Pulang saat liburan semester rasanya seperti hal yang seharusnya dilakukan oleh para perantau, seperti aku yang sedang mencari ilmu di kota orang. Kembali ke kota asal, bertemu dengan semua kenangan lama yang ada di sana, dan bernostalgia kembali. Apa yang dilakukan perantau jika tidak kembali ke kota asal? Itulah yang terjadi pada diriku.
Berawal dari hari terakhir ujian akhir semester (UAS) dan menjelang Idul Fitri, semua berjalan seperti biasa. Teman dan keluarga masih berada di tempat yang kaya akan budaya ini, Jogja. Awal liburan perkuliahan dimulai, sepinya Jogja pun sudah terasa sangat mencengkam, apalagi menjelang Idulfitri. Semua yang biasa aku lakukan di sini, seperti menghilang. Rasanya seperti memulai hidup di kota yang baru.
Teman–teman yang biasa kutemui setiap hari telah kembali ke kampung halaman mereka masing-masing. Bahkan, Jogja yang wisata kulinernya sangat beragam itu, malah menjadi sangat susah ditemui. Mencari makan sama halnya seperti mencari pasangan hidup, susah. Para pedagang makanan pun telah kembali ke kota asal mereka. Akhirnya, hanya junkfood yang bersedia menemani.
Satu hal yang sangat terasa pada saat liburan seperti ini adalah sepinya kehidupan. Aku adalah tipe orang yang selalu mencari keramaian ataupun teman-teman, baik saat tidak ada ataupun saat ada pekerjaan. Semua orang yang biasa bersamaku telah kembali ke kota asalnya, mungkin sedang bersenang-senang bersama keluarga? Atau mungkin, mereka sedang bernostalgia bersama teman kecilnya dulu?
Terkadang hati dan pikiran sering berdebat di dalam otakku. Haruskah aku seperti mereka; kembali ke kampung halaman dan melihat perkembangan di sana? Namun, aku memilih untuk tetap tinggal menemani Gunung Merapi yang sedang dalam kondisi tak baik. Sedangkan di sisi lain, aku memiliki keinginan kembali ke kota asal sekaligus tempat kelahiranku juga, tak lain dan tak bukan, yaitu Papua. Di sanalah aku dapat melihat dan bertemu dengan keluarga, teman–teman, dan menyaksikan sendiri perkembangan pulau yang masih berada jauh di belakang Pulau Jawa itu.
Ingin ku kembali ke sana menikmati indahnya keindahan alam yang ada. Memandang sejuk luasan pantai yang melintang jauh dan merasakan sejuknya pagi di sela–sela pepohonan lebat. Semua itu terakhir aku nikmati tiga tahun lalu. Pelahan tapi pasti, sebagian ingatan tentang kampung halaman telah sirna dimakan waktu.
Sempat merasuki pikiran juga jikalau mengingat kehidupan kecilku di Papua. Jika dibandingkan dengan kehidupan Jogja, jelas terasa sangat jauh. Kegiatan sehari–hari dari anak kecil yang sekarang dan dahulu pun terlihat berbeda. Tak tahu apakah benar atau pengelihatanku saja. Jikalau libur sekolah tiba, tiada hari tanpa bermain, layakmya film Bolang (Bocah Petualang). Bermain bersama teman dan alam yang ada. Sungguh asyik memang, tapi terharu jika sekarang hanya bisa mengingatnya.
Terpanggil hatiku untuk sedikit menceritakan zaman mainku dulu. Biasanya, saat pagi hari, aku dan teman sekampungku sudah berada di lapangan bola milik salah satu Sekolah Negeri Kejuruan 1. Menunggu lawan dari kampung lain yang biasanya bermain di sana juga.
Lelah pun datang, melanjutkan perjalanan ke bahu dari suatu daratan tinggi di sana. Kami pun bergegas menuju sumber mata air, tempat beristirahat dan tempat tersejuk saat matahari menyinari dengan teriknya. Setelah rasa lelah itu hilang, kami berjalan pulang mengikuti alur sungai sambil menyusurinya.
Perbedaan suasana liburan juga terasa di Papua. Suatu waktu, aku mengikuti ayah bertugas ke suatu pedalaman. Tempat tersebut hanya ada listrik pada jam belajar anak sekolah, sekitar jam 5 sampai jam 8 saja. Tak mengerti kenapa, tetapi tidak ada kebosanan yang datang pada diriku. Aku bahkan tidak merengek pulang.
Selama satu minggu, kami menumpang di rumah Kepala Desa. Semua orang yang sebaya denganku saat itu sangat ramah dan baik. Mereka mengajakku bermain bersama, bahkan mengajakku ke laut untuk makan malam. Di tengah laut berperahu kecil, aku diajakmemancing dan berenang. Sangat aku akui keberaniannya. Padahal saat itu kami semua hanyalah bocah SMP.
Meski aku rindu dengan Papua, aku tetap bersyukur dengan tempatku saat ini, yaitu Jogjakarta. Dua tempat berbeda yang membantuku berproses dan bertumbuh menjadi seperti ini, bagiku kedunya adalah tempat terbaik untuk mendukung pertumbuhan. Aku tak tahu mengapa, seperti aku mendapati masa kecil yang sempurna di Papua, lalu melanjutkan sekolah dan memulai pergaulan baru di Kota Pelajar ini.
Niatku dari awal menulis sebenarnya hanya ingin bercerita tentang kehidupan di Jogja yang sepi. Namun, terpancing niatku untuk bercerita lebih tentang masa kecil yang sekarang merupakan impianku.
Kapan akan terwujud kembali impian kecil seperti itu? Aku sudah tak tahu bagaimana keadaan di sana sekarang. Apakah sudah berbeda jauh dari dahulu kala? Ataukah masih sama?
Yang kurindukan hanyalah pulang.
Tulisan oleh Harry Reiynhard
Gambar oleh Dean Aristya Nugraha