”
“Jangan meledek! Ayo cepat habiskan saja makannya,” aku ikut tertawa.
Saat-saat makan itu terasa sangat cepat diiringi oleh cerita dan tawa. Setelah selesai makan, awalnya kami berencana untuk pergi ke tempat menarik lain di pusat kota. Namun, rasa lelah memaksa kami untuk menyudahi perjalanan hari ini dan segera pulang ke rumah.
Kami berjalan kaki kembali menuju ke stasiun dan memesan tiket pulang. Seperti saat datang, kereta pada jam pulang kerja sore ini juga dipenuhi oleh seragam orang-orang yang baru saja pulang dari kantor. Beruntung aku dan Rita masih mendapatkan tempat duduk.
Meski merasa sempit dan lelah, perjalanan kereta masih menyenangkan untuk diikuti. Rita memutar badannya untuk melihat banyak gedung-gedung tinggi berlari cepat melawan arah kereta. Pemandangan ini makin indah lagi ditemani oleh semburat jingga matahari senja.
“Jadi, bagaimana pusat kota menurutmu?” tanyaku sambil mengikuti Rita memutar badan, melihat pemandangan kota.
Rita menjawab sambil tetap mengagumi pemandangan dari jendela kereta, “Sangat bagus dan keren.”
“Kamu mau tidak pindah ke kota lagi?” aku tertawa kecil. Dengan percaya diri aku yakin Rita akan mengangguk mengiyakan. Kota kan tempat yang ideal untuk pelajar seperti kami. Banyak teknologi canggih, fasilitas belajar yang lengkap, transportasi yang bisa mengantarmu ke mana saja, dan tentunya kualitas belajar yang lebih bagus. Namun, jawabannya adalah sebaliknya—Rita menggeleng.
“Kenapa?”
“Kota memang bagus dan lebih maju dari desaku. Tapi entah kenapa aku merasa sangat nyaman di desa dan merasa tidak akan kuat untuk hidup di sini. Hahahah,” Rita tertawa kecil.
“Cuaca yang panas, jalanan yang macet, kereta yang ramai, perumahan yang padat, dan pemandangan yang hanya penuh dengan gedung membuatku merasa tidak nyaman berada di sini. Sepertinya, aku lebih senang untuk bangun pagi di desa sambil bersepeda ke sekolah melewati tepi sawah,” tambah Rita, sambil kembali tertawa.
Aku mengangguk, “Benar juga.”
Aku memperbaiki posisi dudukku dan kemudian tertegun lama, diiringi suara mesin dan roda kereta. Sebelumnya, aku tidak pernah melihat pusat kota seburuk apa yang diucapkan oleh Rika. Selama ini kupikir pusat kota adalah tempat paling bagus tanpa ada kekurangan apa pun. Pusat kota ini memang tempat ideal untuk pelajar dan pekerja, tetapi bukan tempat ideal untuk hidup.
Rasa bangga semata yang kumiliki seketika luntur. Aku tidak membenci pusat kota. Aku juga mencintai kota ini sama seperti Rita mencintai desanya. Namun, melihat kota ini memburuk perlahan menyadarkanku bahwa aku sangat kecil dan belum bisa melakukan apa-apa.
Perjalanan selama setengah jam itu kemudian habis selagi aku melamun. Aku dan Rita kemudian keluar dan berjalan pulang ke tempat masing-masing. Di bawah matahari senja, aku dan Rita berpisah ke jalan kami masing-masing. Saat membalikkan badan, aku kembali melihat pemandangan pusat kota dari kejauhan yang sangat besar dan indah di bawah sinar matahari.
Apa yang bisa kulakukan, ya?
Pertanyaan itu tiba-tiba muncul di benakku. Sambil memandangi matahari terbenam di pusat kota, aku tenggelam dalam pikiranku tentang banyak percakapan dengan Rita selama perjalanan tadi. Tentang pusat kota yang kehilangan pohonnya, tentang jalan yang macet dan berisik, tentang rumah-rumah kumuh dan padat, sampai tentang diriku yang bahkan tidak sadar hampir melupakan adat budaya sendiri. Semuanya. Menjadi anak kota tidak lagi membanggakan karena aku belum melakukan apa-apa untuk kotaku sendiri.
Aku ingin mengubah kembali kotaku mulai dari langkah-langkah kecil dan menjadikannya lebih baik. Kuharap kampung Rita tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti kotaku saat berkembang nanti—dan saat Rita berkunjung lain hari, kuharap aku bisa menunjukkan sisi kota yang lebih baik dari sebelumnya.
Ayo bergerak, Lisa! Banyak yang harus dilakukan!
NUR ZAKIA AHMAT