Beranda BeritaTanggap Warsa Clapeyron Wani Perih: Catatan Seorang Pemimpin Umum

Wani Perih: Catatan Seorang Pemimpin Umum

oleh Redaksi

Rasanya cukup bingung cara merangkum tiga tahun di Clapeyron dalam sebuah cerita yang singkat, padat, dan tak membosankan. Frekuensi menulis yang sudah mereda sejak pensiun dari dunia pers mahasiswa mebuat jemari segan mengetik. Tapi bagaimanapun juga saya harus memenuhi tanggung jawab telah menyetujui permintaan dari Mbak Hanan dan teman-teman di Clapeyron untuk berbagi pengalaman menjadi pegiat media di dunia yang amat jauh dari teori-teori komunikasi dan jurnalisme.

Di masa lalu, saat ospek masih halal, malam keakraban memang mengakrabkan—dan mencoba tetap terjaga saat kuliah kalkulus I adalah hal yang mustahil—saya sering banyak berpikir tentang masa depan. Saya tidak terlalu banyak berpikir tentang karir dan apa yang akan saya lakukan karena sudah mantap dari awal ingin menekuni teknik transportasi. Saat itu saya cenderung berpikir tentang karakter apa yang ingin saya tanamkan dari sekarang.

Lantas saya banyak melirik kesempatan-kesempatan yang ada di kampus untuk pengembangan diri. Selayaknya mahasiswa baru yang terlampau ambisius, saat itu saya berkeinginan untuk mengikuti satu organisasi di tingkat jurusan, fakultas, dan universitas. Namun, melihat bahwa badan eksekutif mahasiswa cenderung berisi kerja yang berat pada pencitraan, visi yang entah ke mana arahnya, dan penuh pretensi, saya memutuskan untuk mengikuti dua organisasi di tingkat jurusan dan tidak ikut sama sekali dengan kegiatan di fakultas. Saat organisasi-organisasi jurusan membuka bursa transfer rekruitmen baru, Clapeyron hadir dengan iming-iming mengasah ketajaman berpikir kritis, meningkatkan kemampuan desain, liputan ke luar kota, dan korsa merah yang gagah. Strategi branding yang dibawa oleh Mas Catra dan teman-teman berhasil merayu saya untuk bergabung.

Sesuai dengan apa yang dijanjikan, tugas “berat” pertama saya adalah kegiatan misi ke Jakarta untuk mewawancarai petinggi Kementerian Pekerjaan Umum mengenai kesiapan Indonesia menjelang bermulainya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Bisa dibayangkan seperti apa rasanya menjadi anak baru langsung diberi tanggung jawab sebesar itu, meskipun nasibnya mengejar-ngejar narasumber yang berujung batal dan harus mengimprovisasi liputan lain agar tak pulang dengan tangan kosong. Sayangnya, pengalaman awal di Clapeyron tak semenyenangkan misi pertama itu.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Clapeyron mengalami periode vakum di awal tahun 2000-an. Clapeyron saat itu bukan lagi Clapeyron pada masa kejayaannya di tahun 90-an yang mampu mendistribusikan ribuan eksemplar majalah ke seluruh penjuru Indonesia. Bahkan saat itu, Clapeyron merupakan media resmi Forum Komunikasi Mahasiswa Teknik Sipil Indonesia (FKMTSI) dan juga mengambil peran penting dalam melahirkan Badan Pers dan Penerbitan Mahasiswa (BPPM) Balairung serta Surat Kabar Mahasiswa Bulaksumur.

Hingga saya beranjak ke tahun kedua, kondisi itu masih terasa. Permasalahan itu sudah lama kami sadari, tapi entah kenapa kami tak pernah bisa keluar dari lubang itu. Setiap tahun memiliki rencana untuk terbit tepat waktu, menambah program kerja, dan meningkatkan kualitas karya; tapi tak pernah terwujud. Semua sekadar wacana yang memuakkan dan meninggalkan rasa pahit.

Entah kenapa, rasa kecewa itu tak pernah menyurutkan semangat kami. Pahitnya rasa tak berguna dan tak berdaya selama dua tahun kami jadikan amunisi kuat untuk mengusung perubahan di tahun ketiga. Di masa peralihan kepemimpinan, saya bersama teman-teman angkatan 2013 mengambil inisiatif untuk berubah dan mengembalikan Clapeyron pada hakikatnya sebagai organisasi pers mahasiswa. Langkah menuju perubahan diawali dengan rencana pengunduran diri Clapeyron dari Ecohouse Design Competition, salah satu rangkaian kegiatan Civil In Action yang diselenggarakan Keluarga Mahasiswa Teknik Sipil (KMTS). Rencana kami tak mendapat restu dari para pimpinan periode itu, tapi kami tetap nekat. Ini adalah satu-satunya jalan Clapeyron kembali pada jalurnya.

Mengundurkan diri dari Ecohouse tidak cukup menghadirkan perubahan, karena masih tersisa masalah terbesar Clapeyron saat itu: tenggat penerbitan yang sebatas wacana. Dengan modal sok tahu, karena dua tahun tak mendapatkan dasar-dasar jurnalistik yang mumpuni, kami pun memantapkan rencana untuk menerbitkan majalah sebelum masa penerimaan mahasiswa baru dengan harapan dapat dibagikan secara gratis untuk meningkatkan minat calon pendaftar.

Dalam proses penyusunan majalah itu, hal yang paling saya kenang adalah sebuah rapat luar biasa. Penyusunan majalah dilakukan saat libur antar semester, disaat para penanggung jawab penerbitan terpencar. Saat itu, saya sedang pertukaran pelajar di Polandia, Dhirta sedang di Solo, Hanif sedang di Sukoharjo, dan Lingga sedang di Jogja. Karena waktu memaksa untuk diadakan rapat pra-penerbitan, dalam keadaan mendesak rapat pun diadakan di Klaten, titik tengah di antara Jogja, Solo, dan Sukoharjo. Saya turut meramaikan melalui telefon.

Perjuangan kami membuahkan majalah yang terbit tepat waktu. Lucunya, produksi majalah itu terbit sebelum volume sebelumnya, meskipun dengan hasil bobot pembahasan yang tak layak untuk disandingkan di antara volume-volume Clapeyron yang lain. Tapi tak apa, karena ada dua hal yang kami dapatkan. Yang pertama adalah modal kendel & wani perih kita bisa terbit sesuai dengan target dan yang kedua, terpenuhi tujuan kami untuk meningkatkan minat pendaftaran anggota baru. Jumlah pendaftar pada periode 2015-2016 terbanyak sepanjang sejarah Clapeyron.

Salah satu kutipan favorit saya  berasal dari Chuck Palahniuk, yang berbunyi: “Kita semua akan mati. Tujuan kita bukan kehidupan abadi, tetapi untuk menciptakan sesuatu yang abadi.” Kata-kata itu memberi saya tujuan, untuk meninggalkan jejak. Saya ingin membawa Clapeyron keluar dari kondisi memprihatinkan, mengembalikannya sebagai tempat mahasiswa untuk belajar, berproses, bertumbuh, dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang berkarakter. Dengan itu saya memberanikan diri untuk maju sebagai pemimpin umum dan segala konsekuensinya. Sisanya adalah sejarah.

Banyak hal yang bisa dikenang sewaktu menjadi pemimpin umum, dari bolos studi lapangan angkatan di Bali demi menghadiri pertemuan alumni di Tangerang, ketilang polisi karena mengendarai motor memasuki jalan tol, hingga kesalahan cetak yang mencoreng prestasi periode itu. Bagi saya, tidak ada yang melebihi rasa bangga dan haru menyaksikan perubahan yang terjadi di Clapeyron. Mengambil bagian dalam transformasi Clapeyron yang sering disepelekan, diremehkan, dan tidak signifikan menjadi mandiri, progresif, dan dipandang adalah salah satu titik tinggi dalam masa kuliah saya.

Clapeyron telah mengajarkan saya banyak hal tentang tulus dalam berkarya dan gigih dalam berusaha. Ia tak segan untuk mendorong saya terjun bebas dari jurang zona nyaman. Diatas itu semua, ia telah membuktikan bahwa Tuhan berpihak pada mereka yang berani dan wani perih, suatu hal yang akan terus saya bawa menghadapi masa depan dengan segala ketidakpastiannya.

Memasuki tahun ketiga purnajabatan, saya melihat bahwa semangat juang masih teguh dalam adik-adik yang meneruskan jejak langkah kami. Kepada Hanan, Hary, Satgas, Sekar, dan semua yang tidak bisa saya sebut satu per satu, doa dan semangat kami bersama kalian. Hiasi ruang markas dengan corak warna progress, pikiran kritis, dan karya gemilang. Yakinlah bahwa apapun yang kalian berikan untuk Clapeyron akan kembali pada kalian dengan imbalan yang jauh melebihi harapan.

Tulisan oleh Kemal Fardianto (Awak Clapeyron angkatan 2013)

Artikel Terkait