Ibu Pertiwi Kembali Berduka

Belum tuntas duka untuk Lombok, kini giliran Donggala di Sulawesi Tengah dan Palu yang sedang berduka. Gempa yang kemudian disusul oleh tsunami membuat kita terhenyak. Bukan sekadar gempa yang memang wilayah Indonesia yang terletak di gugusan cincin api (Ring of Fire) melainkan jumlah korban dan kerusakan yang memang memprihatinkan. Gempa yang terjadi tengah Jum’at 28 September 2018 dan berkekuatan 7,7 SR itu menyimpan duka yang mendalam.

Data terakhir yang dirilis oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Rabu 10 Oktober 2018 sebanyak 2045 orang meninggal dunia dan korban luka mencapai 10.679 orang. Bencana ini tentu mengingatkan kita akan bencana-bencana besar di Indonesia beberapa tahun terakhir yaitu Tsunami Aceh 2004, Letusan Gunung Merapi 2010 silam dan Letusan Gunung Sinabung yang hingga kini masih belum menunjukkan titik terang.

Wilayah Indonesia memang rawan bencana alam karena faktor geografisnya. Kondisi ini sudah disadari oleh pemerintah atau masyarakat kita. Dengan kondisi ini, bukan berarti wilayah geografis Indonesia tidak layak untuk dihuni. Justru dengan kondisi seperti saat ini, wilayah geografis Indonesia juga memberi keuntungan buat bangsa ini. Dengan mengetahui kondisi geografis ini, tentunya semua pihak terutama pemerintah harus bisa menjalankan manajemen bencana dengan baik. Dalam hal pencegahan dan penanganan, tentu harus dilakukan dengan manajemen yang benar. Dengan manajemen bencana yang benar, diharapkan dapat mengurangi risiko yang terjadi ketika bencana itu hadir kembali.

Indonesia telah mempunyai undang-undang untuk penanganan bencana, yaitu UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.  Secara regulasi, Indonesia telah mempersiapkan dengan baik. Artinya, pemerintah juga sangat menyadari tentang wilayah geografis Indonesia yang rawan dengan bencana. Namun, mengapa sepertinya persoalan bencana selalu menjadi polemik atau bahkan bahan kritik kepada pemerintah? Hal ini terjadi karena manajemen bencana yang sudah diatur belum berjalan dengan baik. Sederhananya, teorinya sudah ada, namun praktiknya belum bisa dilakukan dengan baik.

Dalam undang-undang tersebut disebutkan manajemen bencana adalah suatu proses dinamis, berlanjut, dan terpadu untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan dengan observasi dan analisis bencana serta pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini, penanganan darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi bencana. Ada tiga aspek jika mengacu pada definisi manajemen bencana di atas yaitu pencegahan, penanganan saat bencana, dan penanganan pascabencana.

Tujuannya adalah untuk  mencegah dan membatasi jumlah korban manusia serta kerusakan harta benda dan lingkungan, juga menghilangkan kesengsaraan dan kesulitan dalam kehidupan dan penghidupan korban. Tujuan lain adalah mengembalikan korban bencana dari daerah penampungan/pengungsian ke daerah asal bila memungkinkan atau merelokasi ke daerah baru yang layak huni dan aman. Selain itu, juga bertujuan mengembalikan fungsi fasilitas umum utama, seperti komunikasi/ transportasi, air minum, listrik, dan telepon, termasuk mengembalikan kehidupan ekonomi dan sosial daerah yang terkena bencana. Tujuan lainnya adalah mengurangi kerusakan dan kerugian lebih lanjut serta meletakkan dasar-dasar yang diperlukan guna pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dalam konteks pembangunan.

Apakah manajemen bencana kita di tahap awal yaitu pencegahan telah berjalan cukup baik? Tentu belum dapat dikatakan demikian. Alat pendeteksi tsunami tidak berfungsi sejak 2012. Sudah enam tahun alat itu tidak berfungsi, padahal jika menilik kondisi geografis di Indonesia atau Sulawesi Tengah pada khususnya, tentu ini sangat berbahaya. Dampaknya, kita bisa lihat ketika gempa bumi disusul tsunami terjadi di Sulawesi Tengah akhir September lalu.

Pencegahan yang lain adalah tentang kebijakan-kebijakan tentang bangunan gedung dan rumah yang belum menunjukkan cara untuk mencegah jatuhnya korban jiwa. Banyak bangunan gedung dan rumah yang justru rawan terhadap gempa bumi.

Belum lagi tentang penanganan saat gempa. Ada pihak-pihak yang mencari korban, menangani pengungsi termasuk memberikan bantuan logistik sering tumpang tindih. Lalu, ketika aturan sudah sangat responsif dengan kondisi geografis Indonesia, kenapa dalam praktiknya belum? Semua pihak tentu harus berani mengubah diri, bukan sekadar introspeksi diri atau hanya evaluasi di tataran lisan.

 

Ditulis oleh Bima Aji.