Pemangkasan APBN, Sebuah Solusi atau Masalah Baru ?

 

2

Dewasa ini, hampir berbagai kebijakan Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Joko Widodo sering mendapat sorotan tajam dari kalangan media. Salah satu kebijakannya yang terbaru yakni pemangkasan belanja negara pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016 pun tak luput dari sorotan. Keputusan tersebut disampaikan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dalam rapat kerja dengan Komisi XI, di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (31/8/2016).

Sri Mulyani menyebutkan bahwa pemangkasan tersebut dilakukan akibat besaran penerimaan pajak yang ada ternyata terlampau jauh dari target penerimaan pajak  yang sudah dibuat berdasarkan APBN-P di tahun sebelumnya. Pemangkasan ini kemudian dirasa oleh pemerintah sebagai keputusan yang paling bijak dalam menjaga stabilitas keuangan negara saat ini.

Eksistensi APBN Mulai Dipertanyakan

Pemangkasan anggaran belanja sebenarnya adalah hal yang lumrah terjadi di negara kita. Di tahun ini, pemerintah sejatinya sudah melakukan pemangkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga lima puluh triliun rupiah. Pemangkasan tersebut sesuai Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2016. Namun keputusan seperti ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat.

Bagaimana tidak, APBN yang merupakan  rencana keuangan tahunan suatu pemerintahan selalu mendapatkan revisi setiap tahunnya atau yang sekarang kita kenal dengan APBN-P. APBN sendiri biasanya disusun dan ditetapkan sebelum memasuki tahun bersangkutan, sedangkan APBN-P baru dibahas dan ditetapkan pada tahun bersangkutan.

Pola seperti ini kerap menimbulkan perdebatan oleh para pakar ekonomi. Beberapa pakar ekonomi di Indonesia merasa seharusnya APBN-P baru diperbolehkan keberadaannya hanya ketika kondisi ekonomi mengalami perubahan yang luar biasa dan berada di luar kendali pemerintah atau sering disebut dengan istilah force majeure.

Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Siswono Yudo Husodo yang juga mantan Menteri Negara Perumahan Rakyat periode 1988-1993 dan Menteri Transmigrasi 1993-1998 mengatakan, APBN-P yang muncul pada setiap tahunnya mengindikasikan ketidakmampuan pemerintah dalam membuat perencanaan yang tepat serta perencanaan keuangan yang benar-benar dapat diimplementasikan dalam setahun ke depan.

Di mata pria kelahiran Long Iram ini, Pemerintah dan DPR terkesan tidak pernah serius dalam memutuskan APBN yang bersangkutan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya pemikiran bahwa kesalahan dalam perancangan APBN  adalah hal lumrah, karena pada akhirnya kesalahan tersebut dapat diperbaiki saat APBN-P. Dan yang seringkali terjadi, nilai anggaran belanjanya meningkat tinggi meskipun target pendapatannya diturunkan.  Hal ini kerap membuat neraca keuangan negara menjadi tidak seimbang, karena defisit anggaran yang muncul menyebabkan negara harus berhutang lebih banyak.

Sebenarnya, Pemerintah sudah memperhitungkan target defisit dalam APBN 2016 sebesar Rp 273,2 triliun atau 2,15 % dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Namun hingga saat ini, defisit yang terjadi sudah mencapai 1,83 % dari PDB tersebut atau sekitar Rp 230,7 triliun. Oleh karena itu pemerintah memutuskan untuk memangkas APBN-P 2016 serta menaikkan target defisitnya menjadi Rp 296,7 triliun atau 2,35 % dari PDB tersebut untuk mengatasi permasalahan defisit yang selalu muncul dari tahun ke tahun.

Tepatkah Langkah Ini?

Keputusan ini tentunya sudah dipertimbangkan dengan matang, namun kekhawatiran tetaplah ada. APBN-P sebelum era Presiden Joko Widodo selalu dilakukan untuk memuluskan langkah penambahan anggaran belanja, kini yang terjadi malah sebaliknya. Pemangkasan anggaran yang terjadi ditakutkan akan memberikan sinyal buruk ke pasar dan investor sehingga nantinya akan berimbas ke roda perekonomian negara.

Kekhawatiran ini muncul ketika masyarakat mulai beranggapan bahwa roda penggerak perekonomian akan macet dan lesu. Padahal peningkatan anggaran yang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya turut berperan dalam meyakinkan pasar dan investor untuk melakukan investasi yang akan semakin mempercepat perputaran roda perekonomian Indonesia.

Rendahnya gairah para investor ditakutkan akan berimbas ke percepatan pembangunan infrastruktur. Pendanaan infrastruktur sering kali melibatkan investor dalam berbagai bentuk kerjasama yang saling menguntungkan. Hal ini dilakukan agar anggaran belanja negara dapat terbagi rata dengan sektor-sektor lainnya. Namun dengan kondisi yang ada saat ini, dikhawatirkan akan terjadi perlambatan pembangunan di berbagai daerah akibat minimnya investor yang berminat untuk ikut terlibat dalam proyek – proyek percepatan pembangunan di Indonesia.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang turut terkena imbas dari pemotongan anggaran tersebut tentu sudah mempersiapkan tindakan nyata dari munculnya kebijakan ini. Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2016 yang menginstruksikan agar 85 Kementerian/Lembaga (K/L) melakukan langkah-langkah penghematan dalam rangka pelaksanaan APBN-P 2016, membuat Kementerian PUPR berencana untuk memotong anggaran beberapa proyek di Indonesia.

Pemotongan anggaran akan dilakukan bagi proyek-proyek single-year (proyek berjangka waktu 12 bulan). Namun pemotongan anggaran dipastikan tidak akan dilakukan ke proyek – proyek strategis multi-year seperti Trans Papua dan berbagai pembangunan infrastruktur di perbatasan negara. Kebijakan yang dilakukan untuk proyek – proyek multiyear  adalah dilakukannya pembayaran sebesar setengah dari harga kontrak terlebih dahulu, selebihnya pelunasan akan dilakukan di tahun selanjutnya. Kebijakan ini akan diiringi dengan restrukturasi anggaran agar bisa menampung pembayaran proyek-proyek tersebut pada 2017 nantinya.

Berdasarkan berbagai penjabaran diatas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun kebijakan yang sepenuhnya baik ataupun sebaliknya. Karena setiap kebijakan yang dibuat, tentu akan selalu ada efek samping yang muncul entah itu positif, negatif, ataupun keduanya. Yang terpenting adalah bagaimana cara untuk bersiasat serta beradaptasi menghadapi sebuah kebijakan dengan cermat, tepat, dan bertanggung jawab.

Pemotongan anggaran ini diharapkan dapat memperlancar segala kebijakan ekonomi yang ada tanpa menurunkan kualitas pertumbuhan dan pembangunan yang dihasilkan. Karena tujuan utamanya harus tetap terpenuhi, yakni untuk menyejahterakan kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Jangan sampai pemangkasan yang terjadi hanya sekedar untuk penghematan tanpa disertai arah yang jelas. Karena jika hal itu terjadi, maka sekali lagi kesejahteraan rakyatlah yang akan dikebiri.

 

Penulis
Idha Makayasa P.