Sepekan terakhir linimasa kita dipenuhi dengan kasus tewasnya tiga mahasiswa Universitas Islam Indonesi (UII) saat mengikuti pendidikan dasar The Great Camping XXXII, Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Unisi UII, Yogyakarta. Tidak dapat dipungkiri, sejak terjadinya peristiwa ini, potret Mapala di kalangan awam sedikit tercoreng. Padahal apabila kita selisik lebih jauh lagi, Mapala juga dapat menghadirkan berbagai macam hal positif dalam kegiatannya.
Mahasiswa dan Alam
Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) merupakan salah satu unit kegiatan mahasiswa yang berorientasi pada kegiatan di alam. Di Indonesia, Mapala pertama kali didirikan di Universitas Indonesia atas gagasan Soe Hok Gie pada tahun 1964 dengan nama Mapala Prajnaparamita. Dalam tulisannya yang berjudul Bara Eka, Soe Hok Gie menuliskan Mapala sebagai sekelompok mahasiswa yang tidak percaya bahwa patriotisme dapat ditanamkan hanya melalui slogan-slogan dan jendela-jendela mobil. “Mereka percaya bahwa dengan mengenal rakyat dan Tanah Air Indonesia secara menyeluruh, barulah seseorang dapat menjadi patriot-patriot yang baik,” tuturnya dalam tulisan tersebut.
Keanggotaan dalam Mapala juga terbilang cukup unik dibanding dengan organisasi pada umumnya karena keanggotaan Mapala yang berlaku seumur hidup. Hal ini pula yang turut membuat hubungan antaranggota Mapala terus terjalin seperti keluarga. Hubungan kekeluargaan ini tidak hanya terjalin di dalam suatu Mapala tertentu, melainkan juga terjalin antara satu Mapala dengan Mapala lainnya. Sehingga selain untuk menyalurkan hobi dan minat dalam aktifitas alam, bergabung dengan Mapala juga dapat memperluas jaringan pertemanan.
Tahap pertama untuk dapat bergabung dengan Mapala umumnya diawali dengan adanya latihan fisik dan pendidikan dasar (Diksar). Namun salah satu Mapala di Fakultas Teknik UGM, Pecinta Alam Sipil Gadjah Mada (Palasigma), sedikit berbeda. Palasigma tidak mengadakan Diksar sebagai syarat masuk keanggotaannya. Seperti yang dikemukakan ketua Palasigma 2012, Juven Daeli, syarat yang dibutuhkan hanya minimal mengikuti tiga kali pendakian dan satu kegiatan lain, dengan maksud agar calon anggota memiliki cukup pengalaman tentang alam. “Selebihnya, proses belajar akan ditempuh bersama-sama sembari menikmati hobi yang sama, yaitu bertualang di alam,” tambahnya.
Mapala dan Tindak Kekerasan
Sayangnya, kabar miring mengenai kekerasan dalam Mapala hadir di tengah-tengah ramainya berita pilkada dan korupsi pejabat negara. Media sosial pun ramai dengan perbincangan kasus meninggalnya tiga mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta setelah mengikuti kegiatan pendidikan dasar (Diksar) Mapala di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah. Hingga kini, penyebab dari peristiwa tersebut belum dapat ditentukan secara pasti.
Namun untuk sementara, dugaan penyebab terjadinya peristiwa tersebut adalah karena adanya tindak kekerasan yang diberlakukan oleh para senior Mapala sendiri. Dilansir dari liputan6.com, orang tua dari salah satu korban menyatakan bahwa beliau menemukan beberapa luka di bagian tubuh anaknya saat tengah dirawat di rumah sakit. Sebelum meninggal dunia, korban juga mengeluhkan rasa sakit pada lehernya karena membawa air terlalu banyak, serta punggung yang dipukul dengan rotan sebanyak sepuluh kali saat diksar berlangsung.
Melihat fenomena ini, Ibrahim Ramadhian, selaku ketua Palasigma 2014 menyatakan bahwa kekerasan di dalam Mapala bukanlah sesuatu yang pasti akan dialami oleh setiap calon anggota Mapala. Sebab menurutnya, beberapa Mapala melakukan diksar dengan keras hanya untuk mempertahankan ‘tradisi kolot’ Mapala tersebut. Tradisi yang dimaksud adalah pandangan lama berupa perlu adanya kekerasan dalam diksar Mapala untuk membentuk mental dan fisik yang kuat pada calon anggotanya.
Dalam proses mendidik, tindak kekerasan tentu bukan cara yang tepat untuk diterapkan oleh pengajar terhadap pelajarnya. Komunitas, institusi, atau lingkungan manapun merupakan wadah pemersatu tingkat bawah, yang dapat mengajarkan nilai-nilai kekeluargaan tanpa memperhatikan usia maupun SARA anggotanya. Jika nilai kekeluargaan dalam lingkungan kecil seperti komunitas atau institusi saja sudah dapat terbentuk, tentu pembentukan dan penerapan nilai-nilai moral yang baik akan lebih mudah terlaksana ke depannya.
Predikat ‘aktifitas alam butuh fisik kuat’ bukanlah alasan untuk memberlakukan tindak kekerasan terhadap anggota Mapala. Seperti Palasigma, komunitas pecinta alam seperti ini justru menjadi sarana pemersatu antara satu dengan yang lainnya tanpa memperhatikan tingkat pendidikannya. Aktifitas-aktifitas alam yang dilaksanakan menjadi waktu dimana para anggota menjadi lebih kenal satu sama lain serta dapat saling membantu. Layaknya keluarga dalam kehidupan nyata, lewat aktifitas alam ini pula para anggota dapat saling mengayomi.
Seperti tujuan awal pembentukan Mapala di Indonesia, Mapala adalah sekumpulan orang yang memiliki kesamaan rasa peduli, rasa cinta, dan minat untuk melestarikan alam dan lingkungan sekitar. Mapala juga dapat menjadi keluarga baru bagi anggotanya, seperti yang diutarakan oleh Ketua Patrapala, Mapala Teknik perminyakan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” (UPN) Yogyakarta, Zalfa, “Tingkat loyalitas keanggotaan Mapala yang lebih kuat yang menjadikan kekeluargaan Mapala terbentuk dengan erat”.
Artikel oleh
Hanan Zharifah
Poster oleh
Wildan Hero