Bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional (2/5), Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali digetarkan oleh mahasiswa. Suara lantang mahasiswa menuntut beberapa kebijakan kampus yang dirasa tidak berkeadilan menghiasi kompleks Balairung. Acara yang disebut ‘Pesta Rakyat’ dilatarbelakangi oleh tiga masalah utama, yakni uang kuliah tunggal (UKT), tunjangan kinerja (Tunkin) tenaga kependidikan dan relokasi kantin sosio-humaniora (kantin Bonbin).
Aksi yang digelar Senin pagi dimulai dengan pengumpulan massa aksi di beberapa titik. Satu per satu rombongan dari penjuru UGM bergerak saling menjemput dan akhirnya berjumpa di lokasi aksi. Sekitar pukul 10.00 WIB, kompleks Balairung dibanjiri dengan mahasiswa. Sepanjang pagi, mahasiswa melontarkan panggilan kepada Rektor UGM, Dwikorita Karnawati, untuk bertemu dan menjawab tuntutan mahasiswa.
Tuntutan pertama adalah klarifikasi mengenai wacana kenaikkan UKT, revisi mengenai besarnya nominal UKT dan kesesuaian UKT dengan jumlah tanggungan keluarga. Selain itu, mahasiswa, didampingi oleh tenaga kependidikan, juga menuntut ketuntasan perkara pencairan dana Tukin yang sudah mangkrak selama 18 bulan. Poin terakhir dari tuntutan mahasiswa adalah penolakan relokasi kantin Bonbin dan pencabutan Surat Peringatan Dua (SP 2) yang ditujukan kepada pedagang oleh pihak Universitas.
Kerumanan di Balairung terus menyerukan lagu dan memanggil Rektor, hingga pada akhirnya Dwikorita keluar dan menhadapi mahasiswa. Terhitung dua kali Dwikorita keluar untuk menyambut tuntutan mahasiswa. Kesempatan pertama Rektor beserta beberapa direksi Rektorat turun untuk membenarkan bendera yang berkibar setengah tiang dan memberikan klarifikasi sekitar pukul 15.09. Saat memberikan klarifikasi, ketidakpuasan terhadap ucapan Rektor menimbulkan protes dari beberapa peserta aksi. Aksi balik badan dan lemparan botol oleh oknum memaksa Dwikorita untuk meninggalkan forum terbuka.
Waktu menunggu hadirnya kembali Rektor diisi hiburan oleh beberapa mahasiswa. Orasi-orasi penuh kritik, puisi dan lagu menjadi hidangan massa. Diantara euforia dalam nyanyian lagu, terdapat beberapa tindakan oknum yang dirasa tidak tepat dan kurang mengindahkan aksi damai. “Sayang sekali harus ada yang bertindak seperti itu mas,” ujar salah satu peserta aksi kepada tim liputan.
Setelah negosiasi antara pihak Rektorat, perwakilan Fakultas dan mahasiswa, Dwikorita kembali untuk memberikan klarifikasi. Pukul 17.45, Dwikorita menerangkan bahwa pihak Universitas tidak akan memungut biaya pangkal bagi mahasiswa Ujian Mandiri, tidak akan ada kenaikkan UKT pada tahun 2016 dan mempertimbangkan jumlah tanggungan keluarga. Hal ini sudah ditegaskan pihak rektorat kepada mahasiswa sejak tanggal 29 April 2016. Pihak universitas juga akan menimbang pemungutan UKT pada mahasiswa S1 di atas semester 8 dan mahasiswa D3 diatas semester 6. Lulusan teknik geologi UGM ini juga menjelaskan bahwa pihak Universitas akan memperjuangkan Tukin. Namun terkait kantin bonbin, SP 2 tidak dapat dicabut karena peraturan pemerintah namun perihal sistem relokasi akan dibahas antara dekanat fakultas-fakultas sosio-humaniora, mahasiswa dan universitas.
Satu hal yang tidak diklarifikasi oleh Dwikorita adalah mengenai pernyataannya yang diutarakan pada siaran radio Swaragama pada Minggu (1/5) malam. Pada siaran tersebut terucap dari sang Rektor bahwa aksi yang digelar hanyalah simulasi praktikum demokrasi. Pernyataan ini menuai kontroversi dikalangan mahasiswa. Sempat dikejar oleh beberapa oknum yang meminta kejelasan, hingga waktu Rektor meninggalkan Balairung belum terucap klarifikasi tentang pernyataan tersebut.
Tim Liputan :
Kemal Fardianto, Aryadhatu Dhaniswara & Irkhas Bayu Faveryan