Untuk menjadi negara yang siap bersaing di kancah internasional, pembangunan adalah salah satu kunci untuk meraih hal tersebut. Dalam setiap pembangunan yang ada, diperlukan perencanaan yang matang sehingga pembangunan tersebut dapat berfungsi secara optimal di masa yang akan datang.
Seusai berlangsungnya acara National Seminar Gadjah Mada Accounting Days di Hotel Inna Garuda Yogyakarta pada hari Sabtu (7/5) lalu, awak Clapeyron berkesempatan mewawancarai secara eksklusif Ketua Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia yakni Ir. Bernardus R. Djonoputro saat dalam perjalanan menuju Bandara Adisutjipto Yogyakarta.
Pembangunan di mata Bernardus adalah cara tepat mempersiapkan Indonesia dalam persaingan Internasional. “Indonesia tidak boleh tertinggal dengan negara tetangga seperti Myanmar, Filipina, Thailand, dan negara-negara lainnya yang juga sedang mempersiapkan pembangunan. Pembangunan mau tidak mau adalah biaya yang harus diambil jika mau bersaing dengan negara lain,” ucap alumni Teknik Planologi Institut Teknologi Bandung angkatan 1983 ini.
Siapkan Amunisi Mengejar Ketertinggalan
Pembangunan merupakan fondasi untuk mempersiapkan kemajuan negara, tetapi pembangunan yang direncanakan akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Mengantisipasi hal tersebut, pemerintah sejatinya sudah meningkatkan anggaran infrastruktur di tiap tahunnya.
Berdasarkan data dari Nota Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 pada tahun 2016 total anggaran infrastruktur mencapai 313,5 triliun rupiah, sedangkan pada tahun 2015 hanya 290,3 triliun rupiah. Peningkatan anggaran infrastruktur ini semakin merepresentasikan keinginan pemerintah dalam mempersiapkan dan membangun infrastruktur negeri yang lebih baik.
Namun, pembangunan tidak semata-mata harus dibiayai dengan uang negara. Menurut pria asli Bandung ini, pembiayaan suatu proyek dapat dalam bentuk kerjasama dengan pihak investor. Dalam menjalankan kerjasama, pihak pemerintah harus pandai memberikan proyek yang sekiranya berpotensi di mata investor.
“Misalkan nilai investasi untuk membuat jalan tol adalah 20 triliun rupiah. Ada proyek jalan tol Solo-Jogja dan Pekanbaru-Dumai yang harus dibangun serta ada satu investor yang akan terlibat pada salah satu proyek tersebut. Jika demikian kondisinya, pemerintah seharusnya membangun yang Pekanbaru-Dumai biarkan Solo-Jogja menjadi ranah investor karena ruas inilah yang lebih menarik di mata mereka,” ujar Bernardus.
Lalu timbul pertanyaan bukankah jika demikian pemerintah harus menunggu dengan waktu yang lama untuk meraih keuntungan finansial? Bukankah pembangunan seharusnya memperhatikan aspek kelayakan ekonomi? Anggapan seperti ini kemudian disanggah oleh Bernardus, pria yang juga lulusan Harvard University ini mengatakan bahwa tidak boleh ada pemikiran bahwa pemerintah harus mencari keuntungan dari suatu pembangunan.
“Pemerintah kaidahnya bukanlah profit center, jadi seharusnya tidak perlu memperhitungkan kelayakan ekonomi. Misalkan pembangunan yang ada di Papua, secara finansial tidak akan memberikan keuntungan dibanding pembangunan di Jawa. Tetapi jika mau Papua maju, pembangunan harus tetap dilaksanakan,” tegasnya terkait munculnya anggapan kelayakan ekonomi menjadi alasan diurungkannya pembangunan di suatu wilayah
Kebijakan untuk menjadikan pembangunan sebagai prioritas pastinya menimbulkan dampak tersendiri. Terlepas krisis ekonomi global yang memang menghantam dunia, kebijakan pemerintah untuk mengejar ketertinggalan di sektor infrastruktur ditengarai berpengaruh kepada tidak tercapainya target angka pertumbuhan ekonomi di 2015.
Pada 2015 angka pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya menyentuh angka 4,73%. Hal ini tidak sesuai dengan target pemerintah yang mencapai 5,7%. Perlambatan yang terjadi akibat berbagai pembangunan yang dilaksanakan juga diutarakan oleh Bernardus. Meskipun demikian, Ia mengatakan bahwa hal ini bukanlah masalah yang berarti karena pada dasarnya seperti inilah yang dinamakan kerja keras untuk mengejar ketertinggalan.
“Perlambatan dari laju pertumbuhan ekonomi ini bukanlah masalah yang berarti, karena di masa yang akan datang berbagai pembangunan yang dilaksanakan akan memberikan berbagai keuntungan. Memang, saat ini kita harus kerja keras terlebih dahulu,” ucap pria berkaca mata ini ditengah macetnya kota Jogja siang itu.
Kita Bangsa yang Besar
Kerja keras membangun infrastruktur negeri juga sejalan dengan persiapan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di tahun 2016 ini. Dengan terciptanya pasar bebas di lingkup ASEAN, pastinya Indonesia harus siap bersaing dengan negara tetangga.
Rasa optimis untuk bisa bersaing di kancah ASEAN dilontarkan oleh Bernardus. “Saya sangat optimis bangsa ini siap bersaing, perlu diingat kita ini negara besar di ASEAN. Dari hampir tujuh ratus juta penduduk ASEAN, dua ratus lima puluh juta adalah warga negara Indonesia. Bangsa sebesar ini tak perlu takut menghadapi MEA,” sergahnya.
Menurut Bernardus, keyakinannya bahwa Indonesia mampu jadi negara yang bisa bersaing akan dapat terlaksana jika Pemerintah mulai mempersiapkan berbagai hal. Selain pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan dukungan terhadap perusahaan yang berkiprah di Internasional perlu menjadi perhatian.
Ia berharap jangan sampai negeri ini hanya bisa jadi “jago kandang”, dengan persiapan yang matang di berbagai sektor Bernardus meyakini bahwa nantinya Indonesia mampu merajai ASEAN. “Pemerintah harus dukung perusahaan yang berkiprah di Internasional, sehingga nama kita juga tergaungkan di Internasional,” ucap pria yang juga ketua dari perusahaan multinasional Eastern Regional Organizational for Planing and Human Settlement (EAROPH) wilayah Indonesia.
Berbagai pendapat mengenai perencanaan pembangunan yang baik untuk Indonesia sudah disampaikan oleh Bernardus, di akhir wawancara Ia mengungkapkan harapannya semoga pemerintah berani untuk bekerja keras mengejar ketertinggalan di sektor infrastruktur serta siap menangani segala risiko pembangunan dengan kebijakan yang tepat.
Penulis : Dhirta Parera Arsa
Foto : Wildan Hidayat
Info grafik : Hanif Anshori