
Kampus Kerakyatan. Dulunya merupakan salah satu kampus yang terkenal dengan biayanya yang sangat terjangkau. Bukan tidak pernah Universitas Gadjah Mada (UGM) memasang biaya kuliah nol rupiah. Namun, sejak tahun 2000 dengan berbagai sebab, biaya kuliah terus mengalami kenaikan.
Kemarin Senin (18/04) bertempat di Selasar Barat Kantor Pusat Fakultas Teknik (KPFT) Barat, digelar sebuah diskusi tentang isu-isu Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang ada hingga saat ini. Mengundang Pimpinan DEMA Fisipol 2015, Umar A. Aziz, Mentri Advokasi BEM KMFT, Fathidliyaul Haq, serta Koordinator Forum Advokasi UGM, Wahdan Ahmad. Diskusi yang dipimpin oleh Ketua KMTK 2015-2016, Adhitya Nugraha dimulai pukul 16.15 hingga adzan maghrib berkumandang.
Diskusi yang bertemakan “Harga Bangku Kampusku” tersebut bertujuan untuk memberikan pencerdasan serta sebagai pemantik kepada para mahasiswa agar memiliki keingintahuan yang lebih terhadap apa yang mereka bayar melalui UKT mereka.
“Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) cenderung mengalami kenaikan tiap tahunnya. Tetapi, besaran nilai UKT tetap terus mengalami kenaikan.”
Mulai dari pertama kali dipakainya kebijakan UKT pada angkatan 2013, nilainya selalu mengalami kenaikan tiap tahunnya. Hingga saat ini sudah mulai banyak keluhan dari mahasiswa. Tak sedikit juga yang terpaksa melakukan cuti. Mentri Advokasi menyampaikan, terhitung dari Fakultas Teknik sendiri ada 4 mahasiswa yang melakukan cuti dengan alasan terlambat membayar UKT. Keterlambatan tersebut disebabkan kondisi ekonomi mereka yang kurang medukung saat itu, ditambah lagi dengan tidak adanya kelonggaran serta toleransi dari pihak Universitas.
Prosedur penundaan UKT memang sudah ada. Namun, saat itu informasi berisi syarat penundaan baru dipublikasi 2 hari sebelum batas penundaan dengan dalih agar tidak banyak mahasiswa yang menunda pembayaran. Syarat yang lumayan sulit untuk dikumpulkan serta waktu yang sempit mengakibatkan tidak terpenuhinya seluruh syarat sehingga mahasiswa terpaksa mengambil cuti semester ini.

“Sebenarnya konsep yang dimiliki kebijakan UKT sudah baik, namun implementasinya masih menimbulkan banyak permasalahan.” Tutur Ketua DEMA Fisipol yang menjadi salah satu pembicara dalam diskusi kemarin.
Banyak kebijakan UKT yang dirasa kurang adil. Diantaranya ada pada penetapan golongan yang hanya berdasarkan penghasilan kotor, dimana seharusnya masih banyak faktor-faktor luar yang mempengaruhi perekonomian sebuah keluarga. Besaran UKT yang tidak proporsional juga dapat kita lihat pada golongan 3 yang terpaut sangat jauh dari golongan 2, walau memang sudah kebijakan Universitas untuk mengatur besaran diatas golongan 2. Dan yang paling jelas adalah mahasiswa yang sudah hampir lulus bahkan hanya tinggal melakukan yudisium tetap harus membayar UKT penuh.
Untuk tahun 2016 ini, kemungkinan besar UKT akan kembali mengalami kenaikan. 20% mahasiswa baru yang dengan kata lain mahasiswa yang menempuh jalur UTUL kemungkinan akan dikenakan uang pangkal. Kabar tentang penghapusan UKT golongan 1 dan golongan 2 yang kemudian mungkin akan dialihkan ke bidikmisi juga belum terdapat transparansi.
Besok Kamis (21/04) bertempat di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri (PKKH) akan dilaksanakan “Hearing Rektorat” untuk mengupas tentang kebijakan UKT dari sudut pandang mahasiswa serta sudut pandang Rektorat. Mengenai keadilan uang kuliah memang merupakan tanggung jawab Pemerintah serta pihak Universitas. Namun, kita sebagai mahasiswa juga memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan dengan jujur. Semoga cita-cita negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tidak terhalang oleh kebijakan penetapan uang kuliah serta ego masyarakat.