Proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) atau yang biasa disebut dengan Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (PTPIN) berada di ujung tanduk. Pasalnya beberapa hari ini tekanan untuk menghentikan proyek reklamasi pantai pesisir Jakarta Utara terus digaungkan.
Operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Kamis (31/3) terhadap Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohammad Sanusi terkait suap untuk memuluskan pembahasan rancangan peraturan daerah tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Provinsi DKI Jakarta pada periode 2015-2035 dan Raperda tentang rencana kawasan tata ruang kawasan strategis pantai Jakarta Utara, membuat perhatian publik tertuju pada proyek reklamasi ini.
Masalah tumpang tindih peraturan yang mendasari keabsahan dari reklamasi ini pun menjadi perdebatan, siapa yang berhak dan tidak berhak untuk memberikan izin untuk melakukan reklamasi. Lalu apa sebenarnya NCICD tersebut?
NCICD adalah sebuah master plan yang dibuat dengan bimbingan langsung dari Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan merupakan hasil kerja sama jangka panjang antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda di bidang pengelolaan air.
Master plan ini direncanakan menjadi solusi perlindungan jangka panjang atas wilayah Jakarta dan sekitarnya terhadap banjir yang berasal dari laut. Banjir yang berasal dari laut kini telah menjadi ancaman mencekam. Semua pihak pastinya tidak ingin kejadian pada November 2007, ketika Jakarta Utara dilanda banjir besar pertama yang berasal dari laut terulang kembali.
Penurunan muka tanah di Jakarta Utara merupakan penyebab dasar banjir ini. Laju penurunan muka tanah rata-rata adalah 7,5 centimeter per tahun, tetapi di beberapa wilayah pesisir laju penurunan muka tanah ini terukur mencapai 17 centimeter per tahun.
Dari data yang dikutip dari website resmi NCICD tersebut, diharapkan proyek penyelamatan daerah pesisir ibukota ini dapat mengatasi permasalahan yang ada di kawasan pesisir ibukota. Selain itu, NCICD ini juga menghadirkan ruang baru untuk Ibukota, dengan memekarkan wilayah ke arah laut secara terencana. Nantinya masterplan ini diharapkan juga mampu menyelesaikan masalah-masalah keterhubungan antara Jakarta, Jawa Barat dan Banten.
Banjir! Banjir! Banjir!
Saat ini ada tiga tipe banjir yang melanda Jakarta. Yang pertama hujan lebat di kota yang dikombinasikan dengan kapasitas penyimpanan air yang tidak mencukupi. Akibatnya, curah hujan yang berlebihan di kota ini akan mengalir ke arah wilayah pesisir yang berdataran rendah, daerah inilah yang paling rentan terhadap banjir tipe ini.
Tipe banjir kedua muncul dari sungai-sungai dan kanal-kanal sebagai akibat tingginya laju aliran di hulu. Pada banyak tempat kapasitas sistem air saat ini tidak mencukupi. Tanggul sungai tidak cukup tinggi atau cukup kuat ditambah tersumbatnya sungai-sungai, anak sungai dan pompa oleh sedimen dan sampah mengakibatkan sungai-sungai tersebut meluap.
Tipe banjir ketiga datang dari laut ketika tanggul laut, dan tanggul sungai di daerah pesisir, tidak cukup tinggi atau cukup kuat. Ketika laut berada di muka air tertinggi, tanggul – tanggul ini terlimpasi, dan air laut membanjiri kota. Master plan ini bermaksud untuk mencegah tipe ketiga banjir. Saat ini banjir tipe ketiga ini sangat mungkin terjadi karena pertahanan banjir Jakarta sudah tidak mencukupi lagi.
Dokumen Master Plan – Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (PTPIN) yang dapat diunduh di www.ncicd.com menyebutkan bahwa NCICD akan melewati 3 fase pembangunan yaitu fase A, fase B, dan fase C. Ketiga fase tersebut dilaksanakan secara bertahap dan berlangsung paling tidak sampai tahun 2045.
Fase A ini merupakan upaya peningkatan perlindungan pantai yang sudah ada saat ini dan merupakan prioritas tinggi untuk dilakukan. Berbagai upaya tersebut mencakup memperlambat penurunan muka tanah (dengan menyediakan alternatif selain penyedotan air tanah), memperkuat dan mempertinggi tanggul laut, peningkatan sistem drainase perkotaan, dan mencegah air sungai di hulu memasuki daerah rendah Jakarta. Percepatan sanitasi air juga termasuk ke dalam Fase A.
Fase B merupakan fase pembuatan waduk lepas pantai, hal ini dilakukan karena penurunan muka tanah tidak akan melambat dalam beberapa tahun mendatang. Muka air laut akan naik, kanal-kanal dan sungai-sungai berangsur-angsur akan berhenti mengalirkan airnya secara gravitasi ke laut. Pompa-pompa drainase besar dibutuhkan, khususnya di bagian tengah Jakarta Utara dimana laju penurunan muka tanahnya tinggi. Stasiun-stasiun pemompaan membutuhkan danau-danau untuk penyimpanan sementara debit sungai yang mencapai puncaknya.
Fase C dapat dikatakan sebagai proyek yang “tergantung”. Pada penjelasannya di dokumen master plan fase C merupakan fase dimana tanggul laut luar di bagian timur Teluk Jakarta dibangun. Disebutkan bahwa Penurunan muka tanah di sisi timur masih relatif lambat dan sungai-sungai utama masih tetap dapat mengalir bebas. Pada saat ini belum mungkin untuk menentukan apakah tanggul laut luar akan diperlukan, atau masih dapat ditunda. Di samping itu, persyaratan perancangan yang berkaitan dengan ukuran dan kombinasinya dengan fungsi pada jangka panjang tergantung pada perkembangan di wilayah tersebut.
Namun sayangnya pada dokumen Master Plan – Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (PTPIN), perihal perikanan dan masyarakat nelayan mendapat porsi pembahasan yang cukup kecil. Bahkan dari pembahasan tersebut dapat dikatakan tidak ada solusi yang jelas bagi para nelayan yang harus tergusur area kerjanya. Hal ini yang menyebabkan nelayan sangat merasa dirugikan dengan adanya proyek ini.
Mencari Solusi Tertepat
Pada kesempatan ini awak Clapeyron kembali berdiskusi dengan kalangan akademisi, kali ini dengan Prof. Ir. Djoko Legono, Ph.D., pada pada hari Jumat (15/1). Dosen mata kuliah irigasi dan bangunan air di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada ini memberikan berbagai komentar mengenai proyek NCICD ini.
Terlepas dari konflik yang kemungkinan disebabkan oleh kepentingan politik yang mungkin timbul karena menjelang pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2017, Profesor Djoko Legono menyebutkan ada tiga hal mendasar yang perlu diperhatikan dalam menjamin keberhasilan proyek NCICD ini. “Tiga kunci supaya NCICD ini berhasil yaitu perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan yang baik,” ujarnya.
Menurut pria yang menempuh pendidikan gelar doktor di The City University London, perencanaan dan pelaksanaan bisa dilakukan dengan megalokasikan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang besar, namun untuk melakukan operation and maintenance (OM) apakah pemerintah memiliki dana yang cukup untuk merawat dan mengoperasikan giant sea wall ini?
“Akan lebih banyak lagi APBN yang harus dikorbankan untuk melakukan OM, padahal pemerintah masih mempunyai banyak kewajiban terkait pembangunan yang harus dilaksanakan dengan biaya APBN di seluruh negeri,” ungkapnya dengan nada tegas pada awak Clapeyron saat itu sembari meminum secangkir teh saat itu diruangannya.
Pekerjaan “menanggul laut” di perairan teluk Jakarta ini, telah merangkul Pemerintah Belanda dalam perencanaannya. Belanda yang mayoritas wilayahnya berada di bawah permukaan air lait, telah berhasil membendung air laut dan membangun tanggul yang mampu menahan banjir air rob disana.
Namun, menurut Profesor Djoko Legono keberhasilan pekerjaan dalam membendung air laut di Belanda tidak menjamin pekerjaan serupa akan berhasil di Teluk Jakarta. Ia menyebutkan, “Setiap negara memiliki karakteristik yang berbeda, permasalahan geografi, lingkungan, hingga politik di negeri Belanda pasti berbeda dengan permasalahan di negeri kita”.
Terdapat dua cara yang disarankan oleh Profesor Djoko Legono ebagai alternatif dari pembangunan giant sea wall ini, yaitu penanganan secara makro dan mikro. Penanganan tersebut di antaranya adalah: revitalisasi bantaran sungai; normalisasi waduk atau daerah penampung air yang berukuran kecil; dan perbaikan kualitas air dari hulu. Hal – hal tersebut membutuhkan biaya yang lebih kecil daripada membangun giant sea wall dalam NCICD.
Memang setiap keputusan dan kebijakan pasti selalu memberikan dampak, entah positif maupun negatif. Negara ini membutuhkan keputusan berani dari penguasanya demi hidup yang lebih baik bagi seluruh rakyatnya. Karena setiap kebijakan yang dibuat akan sangat berarti bagi mereka yang bertaruh hidup di dalamnya. “Setiap hal pasti ada risikonya, jika tidak ingin menerima risiko lebih baik diam saja dan tidak melakukan apapun,” tutup beliau.
Penulis : Aldetto Gustirama
Ilustrator : Intan Tyalita