Beranda Artikel Mengurai Kemacetan: Melebarkan Jalan Bukan Solusi Jangka Panjang

Mengurai Kemacetan: Melebarkan Jalan Bukan Solusi Jangka Panjang

oleh Redaksi

Macet, kondisi yang belum lepas dari berbagai kota besar di dunia, termasuk Jakarta. Kasus macet dan banjir menjadi bahan yang selalu disinggung saat debat calon Gubernur DKI Jakarta. Antar calon gubernur saling adu pendapat dan lempar solusi untuk menggaet calon pemilih. Harapan warga Jakarta tak jauh dari dua masalah itu, dari doa semoga Jakarta nggak banjir lagi hingga semoga Jakarta nggak macet lagi. Lucunya lagi, seorang ojek online juga mengharapkan agar kemacetan teratasi.

Waktu berlalu, gubernur berganti. Gubernur baru, solusi baru atau lanjutkan lagi. Pertimbangan untuk mencapai solusi mereka jadikan diskusi dengan tim ahli. Namun, bisa dilihat, macet belum teratasi. Maklum, mengurai kemacetan apalagi di salah satu kota paling macet di dunia bukan perkara mudah untuk diselesaikan. Susah atau gampang, kemacetan harus tuntas teratasi mengingat kerugian yang ditimbulkan pun tidak main-main. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengatakan 67 triliun rupiah terbuang akibat kemacetan di Jakarta, termasuk biaya bahan bakar dan pengobatan akibat polusi.

Melalui Indeks Lalu Lintas TomTom, Jakarta mendapat nilai tingkat kemacetan sebesar 58% menempati peringkat ketiga setelah Mexico City dan Bangkok dengan nilai masing-masing 66% dan 61%. Indeks Lalu Lintas TomTom 58% berarti di semua ruas jalan dan semua perjalanan membutuhkan waktu tambahan sebesar 58% dari waktu yang dibutuhkan saat keadaan lalu lintas lancar. Ditinjau dari survei lain, Castrol Magnatec Stop-Start Index, yang menilai kemacetan dari jumlah berhenti dan jalan pada navigasi pengguna TomTom tiap tahun per kilometer, dua kota besar di Indonesia menempati 4 besar kota paling macet sedunia. Dengan nilai indeks 33.240, Jakarta menduduki peringkat pertama disusul Istanbul (32.520), Mexico City (30.840), dan Surabaya (29.880).

Berat tanggungan seorang Gubernur Jakarta menuruti harapan para warganya. Mau apalagi, amanah sudah melekat. Saatnya mereka berpikir mewujudkan kebahagiaan Jakarta. Namun, saya tak habis pikir saat Anies Baswedan meminta perancang jalan untuk melebarkan trotoar agar dapat menampung volume sepeda motor. Darimana pemikiran ini berangkat? Terasa lucu saat kebijakan ini benar-benar diambil, berangkat dari ketidaksabaran pengendara sepeda motor lalu naik ke trotoar. Trotoar bukan untuk pengendara motor, tapi untuk pejalan kaki. Menurut Peraturan Menteri Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2014 Tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan, “Trotoar adalah jalur pejalan kaki yang umumnya sejajar dengan sumbu jalan dan lebih tinggi dari permukaan perkerasan jalan untuk menjamin keselamatan pejalan kaki yang bersangkutan.” Tentu kebijakan ini mengambil hak keselamatan dan kenyamanan pejalan kaki, lalu semua berkendara dan akhirnya macet. Kapan pejalana kaki akan dimuliakan?

Kurang visioner saat seorang pemegang kebijakan memberikan solusi kemacetan dengan meningkatkan kapasitas. Solusi ini hanya solusi jangka pendek, macet hanya terurai beberapa tahun, lalu jalan akan macet lagi. Memang benar, derajat kejenuhan dinilai dari rasio volume dan kapasitas. Ketika nilai rasio ini sudah semakin dekat ke angka satu dan kapasitas jalan dibesarkan, maka nilai akan menjauhi angka satu. Ingat, ini hanya sesaat. Hal tersebut dapat terjadi karena prinsip permintaan yang akan meningkat saat biaya murah.

Ketika jalan menjadi lebar dan lancar, biaya berkendara akan semakin murah. Ongkos yang dikeluarkan untuk mengganti bahan bakar yang hilang saat mengantre di kemacetan. Warga merasa nyaman dengan kendaraan pribadinya. Kendaraan bermotor dirasa menjadi keperluan, lalu jumlah kendaraan bermotor akan meningkat. Tentu, macet akan terjadi lagi. Siklus ini akan berputar saat kebijakan pelebaran jalan diambil. Dilansir dari Citymetric, Tiongkok telah meningkatkan jaringan jalan tol dari 16.300 km pada 2000 menjadi 70.000 km pada 2010, tapi waktu perjalanan di Beijing meningkat dari 25 menit menjadi 1 jam 55 menit.

Gilles Duranton, seorang ahli yang tertarik pada isu urban dan transportasi, dan Matthew Turner, ahli Kebijakan Lingkungan dan Urban, mengibaratkan konsep penambahan kapasitas. Mereka menggambarkan ketika hamburger diberikan secara gratis, orang-orang akan makan, makan, dan makan lagi. Teori lain, Paradoks Down Thomson, mengatakan bahwa membangun jalan yang baru juga akan memperburuk kondisi kemacetan di ruas jalan lain.

Optimalisasi transportasi umum masal yang telah direncanakan Pemerintah Provinsi DKI dirasa perlu dilakukan. Transjakarta, Mass Rapid Transit (MRT), dan Light Rapid Transit (LRT) Jakarta sebenarnya sudah menjangkau banyak titik di Provinsi DKI Jakarta. Solusi ini lebih visioner dan merupakan solusi jangka panjang dibandingkan dengan sekedar menambah kapasitas jalan, baik melebarkan maupun menambah ruas dan jaringan jalan. Jika ketiga transportasi massal tersebut dapat diintegrasikan dengan baik, masyarakat bisa memindahkan ketergantungan kendaraan pribadi ke transportasi umum massal.

Ketepatan waktu datang dan berangkat menjadi salah satu faktor yang menentukan masyarakat untuk memilih transpotasi umum massal. Headway atau interval keberangkatan BRT, MRT, dan LRT juga seyogyanya dirancang tidak menyebabkan calon penumpang bosan dan merasa lama. Akses dari daerah pemukiman dan daerah aktivitas seperti pusat perbelanjaan dan perkantoran ke tempat pemberhentian moda juga harus dirancang sebagai akses yang nyaman untuk pejalan kaki dan pesepeda, misal disediakan fasilitas parkir sepeda. Keamanan di halte atau stasiun juga harus tetap terjaga untuk menjauhkan rasa waswas kepada penumpang. Jika konsep ini terwujud dan dapat dijalankan dengan baik, pihak pengelola layanan transportasi umum massal dapat menambah jaringan yang dapat menjangkau tempat-tempat lainnya.

Proyek pengadaan transportasi umum massal bukan hal yang murah. Tak perlu menambah biaya untuk melaksanakan solusi jangka pendek semacam pelebaran jalan. Jika memang tidak mendesak untuk melebarkan jalan, pemerintah sebaiknya tetap sabar menunggu selesainya pengadaan sarana prasarana dan terintegrasikannya Transjakarta,  MRT, dan LRT. Jika memang sangat mendesak, silakan melebarkan jalan, bukan trotoar.

Infografis & artikel: Hutama Sektiaji

Artikel Terkait