Kesibukan akan pekerjaan atau rutinitas seringkali membuat orang-orang tidak bisa menyempatkan waktu untuk sekadar membaca. Hal tersebut sangatlah disayangkan, karena dengan membaca buku ataupun koran, selalu ada wawasan baru yang akan terbuka satu per satu. Hanya dengan membaca, kita juga dapat mengetahui informasi tentang apa yang ada dan sedang terjadi di belahan dunia yang lain dengan mudah.
Akan tetapi, minat masyarakat Indonesia dalam membaca masih dapat dikategorikan rendah. Menurut studi Most Littered Nation In the World oleh Central Connecticut State University pada 2016, Indonesia menempati posisi ke 60 dari 61 negara yang diteliti mengenai minat masyarakatnya dalam membaca buku. Selain itu, dikutip dari nasional.tempo.co, menurut Kepala Pusat Pengembangan Perpustakaan dan Pengkajian Minat Baca Perpustakaan Nasional, Syarif Bando, menyebutkan penelitian pada 2012 hingga 2014 tentang waktu baca masyarakat Indonesia menunjukkan hasil yang cukup memprihatinkan. Pasalnya masyarakat Indonesia rata-rata hanya menghabiskan waktu untuk membaca selama 2-4 jam per hari. Sementara, masyarakat di negara maju rata-rata menyempatkan diri untuk membaca selama 4-6 jam per hari. Ketersediaan infrastruktur penunjang seperti perpustakaan yang belum menyebar luas ke berbagai daerah dan kecenderungan masyarakat yang gemar menghabiskan uangnya untuk hiburan semata ketimbang untuk mengakses sumber informasi atau membeli buku bisa jadi menjadi penyebab kurangnya minat baca di Indonesia.
Pada zaman dengan perkembangan teknologi yang pesat saat ini, setiap orang dapat memenuhi kebutuhannya akan informasi baru dengan lebih mudah. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan hadirnya internet di tengah-tengah masyarakat saat ini. Internet memungkinkan kita untuk mengakses informasi dari manapun dan di mana saja tanpa adanya batasan jarak. Tidak hanya itu, dalam penggunaan internet seseorang dapat membagikan atau menerima sekaligus berdiskusi dengan banyak orang mengenai suatu informasi melalui media sosial.
Berdasarkan survey yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) pada 2016, diketahui bahwa 132,7 juta penduduk Indonesia telah terhubung ke internet dan 97,4% diantaranya mengakses media sosial. Melalui angka tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki tingkat keterjangkauan internet yang cukup luas. Apabila dimanfaatkan dengan optimal, mudahnya internet untuk dijangkau dapat meningkatkan minat baca dan informasi yang akan diperoleh masyarakat Indonesia secara perlahan.
Akan tetapi, banyaknya pengakses internet termasuk media sosial juga menyebabkan terbukanya ruang diskusi secara masif yang sulit dikendalikan. Arti kata dikendalikan dalam hal ini terkait dengan kebenaran suatu informasi yang tersebar didalam internet, karena setiap orang yang menggunakan internet cenderung lebih bebas dan leluasa dalam menyampaikan segala informasi ataupun gagasan mereka. Kebiasaan dalam menyebarkan sebuah informasi atau berita ke dalam ruang diskusi tanpa mengecek kebenarannya terlebih dahulu semakin memperparah penyebaran berita bohong atau “hoax”di internet.
Salah satu kasus “hoax” yang sempat ramai diperbincangkan yakni seputar peluncuran uang rupiah baru. Tersebar luas bahwa uang rupiah baru yang beredar di masyarakat sudah diselipkan dengan gambar palu dan arit yang merupakan lambang dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Tidak sedikit orang yang dengan mudahnya mempercayai dan menyebarkannya lebih luas lagi, walaupun pada akhirnya berita tersebut sudah diklarifikasi sebagai berita bohong oleh pihak Bank Indonesia (BI).
Bebasnya seeorang untuk menggunakan internet bahkan membuat sebuah bencana-pun menjadi sasaran dari keisengan seseorang yang tak bertanggung jawab. Peningkatan status Gunung Agung menjadi awas pada 22 September 2017 diiringi dengan munculnya “hoax” tentang Gunung Agung yang disebut-sebut telah meletus. Berita tersebut juga didukung dengan berbagai gambar dari letusan Gunung Soputan dan Gunung Sinabung pada 2015 yang diklaim sebagai letusan Gunung Agung.
“Hoax” saat ini tidak lagi dibuat sebagai bentuk dari keisengan seseorang saja, melainkan sudah ada yang dikelola secara profesional untuk tujuan tertentu. Terungkapnya keberaadaan Saracen menjadi bukti bahwa “hoax” yang disebarkan secara terorganisir bukanlah isapan jempol belaka. Saat menjalankan aksinya, Saracen menggunakan media sosial sebagai salah satu senjata andalannya. Tercatat sekitar 800 ribu akun yang dikendalikan oleh Saracen untuk menyebarkan “hoax”.
Maraknya peredaran berita bohong tersebut sangatlah berbahaya karena bisa saja mempengaruhi pola pikir dari pengguna internet, terutama yang lemah dalam literasi digital. Untuk menghadapi pemasalahan tersebut, diperlukan kemampuan literasi digital yang kokoh untuk setiap orang. Menurut Paul Gilster dalam bukunya yang bejudul Digital Literacy, literasi digital adalah kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dari berbagai format dari berbagai sumber. Pada intinya, literasi digital bukan hanya keterampilan untuk membaca saja melainkan untuk memahami makna dan berpikir kritis ketika berhadapan dengan media digital.
Apabila seseorang sudah memiliki tingkat literasi digital yang baik, maka ia akan dapat dengan mudah mencari informasi yang dibutuhkan dengan cepat dan tanpa rasa khawatir akan kebenaran sebuah informasi yang ia jumpai di internet. Saat ini sudah banyak situs daring yang menyediakan buku elektronik dan beberapa diantaranya dapat diperoleh secara gratis. Dengan kemampuan literasi digital, pelajar dapat memanfaatkan internet untuk mengakses buku elektronik dan sumber belajar lainnya sebagai referensi belajar yang terpercaya serta dapat diakses kapan saja sehingga internet juga bisa dijadikan salah satu solusi untuk mendapatkan sumber belajar yang praktis dan relatif terjangkau.
Selain itu, penanaman literasi digital juga dapat diaplikasikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia sebagai salah satu pilihan tanpa perlunya pengantian kurikulum secara terus menerus. Tentunya hal tersebut juga perlu didukung dengan sarana penunjang di setiap sekolah. Oleh karena itu, penanaman literasi digital sangatlah penting terutama pada generasi muda, baik dalam pendidikan formal maupun informal sebagai proteksi dalam potensi berkembangnya minat baca masyarakat dewasa ini.
Ryan Dwi Nugroho