Universitas Gadjah Mada (UGM) yang seharusnya menjadi role model bagi bangsa Indonesia, telah mencoreng dirinya dengan mengabaikan praktik demokrasi di kampusnya sendiri. Namun ternyata persoalan ini tidak semudah yang kita bayangkan dan simak di media massa. Ada banyak hal yang harus dibahas dan dimengerti untuk memahami apa yang terjadi di kampus kerakyatan.
Permasalahan dimulai dengan konflik pemilihan dekan yang terjadi di beberapa fakultas, yaitu Fakultas Hukum (FH), Fakultas Kedokteran Gigi (FKG), Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), dan Sekolah Vokasi (SV).
Gejolak ternyata tidak hanya terjadi di tingkat universitas, mahasiswa dan dosen pun ikut berpartisipasi dalam restorasi demokrasi. Salah satu contoh adalah terjadinya protes di Fakultas Hukum. Seperti dua fakultas dan satu sekolah lainnya, Fakultas Hukum merasa ada yang sedikit melenceng dalam pemilihan dekan periode ini. Terjadi perbedaan hasil antara pemilihan tingkat fakultas dan tingkat universitas terhadap dua calon dekan Fakultas Hukum. Dua calon tersebut adalah Prof. Dr. Sigit Riyanto, SH, LLM, (SR) dan Linda Yanti Sulistiawati, S.H.,M.Sc.,Ph.D. (LYS). SR memperoleh dukungan delapan dari sebelas jurusan yang ada di Fakultas Hukum UGM. Hasil pemilihan dekan tersebut lalu diserahkan ke pihak universitas. Setelah itu, Panitia seleksi (Pansel) mengundang kedua calon untuk presentasi selama sekitar dua puluh menit, dan Pansel memutuskan LYS sebagai dekan terpilih.
Seorang dekan bukan hanya sekadar berkutat dengan kegiatan belajar mengajar di lingkungan kampus. Seorang dekan adalah pemimpin yang mempunyai visi ke depan tentang kemajuan dari fakultas tersebut.
Menurut Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M, demokrasi dan meritokrasi harus diselaraskan dalam pemilihan dekan. Kapabilitas dan visi misi kedepan calon dekan memang sangat dibutuhkan untuk melihat pandangan calon dekan tersebut kedepannya. Namun, pilihan dari fakultas juga harus dipertimbangkan dalam keputusan akhir pemilihan dekan. “Kita tidak bisa hanya menggunakan metode pemilihan dengan cara melihat kapabilitas saja, pilhan dari orang-orang terdekat yang setiap hari bekerja bersama calon dekan tersebut pun harus didengar.” Ujar Zaenal.
Zaenal menambahkan bahwa proses demokrasi dengan pemilihan akan menghasilkan output yang lebih akurat. Saat proses pemilihan tingkat fakultas, orang-orang yang memilih adalah orang-orang terdekat yang tahu persis keahlian dan rekam jejak calon dekan tersebut. Berbeda dengan seleksi di universitas yang hanya mendengarkan pemaparan singkat dan tanya jawab yang tidak sampai satu jam. “Yang tau tentang diri anda tentu keluarga anda sendiri,” Tegas Zaenal.
Senin (19/9) Tim Liputan Clapeyron telah mencoba mencari pernyataan dari pihak UGM melalui Dr. Iva Ariani, S.S., M.Hum., sebagai humas UGM. Namun, beliau sedang tidak ada di tempat dikarenakan sedang ada kegiatan rapat hingga malam, sehingga Tim Liputan Clapeyron tidak dapat menemuinya. Pada hari yang sama, Aliansi Mahasiswa Independen Peduli Hukum (AMPUH) mengadakan seminar yang mengundang Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D sebagai rektor UGM dan panitia terkait dalam pemilihan dekan. Acara tersebut berlangsung di Gedung 1 Fakultas Hukum UGM.
Pemilihan dekan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2013 tentang Statuta UGM dan ilanjutkan dengan Peraturan Majelis Wali Amanat (MWA) Nomor 4 Tahun 2014. Inti dari kedua peraturan tersebut adalah mengubah tata cara pemilihan dekan yang tadinya berdasarkan pemilihan menjadi seleksi. Kedua peraturan tersebut memberikan kekuasaan penuh kepada rektor untuk memilih dekan. Menurut Dwikorita pada saat seminar tersebut, peraturan ini tentu berbahaya jika diterima di tangan orang yang salah.
Kemudian rektor menerbitkan Peraturan Rektor Nomor 7 Tahun 2016 tentang tata cara pemilihan dekan. “Hal tersebut untuk memitigasi Peraturan Pemerintah dan Peraturan MWA agar demokrasi tetap dipertimbangkan dalam pemilihan dekan,” tegas Dwikorita. Rektor wanita pertama UGM itu menambahkan, perubahan cara pemilihan dari pemungutan suara menjadi seleksi adalah untuk melaksanakan progam ‘lompatan’ yang sedang dicanangkan di universitas-universitas di Indonesia.
Program ‘lompatan’ ini adalah untuk menjaring pemimpin yang mempunyai jiwa kepemimpinan, kemampuan manajerial, strategi pencapaian, dan memiliki rekam jejak yang unggul. Rektor UGM kelima belas tersebut menambahkan, musyawarah mufakat lah menjadi metode yang lebih baik dalam pemilihan dekan. Pemimpin harus di nilai dari poin-poin tersebut di atas , tidak selamanya pemimpin yang mempunyai banyak pengikut adalah pemimpin yang lebih baik.
Kemudian beliau menambahkan, hasil pemungutan suara dari fakultas tidak dibiarkan begitu saja. Hasil pemungutan suara menjadi poin terakhir yang dinilai oleh Tim Pansel. Hal ini untuk menghindari intervensi dari pihak luar terhadap Tim Pansel.
Pihak rektorat saat ini sedang mempertimbangkan kembali tuntutan dari mahasiswa maupun dosen yang beraksi di halaman Balairung UGM. Proses sanggahan dekan sedang berlangsung di tubuh rektorat. Mahasiswa juga menuntut agar proses penilaian dan proses sanggahan berlangsung transparan.
Gadjah Mada tidak hanya sekadar tempat belajar. Tempat megah ini adalah tempat menimba pelajaran hidup. Seluruh elemen UGM akan ditempa menjadi orang yang peduli dengan lingkungan sekitar.
Penulis: Muhammad Ali Akbar
Poster: Aryadhatu Dhaniswara