Hari ini, ketika kita berbicara mengenai pemuda, maka di meja yang sama kita berbicara tentang masa depan bangsa. Yang menjadi masalah, dari dulu hingga hari ini, dan mungkin hingga masa depan yang diidam idamkan sedemikian rupa, kita masih saja sebatas berbicara. Kita berandai seolah kita sudah berada di ambang ruang dan waktu dimana rakyat sudah bisa makan kenyang dan tidur nyenyak oleh tangan para pemuda yang kita bicarakan hari ini. Tapi pada kenyataannya, pemuda saat ini bukanlah subjek yang bisa digeneralkan kualitasnya, pemuda nyatanya hanya tentang kelompok manusia berdasarkan rentang usia saja.
Lahirnya suatu generasi adalah sebuah keniscayaan, bangsa ini terdiri dari manusia manusia yang berkembang biak setiap harinya. Pertanyaannya adalah, generasi seperti apa yang kita lahirkan? Kita selalu mengaitkan pemuda dengan pendidikan, tetapi apa yang terjadi dalam pendidikan kita saat ini?
Standar pendidikan kita hari ini boleh meningkat, fasilitas, sekolah dan universitas banyak yang sudah berkelas. Hanya saja, pendidikan kita bukan lagi pendidikan yang secara keseluruhan berorientasi pada tujuan untuk memanusiakan manusia ataupun untuk kemaslahatan orang banyak, pemuda yang diolah menjadi kaum terpelajar sangat praktis hari ini dipersiapkan sebagai tenaga kerja, sehingga seolah-olah pendidikan kita adalah sebuah industri, ya, sekedar pencetak tenaga kerja saja.
Memang sejatinya setiap individu berhak atas pekerjaan dan berpenghasilan untuk meneruskan hidupnya, pekerjaan dan penghasilan adalah salah satu bagian dari penunjang hak hidup lainnya yang dilindungi oleh konstitusi dan negara berkewajiban menjamin itu. Hanya saja permasalahannya terletak pada mental pemuda hari ini yang beranggapan “saya ingin bersekolah agar besok saya jadi orang kaya”. Mental pragmatis pemuda yang seperti ini yang pada akhirnya menghasilkan professional professional yang nakal dan golongan golongan yang korup.
Salah satu faktor yang mungkin menciptakan degradasi dalam hal peranan pada kalangan pemuda adalah kondisi sistem yang sudah menjadi area nyaman bagi mereka. Padahal di belakang itu, tanpa disadari bangsa ini sedang sakit-sakitnya. Kebanyakan golongan pemuda saat ini sudah dimanjakan oleh bermacam hal yang meracuni mental dan idealisme yang sebetulnya sangat penting dalam pembangunan manusia. Sudah terlalu banyak hiburan hiburan yang menjadi konsumsi mereka sehari hari sehingga mereka lupa, mereka harus pergi ke sawah untuk melihat petani, mereka harus pergi ke laut untuk melihat nelayan, mereka harus pergi ke pasar untuk melihat buruh.
Ingat apa yang menyebabkan dulu pemuda adalah salah satu penggerak terbesar perubahan? Ya, sistem yang menyengsaraan. Pemuda zaman itu adalah penggerak, tanggap dengan realita yang ada disekitarnya, ditekan oleh kondisi yang ada, merasa disengsarakan bersama sama, dari situlah muncul ide ide, muncul pemikiran pemikiran, muncul persepsi musuh bersama (common enemy), dimana itu menjadi kekuatan para pemuda, bukan untuk menanamkan kebencian, justru disitulah pemuda harus memutar otak untuk memunculkan banyak solusi lewat pergerakan, lebih dari sekedar hujatan-hujatan.
Lalu pernahkah kita melihat pemuda di desa desa, dimana kebanyakan mereka masih merasakan kesengsaraan? Kita bisa melihat dimana pemuda masih tulus berniat untuk merubah nasib penduduk desanya, masalah jiwa sosial, semestinya banyak hal yang dapat dipelajari dari sana. Tetapi lihatlah pada kebanyakan pemuda tipe majikan seperti sekarang yang sudah candu modernitas belum lagi faktor psikologis dimana ego dan gengsi yang tinggi secara alami terjadi pada usia muda, hanya tau menuntut tanpa solusi, gampang terprovokasi dan bertindak tanpa berpikir.
Pada akhirnya di usia kemerdakaan yang sudah ke-71 tahun ini kita masih saja berbicara dan berangan-angan pemuda masa depan yang cemerlang dan sesekali membandingkan kejayaan pemuda masa lampau dengan realita hari ini yang berkebalikan, alih-alih merubah sistem, justru kita pemuda yang diubah oleh sistem.
Lantas, kalaulah sudah cukup puas kita hanya bercakap cakap saja, silakan jadi pemuda yang mau merasakan kesengsaraan, jangan jadi kambing, Tuhan memberkati.
Farizqi Khaldirian