Pengabdian di tanah Sumbawa sejatinya akan membekas di dalam lubuk hati yang terdalam. Kehangatan warga selalu menjadi pengingat setiap insan yang melakukan pengabdian. Ilmu-ilmu yang diberikan oleh warga tertanam di dalam pikiran dan tak akan terlepaskan. Kepulangan meninggalkan kesedihan namun diiringi dengan senyuman.
Kehangatan Membuat Tak Ingin Pulang
Kecamatan Seteluk terletak di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dibutuhkan sekitar lima jam perjalanan laut dan darat dari Bandara Internasional Lombok sampai Kantor Kecamatan Seteluk. Sepanjang perjalanan akan disuguhkan pemandangan berupa bukit-bukit kecil yang terhampar seperti tiada habisnya.
Ilmu yang didapat saat belajar di kampus tentu tidak akan bermanfaat apabila tidak diberikan kepada masyarakat. Melalui Kuliah Kerja Nyata Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM), mahasiswa dituntut untuk terjun langsung kepada masyarakat untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada kemudian mencari solusinya. Kurang lebih dua bulan lamanya, mahasiswa dituntut untuk membaur bersama masyarakat.
Masyarakat desa pada umumnya akan suka dengan hal baru, termasuk dengan datangnya tim KKN. Hal ini terlihat dari hari pertama kami menginjakkan kaki di desa masing-masing. Kebetulan saya ditempatkan di Desa Kelanir, desa yang terletak di atas bukit dan tidak ada sinyal sama sekali. Warga desa sangat antusias untuk berkenalan dan bercerita banyak tentang desanya. Sambutan yang tidak kalah baik juga berasal dari anak-anak kecil atau yang biasa kami sebut dengan tode-tode. Mereka tidak ada hentinya untuk mengajak kami bercengkrama dan bermain.
Masa transisi dari masyarakat kota menjadi masyarakat desa ternyata tidak begitu sulit. Keramahan warga desa selalu membuat hati menjadi betah berlama-lama. Udara yang segar dan suasana yang ramah membuat kami sejenak melupakan hiruk pikuk kota. Rendah hatinya warga desa membuat anak-anak KKN yang baru datang ini seperti mempunyai keluarga baru. Keluarga yang sepertinya sudah lama saling mengenal.
Keluarga baru yang akhirnya kami anggap sebagai adik sendiri adalah tode-tode yang energinya luar biasa banyak. Pagi kami selalu dihiasi dengan gedoran pintu oleh anak-anak yang ingin mengajak main. Pagi hingga malam kami tak pernah lepas dari suara cempreng mereka yang selalu menarik-narik tangan kami untuk selalu bersama mereka. Gangguan-gangguan tersebut yang kemudian akan selalu terngiang di kepala, bahkan saat kami sudah kembali ke rumah masing-masing.
Tabek! Sila Mo!
“Tabek bapak ibu!” “yaa, sila mo adik-adik!” menjadi kalimat harian yang wajib untuk diketahui. Tabek dapat diartikan sebagai permisi, sedangkan sila bisa diartikan sebagai silahkan. Kedua kata tersebut hampir setiap hari akan kalian dengar apabila kalian berada di desa kami. Menggunakan sapaan khas lokal adalah salah satu cara untuk mendekatkan diri dengan warga sekitar. Apabila kita menggunakan bahasa mereka, maka mereka akan merasa dihargai karena kita antusias dengan budaya yang mereka miliki.
Salah satu wejangan dari kami untuk kalian yang akan KKN di daerah yang mayoritas warganya petani adalah jangan membeli beras. Beras merupakan sumber penghidupan utama dari mayoritas warga desa kami, sehingga tidak ada satupun warga yang tidak mempunyai beras. Bahkan, beras yang mereka miliki terkadang berlebih sehingga bisa dijual. Beras dan makanan lainnya akan datang dengan sendirinya tanpa diminta. Ketulusan hati masyarakat desa yang ingin menjamu tamu dari berbagai daerah sangat tinggi. Jadi, jangan pernah takut kelaparan.
Ketika kamu ingin menjalankan program, kamu tidak akan pernah sendirian. Apabila warga mendengar kamu ingin melakukan sesuatu, maka dengan sigap mereka akan berusaha untuk membantu semaksimal mungkin. Kebetulan desa kami terkenal dengan kepala desa yang tidak suka dengan hal yang berbelit-belit. Apabila kita meminta sesuatu kepada beliau, ia tinggal berkata, “Tidak usah pake surat-surat, bilang sama kantor desa sana.”
Pembelajaran selama tiga/empat tahun lamanya ternyata tidak selamanya aplikatif kepada masyarakat. Sesi diskusi tiap penyuluhan tetap menjadi waktu yang paling menegangkan bagi setiap presenter. Warga akan memberikan tanggapan yang sangat sesuai dengan keadaan di lapangan dan berbeda dengan teori yang kami bawa. Di situlah mahasiswa dituntut untuk belajar lebih saat identifikasi masalah dan menggabungkan antara teori dengan realita. Semua itu agar tercipta pembelajaran yang tepat sasaran.
Dua bulan masa pengabdian mengajarkan arti kehidupan yang sesungguhnya. Belajar hidup sederhana, memaknai arti dari sepeser hasil keringat kerja keras, membantu sesama dalam berbagai macam hal, dan masih banyak lagi nilai yang tidak terlupakan dari sebuah pengabdian. Awalnya akan terasa berat untuk berbaur, namun lambat laun malah akan terasa berat untuk meninggalkan.
Basai Ate!
Waktu memakan dengan ganas, dia tak peduli siapa kita dan bagaimana perasaan jiwa kita. Waktu perlahan membunuh dengan senyap, membunuh dengan keheningan. Perlahan goresan tanda tangan mulai mendekati ujung, menandakan kita harus siap dengan hal yang paling dibenci umat manusia, perpisahan.
Semua hutang harus diselesaikan, semua ketertinggalan harus dikejar dengan segera. Hari-hari terakhir menjadi hari yang terberat. Tiap sudut ruang nantinya akan menjadi memori yang terekam dengan jelas tanpa gangguan. Tawa hingar bingar mereka mungkin tak akan lagi terdengar, kehangatan mereka mungkin selamanya akan menjadi angan.
Basai ate yang berarti menyatukan hati, menjadi kata-kata penutup dari secarik pengalaman ini. Jarak yang menjadi pemisah raga bukan menjadi alasan untuk terpisah dalam hati dan jiwa. Walaupun kami akan terpisah jauh, tetapi kami akan saling mendoakan layaknya sebuah keluarga yang akan terpisah. Bukankah rasa rindu yang paling indah adalah ketika dua orang saling diam, tapi mereka saling mendoakan?
Di hari penarikan, anak kecil itu berjalan dengan pelan menuju kami. Bocah SD itu akan kehilangan kakak-kakak tersayangnya sebentar lagi. Bahkan dari seminggu sebelum penarikan, ia seolah-olah tak ingin melewatkan waktu sedetikpun dengan kami. Bayu, bocah laki-laki kecil ini kemudian memelukku, dengan tatapan sendu dengan air mata berlinang ia berkata “Kakak nggak usah pulang ya, kakak di sini aja.” Dengan membalas senyumannya pun aku hanya bisa berkata “Maaf ya kakak harus pulang, tetapi suatu saat nanti kita pasti akan bertemu lagi.” Ya, Aku yakin, suatu saat nanti.
Muhammad Ali Akbar
Kontributor