Beranda Artikel Perenggut Hak Pengguna Jalan

Perenggut Hak Pengguna Jalan

oleh Redaksi

Relokasi kawasan parkir di sekitaran jalan Kaliurang merupakan salah satu langkah tepat yang diambil oleh pemerintah kota yogyakarta untuk mewujudkan Yogyakarta sebagai kota yang ramah pejalan kaki. Tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan perparkiran di trotoar tersebut telah mengambil hak yang dimiliki oleh para pejalan kaki. Terlepas dari pro dan kontra tentang dampak yang ditimbulkannya, kebijakan ini mengajak masyarakat untuk kembali meninjau tentang kualitas kepublikan dan hak-hak yang dimiliki masyarakat dalam ruang publik, seperti trotoar ataupun tempat lainnya.

Jalan Publik Menampung Hak-Hak dari Setiap Warga Negara

Di Yogyakarta, pengambilan hak publik ini tidak hanya terjadi di Jalan Kaliurang. Jika diperhatikan, kasus seperti ini banyak terjadi. Sebagai contoh, dapat dilihat kawasan Jalan Parangtritis di sekitaran Prawirotaman dan Jalan Malioboro. Wilayah tersebut bisa dikatakan sebagai wilayah penunjang pariwisata Yogyakarta yang utama. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya hotel, jasa penginapan, mall, serta toko-toko penjual pernak-pernik khas Yogyakarta yang berada di wilayah tersebut. Tentu saja hal ini berimbas pada kegiatan perekonomian di sekitarnya. Dengan meningkatnya permintaan di wilayah ini, kegiatan ekonomi sekitarnya menjadi tumbuh. Sekarang sudah banyak ditemukan toserba, kafe, dan restoran untuk memenuhi kebutuhan pokok dan sosial dari para turis domestik dan mancanegara.

Dalam perkembangannya, restoran dan toko-toko yang berjejer di sekitaran Jalan Kaliurang juga menarik perhatian dari penduduk lokal yogyakarta. Lokasinya yang tidak jauh dari kampus-kampus membuat restoran dan toko-toko selalu dipenuhi pengunjung dari kalangan anak muda dan mahasiswa Yogyakarta. Kafe-kafe ini kemudian menjadi ruang yang dikatakan Jurgen Habermas, seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman, sebagai ruang publik borjuis, suatu ruang publik tempat terjadinya interaksi sosial dan kebebasan berpendapat, tetapi dimiliki oleh swasta.

Kendaran pribadi menjadi transportasi utama yang digunakan oleh para pengunjung untuk mengakses wilayah ini. Dan tentu saja, muncul kebutuhan baru, yaitu ketersediaan lapangan parkir untuk para pengunjung tersebut. Sayangnya, kafe-kafe di wilayah ini tidak seluruhnya menyediakan tempat parkir yang cukup untuk seluruh pengunjungnya, sehingga digunakanlah sebagian bahu Jalan Kaliurang yang notabene merupakan hak pesepeda dan kendaraan tak bermesin lainnya.

Ruang publik merupakan suatu ruang atau wilayah untuk saling berinteraksi. Sebagai ruang yang dimiliki oleh semua orang, idealnya ruang publik harus bebas dari dominasi dan setiap individu di dalamnya pun harus setara. Jalan Kaliurang yang diapit oleh restoran dan kafe-kafe sebagai ruang publik secara tidak langsung juga menjadi bagian dari kesatuan ruang publik tersebut. Sebagai jalan publik, Jalan Kaliurang menampung hak-hak dari setiap warga dalam mengakses jalan tersebut. Untuk menjaga kesetaraan itulah hukum digunakan.

Akibat Pengambilan Hak Publik

Penggunaan tepi jalan sebagai tempat parkir sebenarnya telah diatur dalam  Perda Kota Yogyakarta No. 18 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perparkiran.  Tempat parkir di tepi jalan umum adalah tempat parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Walikota sebagai tempat parkir kendaraan. Lebih jelas lagi tentang penyelenggaraan parkir di tepi jalan umum dibahas pada Bab IV pasal 4, bahwa Walikota atau Pejabat yang ditunjuk menugaskan Juru Parkir dengan Surat Tugas. Selain itu, pada ayat (6) dijelaskan juga bahwa Pemerintah Daerah dapat menunjuk pihak ketiga yang berbentuk badan untuk mengelola parkir di tepi jalan.

Akan tetapi menurut Perda Kota Yogyakarta No. 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta (RTRW Kota Yogyakarta), Pasal 11 ayat 2, Jalan Kaliurang diklasifikasikan sebagai jaringan jalan kolektor primer. Jalan kolektor primer harus memenuhi beberapa kriteria, di antaranya didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 40 km/jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 9 meter.

Dengan digunakannya tepi jalan sebagai tempat parkir, tentu lebar jalan menjadi berkurang. Terlebih pada jam sibuk dengan debit kendaraan yang sangat tinggi, keberadaan parkiran di tepi jalan menghambat laju kendaraan lainnya. Sebagai jalan kolektor primer, lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat. Untuk itu, juga disediakan jalur sepeda sebagai lalu lintas lambat, agar lalu lintas cepat tak terganggu. Keberadaan parkir ini mengambil jalur sepeda yang berujung pula pada terganggunya lalu lintas cepat.

Selain itu, parkir di tepi jalan dapat membahayakan pengguna jalan secara keseluruhan. Hal tersebut dapat diatasi dengan diberinya rambu larangan parkir. Tetapi, diberinya rambu larangan parkir tidak dapat membantu secara optimal dalam pengurangan parkir sembarangan, karena pemasangan rambu hanya dipasang di tempat-tempat tertentu dan terbatas sesuai kondisi ruas jalan dan lalu lintasnya.

Rendahnya Kepedulian dan Kekritisan Masyarakat terhadap Isu-Isu Publik

Ideal atau tidaknya ruang publik sangat ditentukan oleh relasi kuasa antara negara, pasar (swasta), masyarakat, dan interkoneksi antar ketiganya. Pengambilan hak pesepeda dalam kasus ini merupakan bukti adanya pihak yang mendominasi, dan terlihat bahwa yang paling diuntungkan adalah swasta. Tapi jika dilihat sebaliknya, bisa dikatakan kalau hal ini menjadi penanda lemahnya negara dan masyarakat.

Lemahnya negara (pemerintah) dimungkinkan karena kebijakan dan tindakan tegas untuk mengatur lahan parkir di area tersebut belum ada atau tidak dijalankan dengan sempurna. Menurut Hannah Arendt, seorang teoritikus politik Jerman, peraturan membentuk manusia sebagai individu yang mempunyai tempat tertetu di ruang publik, menghadirkan diri secara alamiah, tetapi sebagai individu politik yang setara. Kebebasan itu penting, namun pembatasannya juga penting. Peraturan diciptakan sebagai penjamin kesetaraan, walaupun dalam beberapa aspek masyarakat memang tidak setara.

Sedangkan lemahnya masyarakat tercermin dari rendahnya kepedulian dan kekritisan masyarakat terhadap isu-isu publik di sekitarnya. Untuk itu, sebagai masyarakat, kita perlu melatih kepekaan dan kekritisan diri, agar kehidupan bermasyarakat bisa lebih dinamis dan harmonis.

 

Dyah Muharommah

Artikel Terkait