Kampung Keladi memang sudah terkenal dengan kampung yang makmur, hampir seluruh penduduknya memiliki penghasilan di atas rata-rata. Hal ini dikarenakan kegigihan dan keuletan para penduduknya dalam bekerja. Akan tetapi, hal tersebut tidak diimbangi kesadaran untuk berbagi. Bukan pelit persoalannya, melainkan kurangnya kepedulian penduduk di sana terhadap lingkungan sekitar akibat terlalu sibuk menimbun kekayaan.
Sudah tiga hari ini seorang bocah menjadi pembicaraan di kampung Keladi. Ia seringkali mondar-mandir keliling kampung. Kerjanya hanyalah menggoda anak-anak sebayanya, menggoda anak-anak remaja di atasnya, dan bahkan orang-orang tua. Hal ini bagi orang kampung sungguh menyebalkan. Yah, bagaimana tidak menyebalkan, anak itu menggoda dengan berjalan ke sana kemari sambil tangan kanannya memegang bakso tusuk yang terlihat menggiurkan dan membuat siapapun yang melihatnya ingin segera melahapnya. Sementara tangan kirinya memegang es kelapa, lengkap dengan tetesan air dan butiran-butiran es yang melekat, membuat orang menegukkan air ludah berkali-kali.
Pemandangan tersebut menjadi hal biasa bila orang-orang kampung melihatnya bukan pada bulan puasa. Tetapi ini justru terjadi ditengah hari pada bulan puasa. Bulan ketika banyak orang sedang menahan lapar dan haus. Es kelapa dan bakso tusuk itu tentu membuat mereka yang berpuasa menelan ludah dalam-dalam. Keadaan ini diperparah dengan matahari yang entah kebetulan atau tidak, bersinar lebih terik dari biasanya semenjak bocah itu muncul.
Mahdi mendapat laporan dari orang-orang kampung mengenai bocah itu. Mereka tidak berani melarang bocah kecil itu agar tidak lagi menyodor-nyodorkan dan memperagakan dengan nikmatnya, bagaimana Ia mencicipi es kelapa dan bakso tusuk tersebut dihadapan warga yang sedang berpuasa.
Pernah ada yang melarangnya, tapi orang itu kemudian dibuat mundur ketakutan sekaligus keheranan. Setiap dilarang, bocah itu akan mendengus dan matanya akan memberikan kilatan yang menyeramkan. Membuat nyali orang yang ingin melarangnya menjadi ciut. Warga pun pasrah dengan kelakuan bocah itu.
***
Mahdi memutuskan akan menunggu kehadiran bocah itu. Kata orang kampung, setiap ba’da dzuhur anak itu akan muncul secara misterius. Bocah itu akan muncul dengan pakaian lusuh yang sama dengan hari-hari kemarin dan akan muncul dengan es kelapa dan bakso tusuk yang sama pula.
Benar kata warga, tidak sampai lima menit menunggu, bocah itu pun datang lagi. Ia menari-nari sambil menyeruput es kelapa itu. Tingkah bocah itu jelas membuat orang lain menelan ludah, tanda ingin meminum es itu juga. Mahdi pun tanpa ragu mulai menegurnya. Namun, bukan takut yang Ia rasa, bocah itu malah mendelik hebat dan melotot, seakan-akan matanya menyeruak keluar, memelototi Mahdi dengan ganas.
Dengan mengucap basmallah Mahdi mencengkeram lengan bocah itu. Ia kuatkan mentalnya.
Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang ingin segera Ia jejalkan pada bocah itu. Mahdi akan mengorek keterangan apa maksud bocah itu melakukan hal-hal yang menurutnya di luar akal dan hati nurani manusia normal. Dia juga akan mencari keterangan, siapa dan dari mana sesungguhnya bocah itu.
Mendengar ucapan basmallah itu, bocah tadi mendadak menuruti tarikan tangan Mahdi. Mahdi pun menyentak tangannya, menyeret dengan halus bocah itu, dan membawanya ke rumah. Tindakan Mahdi itu diikuti tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang yang melihatnya.
“Mengapa Tuan melarang saya meminum es kelapa dan menyantap bakso tusuk ini? Bukankah ini milik saya dan sudah merupakan hak saya untuk menyantapnya atau tidak?” tanya bocah itu sesampainya di rumah Mahdi, seakan-akan tahu bahwa Mahdi akan bertanya tentang kelakuannya. Matanya tak henti menatap tajam pada Mahdi.
“Maaf ya tadi saya tidak ijin kamu terlebih dulu dan asal tarik tangan kamu untuk saya ajak kemari. Kamu tau kenapa kamu salah? itu karena kamu melakukannya dibulan puasa,” jawab Mahdi dengan halus, “Apalagi kamu tahu, bukankah seharusnya kamu juga berpuasa? Kamu bukannya ikut menahan lapar dan haus, tapi malah menggoda orang dengan tingkahmu itu.”
Sebenarnya masih banyak uneg-uneg yang ingin Mahdi keluarkan untuk mengomeli anak itu. Tapi mendadak bocah itu berdiri sebelum Mahdi selesai berucap. Ia menatap Mahdi lebih tajam lagi. Tangannya pun menyambar tangan Mahdi dan mengajaknya ke luar. Tarikannya yang kuat seolah-olah ingin memperlihatkan sesuatu kepada lelaki paruh baya itu. Mahdi tak kuasa menolaknya dan menuruti ke arah mana saja bocah itu akan membawanya. Badannya sedikit terseret akibat tarikan tangan bocah itu. Bukan main tenaga bocah itu. Mahdi pun dibuat terengah-engah olehnya.
Langkah kaki keduanya pun melambat. Mereka menyusuri gang-gang kumuh yang kosong dan sepi dengan tembok berlumut di samping kanan kirinya. Gang itu tak jauh dari kampung tempat Mahdi tinggal. Bau comberan hitam pekat yang menyerbak di mana-mana tak mampu ditahan oleh hidungnya, rasa mual itu sesekali muncul. Sampailah mereka di suatu tempat yang tampak asing bagi Mahdi. Kondisi yag berbeda tiga ratus enam puluh derajat dibanding kampung tempatnya melabuhkan penat usai berpeluh sepanjang hari. Perkampungan kumuh kini benar-benar di depan matanya. Rumah-rumah kecil berdinding tipis yang berjejer layaknya tumpukan ikan laut yang dijemur di tengah teriknya matahari siang itu.
“Itu kan yang kalian lakukan juga kepada kami semua! Bukankah kalian yang lebih sering melakukan hal ini ketimbang saya? Kalian selalu mempertontonkan kemewahan ketika kami hidup di bawah garis kemiskinan pada sebelas bulan diluar bulan puasa? Bukankah kalian yang lebih sering melupakan kami yang kelaparan, dengan menimbun harta sebanyak-banyaknya dan melupakan kami? Bukankah kalian juga yang selalu tertawa dan melupakan kami yang sedang menangis? Bukankah kalian yang selalu berobat mahal bila sedikit saja sakit menyerang, sementara kalian mendiamkan kami yang mengeluh kesakitan hingga ajal menjemput? Bukankah juga di bulan puasa ini hanya pergeseran waktu saja bagi kalian untuk menahan lapar dan haus? Ketika bedug maghrib bertalu, ketika adzan maghrib terdengar, kalian kembali pada kerakusan dan kesombongan kalian hingga tak pernah melihat kami yang di bawah sini?,” jawab bocah itu sambil sesekali menunjuk-nunjuk kampung tempatnya berteduh.
Bocah itu terus saja berbicara tanpa memberi kesempatan pada Mahdi untuk menyela. Tiba-tiba suara bocah itu berubah. Kalau tadinya Ia berkata begitu tegas dan terdengar sangat menusuk, kini Ia bersuara lirih, mengiba.
“Ketahuilah Tuan, kami ini berpuasa tanpa ujung, kami senantiasa berpuasa meski bukan waktunya bulan puasa, lantaran memang tak ada makanan yang bisa kami makan. Sementara Tuan hanya berpuasa sepanjang siang saja. Dan ketahuilah juga, justru Tuan dan orang-orang di sekeliling Tuan lah yang menyakiti perasaan kami dengan berpakaian yang luar biasa mewahnya, lalu kalian sebut itu menyambut Ramadhan dan Idul Fitri? Bukankah kalian juga yang selalu berlebihan dalam mempersiapkan makanan yang luar biasa bervariasi banyaknya, segala rupa ada, lantas kalian menyebutnya dengan istilah menyambut Ramadhan dan Idul Fitri? Tuan, sebelas bulan kalian semua tertawa di saat kami menangis, bahkan pada bulan Ramadhan pun hanya ada kepedulian yang seadanya pula. Tuan, kalianlah yang melupakan kami, kalianlah yang menggoda kami, dua belas bulan tanpa terkecuali termasuk di bulan Ramadhan ini. Apa yang telah saya lakukan adalah yang kalian lakukan juga terhadap orang-orang kecil seperti kami! Tuan, sadarkah Tuan akan ketidakabadian harta? Lalu kenapakah kalian masih saja mendekap harta secara berlebih? Tuan, sadarkah apa yang terjadi bila Tuan dan orang-orang sekeliling Tuan tertawa sepanjang masa dan melupakan kami yang semestinya diingat? Bahkan, berlebihannya Tuan dan orang-orang di sekeliling Tuan bukan hanya pada penggunaan harta, tapi juga pada dosa dan maksiat. Tahukah Tuan akan adanya azab Tuhan yang akan menimpa? Tuan, jangan merasa aman lantaran kaki masih menginjak bumi. Tuan, jangan merasa perut akan tetap kenyang lantaran masih tersimpan pangan ‘tuk setahun, jangan pernah merasa matahari tidak akan pernah menyatu dengan bumi kelak.” Rutuk bocah itu.
Entahlah apa yang ada di kepala dan hati Mahdi. Mulut yang tadinya sudah tidak tahan untuk menasihati itu kini terdiam. Pikiran yang sedari tadi sudah menampung berbagai pertanyaan itu kini membeku. Amarah yang membara itu kini menjadi butiran kesedihan dan perasaan bersalah pada bocah itu. Tubuh yang tadinya semangat untuk membela warga dan dirinya itu kini terkulai lemas. Kalimat demi kalimat meluncur deras dari mulut bocah kecil itu tanpa bisa dihentikan. Dan hebatnya, semua yang disampaikan bocah tersebut adalah benar adanya.
Setelah berkata pedas dan tajam seperti itu, bocah itu pergi begitu saja meninggalkan Mahdi yang dibuatnya terbengong-bengong. Begitu sadar, Mahdi berlari mengejar ke arah bocah itu berlari. Ia edarkan pandangan ke seluruh sudut yang bisa dilihatnya, tapi Ia tidak menemukan bocah itu. Di tengah deru nafasnya yang memburu, Ia tanya semua orang di ujung jalan mengenai bocah di kampung kumuh itu.
Diketahui namanya Mush’ab. Menurut warga sekitar, bocah ini adalah anak yatim piatu. Dia mempunyai dua orang adik yang harus Ia cukupi kebutuhannya. Ia adalah anak yang gigih dalam bekerja. Bekerja serabutan yang dapat menghasilkannya uang yang halal, seperti tukang sol sepatu, tukang pikul pasar, ojek payung, dan masih banyak pekerjaan yang sudah Ia jajal. Tidak pernah sekalipun Ia meminta-minta di jalanan. Pernah suatu hari Ia ditolong oleh seorang dermawan yang melihatnya sedang hujan-hujanan ketika menjadi ojek payung, tapi Ia dengan tegas menolaknya. Bahkan Ia meminta orang tersebut untuk memberikan uang itu ke pengemis tua renta yang sedang berteduh dibawah jembatan dan mengatakan pada orang itu bahwa beliaulah yang lebih pantas untuk diberi. Hal itu Ia lakukan karena merasa dirinya masih mampu bekerja. Walaupun tidak bisa membantu banyak perekonomian keluarganya, setidaknya uang itu cukup untuk memenuhi kebutuhan dua adiknya. Tak jarang pula Ia harus berpuasa, karena uang hasil jerih payahnya hanya mampu untuk memberi makan kedua adiknya. Kesulitan ekonomi yang membelit bukan alasannya untuk tidak menolong sesama. Terutama di bulan Ramadhan ini, Ia seringkali membagikan es teh gratis untuk anak-anak yang berpuasa di kampungnya. Semangatnya untuk mempertahankan hidup dan terus menebar kebaikan memang patut diacungi jempol.
Mendengar hal itu Mahdi sedih dibuatnya. Semua perkataan yang Ia ucapkan ke Mush’ab tadi seharusnya Ia refleksikan pada dirinya. Segera Ia putar langkah, balik ke rumah. Ia ambil sajadah, sujud, dan bersyukur. Apa yang dikatakan Mush’ab tadi memang benar adanya. Bocah tadi memberikan pelajaran yang berharga, betapa Ia sering melupakan orang yang seharusnya Ia ingat, yaitu mereka yang tidak berpakaian, mereka yang kelaparan, dan mereka yang tidak memiliki kehidupan yang layak. Ia juga memberikan Mahdi pelajaran bahwa seharusnya mereka yang sedang berada di atas, yang sedang mendapatkan karunia Allah, jangan sekali-kali menggoda orang kecil, orang bawah, dengan berjalan membusungkan dada dan mempertontonkan kemewahan yang berlebihan. Marilah berpikir tentang dampak sosial yang akan terjadi bila Ia terus menjejali tontonan kemewahan, sementara yang melihatnya sedang membungkuk menahan lapar.
Mahdi berterima kasih kepada Allah yang telah memberikannya hikmah yang luar biasa. Mahdi tidak mau menjadi makhluk yang Allah sebut mati mata hatinya. Sekarang yang ada dipikirannya, ialah bagaimana Ia mengabarkan kejadian yang dialaminya bersama Mush’ab tadi sekaligus hikmah dengan kehadiran bocah itu kepada sebanyak-banyaknya orang. Kejadian tadi begitu berharga bagi siapa saja yang menghendaki bercahayanya hati. Pertemuan itu menjadi pertemuan yang terakhir bagi Mush’ab tetapi tidak untuk Mahdi. Beberapa kali Ia mengintip kegiatan Mushab, dan mendo’akan anak itu untuk selalu diberi kesehatan, keselamatan, dan umur yang panjang karena Ia tahu anak itu pasti akan menolak mentah–mentah bantuan dalam bentuk apapun untuk dirinya. Mahdi juga tak pernah lupa menyelipkan doa-doa di sela-sela ibadahnya. Mahdi rindu kalimat-kalimat pedas dan tudingan-tudingan yang memang betul adanya. Mahdi rindu akan kehadiran anak itu agar ada seseorang yang berani menunjuk hidungnya ketika Ia salah.
***
Selesai.
Penulis : Dyah Muharomah K. P.