Alam nampaknya masih mau menganggap warga Ngelosari sebagai saudara. Saat menginjakkan kaki di Dukuh Ngelosari, Desa Srimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul dalam rangkaian Srawung Desa 2017 yang diselenggarakan Keluarga Mahasiswa Teknik Sipil (KMTS), Universitas Gadjah Mada (UGM), warna hijau dedaunan seolah menemani perjalanan kita. Jalan setapak yang menjadi gang menuju rumah warga dari jalan utama belum seluruhnya tercor beton, bahkan masih ada jalan yang benar-benar hanya beralas tanah. Cokelatnya tanah masih bisa disaksikan dengan paduan batuan bulat di antara jalan setapak. Ketika hujan, lumpur banyak memberi peringatan untuk para pengendara untuk berhati-hati agar tidak tergelincir.
Tani dan kebun, salah satu mata pencaharian yang mendominasi, nampaknya masih menjadi pilihan bagi warga untuk mengais rezeki. Bertani di sawah yang bersistem tadah udan, yang hanya mengandalkan air hujan untuk pengairannya, menjadi salah satu usaha para warga untuk menjaga ketersediaan beras di rumahnya. Setiap rumahnya, warga memiliki lahan sepetak dua petak lahan untuk berkebun. Singkong, jahe, temulawak, dan berbagai jenis tumbuhan rimpang lainnya mengisi kebun yang mereka miliki.
Tak hanya mengandalkan mata pencaharian utamanya sebagai petani, hampir seluruh warga beternak kambing atau sapi. Salah satu hal yang menjadi alasan mereka untuk memelihara ternak adalah sebagai aset yang bisa diuangkan pada saat darurat. Saat berada di Ngelosari, mata kita akan dibiasakan dengan melihat aktivitas warga yang mencari rerumputan untuk pakan ternak. Mereka menaruh sebuah karung yang telah penuh dengan potongan rerumputan di atas kepala mereka sambil memeganginya dengan satu tangan, tentu saja sambil membawa sebuah sabit sebagai alat pemotongnya.
Guyub Rukun Tandang Gawe
Selain suasana yang asri oleh hijaunya pepohonan, suasana kehidupan di Ngelosari masih tampak harmonis. Suasana itu layaknya menggambarkan bahwa tetangga merupakan keluarga tak sedarah. Mariyono, Ketua Polisi Desa (Poldes) yang juga menjadi biduan di kelompok campursari di Ngelosari, mengatakan bahwa semua warga di Ngelosari saling mengetahui dan mengenal satu sama lain mulai dari anak kecil, orang dewasa, maupun orang tua. Sungguh takjub mengetahui hal tersebut karena jarak antar rumah mereka yang tak dekat karena terpisah kebun-kebun yang luas.
Mungkin bagi mereka sesrawungan bukan lagi menjadi hal yang sedang dibangun melainkan dalam tahap mempertahankan bagi mereka. Pertemuan bapak-bapak yang digelar secara periodik menjadi ajang mengetahui agenda kampung, bahkan menjadi sarana untuk saling memberi kabar. Pengelolaan tani dan ternak secara kelompok juga dijadikan wadah untuk bersosialisasi. Tak terkecuali bapak-bapak, kabarnya beberapa kegiatan rutin juga dilakukan ibu-ibu, karang taruna, dan anak-anak seperti pengajian, membentuk tim voli dukuh untuk lomba di desa, dan belajar di Taman Pendidikan Al-Quran (TPA). Ada satu hal yang menarik dari Dukuh Ngelosari yaitu selain dibentuk karang taruna di tingkat dukuh, di tingkat Rukun Tetangga (RT) pun mereka juga mendirikan karang taruna. Dengan berbagai kegiatan tersebut, tak heran jika mereka merasa memiliki satu sama lain.
Kehidupan yang Ideal
Kerja, kuliah, pulang malam, tidur larut malam, bangun kesiangan, lalu tidur lagi di pagi hari mungkin sudah menjadi kebiasaan kita. Kegiatan atau rutinitas yang padat bisa jadi telah mengubah pola hidup kita menjadi lebih buruk. Dengan keadaan yang sangat lelah dan jenuh akan rutinitas yang ada seakan kita harus mengambil waktu istirahat yang lebih. Mungkin terkadang hal tersebut akan terkesan seperti pemalas.
Entah bagaimana orang-orang akan memandang dan beranggapan apakah sekarang kita sedang membudidayakan malas, yang jelas dalam acara Srawung Desa 2017 pola kehidupan kami berputar menjadi kehidupan yang lebih ideal. Bagaimana tidak, setelah melaksanakan sholat subuh, beberapa di antara kami tidak kembali membaringkan tubuh dan memejamkan mata. Langkah kami tertuju pada dapur untuk memasak seakan kami berada pada garis tanggung jawab sebagai pria untuk membantu wanita yang harus pandai mengurus dapur dan sumur.
Tersirat Pesan Perjuangan
Pada hari kedua Srawung Desa 2017, Sabtu, 8 April 2017, tibalah saatnya kami untuk melanjutkan renovasi gardu pandang yang telah terpasang bekisting oleh warga yang dimintai tolong memasangkannya dan mengecat pagar pembatas di Puncak Bucu yang diproyeksikan akan menjadi tempat wisata. Pekerjaan ini mulai terasa lebih berat saat kami harus membawa beberapa sak semen ke atas bukit dengan medan tangga dari bebatuan.
Tak hanya mengangkat semen, kami juga harus mengangkat pasir ke atas bukit. Pasir yang berada di bawah telah ditakar rata-rata 3 sekop per karungnya yang selanjutnya kami estafetkan hingga ke atas. Alas kaki yang semakin membikin licin, tetapi akan menyebabkan telapak kaki tertusuk putri malu jika dilepas menjadikan dilema beberapa dari kami untuk terus memanggul dan menghantarkan pasir menuju titik-titik estafet. Lelah, haus, dan jenuh menjadi teman akrab kami waktu itu. Penantian karung terakhir berujung dengan waktu yang lama. Akhirnya, karung terakhir itu datang setelah sekian banyak tipuan-tipuan penyemangat terlontar dari mulut-mulut teman kami.
Salah satu hal yang terlintas dalam otak seorang yang tak paham sejarah ini adalah betapa beratnya nasib orang-orang terdahulu sebelum negeri ini mendeklarasikan kemerdekaan. Mereka harus menanam tanaman jarak, membangun jalan dari Anyer-Panarukan, atau mengerjakan pekerjaan lainnya dengan sangat berat tanpa upah yang pantas. Namun, tetap ingat, ini hanya miniatur dari secuplik histori yang menyebabkan kakek nenek kita menangis histeris dalam hati.
Oleh: Hutama Sektiaji