Beranda Artikel Status dan Sejarah Gunung Anak Krakatau

Status dan Sejarah Gunung Anak Krakatau

oleh Redaksi

Tsunami dengan tinggi hingga lima meter di Selat Sunda pada 22 Desember 2018 menyapu sebagian wilayah di Banten dan Lampung. Badan Nasional Penganggulangan Bencana (BNPB) menyatakan hingga Rabu (2/1) lalu terdapat 437 korban jiwa, 1.459 korban luka, dan 10 orang hilang.

 

Belakangan diketahui bila tsunami disebabkan oleh aktivitas Gunung Api Anak Krakatau yang memicu terjadinya longsoran seluas 64 hektare. Longsoran tersebut setara dengan guncangan gempa magnitudo 3,4. Longsoran yang kemudian diperparah oleh badai sehari sebelumnya mengakibatkan gelombang tsunami menghantam Banten dan Lampung.

 

Setelah peristiwa tersebut, aktivitas Anak Krakatau masih tetap tinggi. Asap dari kawah utama, dengan intensitas tipis hingga tebal, membumbung setinggi 500 meter dari puncak. Fenomena ini disertai angin bertiup lemah hingga sedang ke arah utara dan barat daya, berwarna kelabu hingga hitam. Aktivitas kegempaan masih didominasi oleh tremor menerus dengan amplitudo mencapai 32 mm.

 

Pada 26 Desember 2018, dilaporkan terjadi hujan abu vulkanik di Cilegon, Anyer, dan Serang. Tim Tanggap Darurat dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) langsung melakukan pemeriksaan di lapangan untuk mengonfirmasi kejadian tersebut serta menganalisis abu vulkanik yang ada.

 

Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) menunjukkan hampir seluruh tubuh Anak Krakatau yang berdiameter kurang lebih dua kilometer adalah kawasan rawan bencana. Potensi bahayanya saat ini adalah berupa lontaran material pijar, aliran lava dari pusat erupsi, serta awan panas yang mengarah ke selatan. Sedangkan sebaran abu vulkanik tergantung dari arah dan kecepatan angin.

 

Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data visual maupun instrumental oleh PVMBG yang dilakukan hingga 27 Desember 2018, tingkat aktivitas Anak Krakatau kemudian dinaikkan dari level II (Waspada) menjadi level III (Siaga).

 

Krakatau dan Lahirnya Anak Krakatau

 

Erupsi Krakatau dengan dampak kerusakan terbesar terjadi ketika Republik Indonesia masih dikenal sebagai Hindia Belanda. Erupsi bermula pada 26 Agustus 1883 dan berpuncak dengan letusan hebat yang meruntuhkan kaldera. Pada 27 Agustus 1883, dua pertiga bagian Krakatau runtuh dalam sebuah letusan berantai, melenyapkan sebagian besar pulau di sekelilingnya. Aktivitas seismik tetap berlangsung hingga Februari 1884.

 

Letusan ini adalah salah satu letusan gunung api paling mematikan dan paling merusak dalam sejarah, menimbulkan lebih dari 36.000 korban jiwa akibat letusan dan tsunami yang dihasilkannya. Bahkan, diyakini terjadi tsunami setinggi 30 meter di beberapa tempat.

 

Daerah di sekitar gunung terjebak dalam kegelapan selama dua setengah hari karena abu vulkanik yang menyebar di udara. Abu vulkanik juga beberapa kali menyebabkan fenomena berupa matahari terbenam berwana oranye dan merah sepanjang beberapa tahun berikutnya. Suara letusannya terdengar sampai 4.600 km dari pusat letusan.

 

The Guiness Book of Records mencatat ledakan Krakatau sebagai ledakan yang paling hebat yang terekam dalam sejarah. Ledakan Krakatau telah melemparkan batu-batu apung dan abu vulkanik dengan volume 18 kilometer kubik. Semburan debu vulkanisnya mencapai 80 km dan berhamburan di udara hingga jatuh di wilayah Jawa dan Sumatera, bahkan sampai Sri Lanka, India, Pakistan, Australia, dan Selandia Baru.

 

Daya ledaknya diperkirakan lebih besar dari 200 megaton TNT atau mencapai puluhan ribu kali bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki pada akhir Perang Dunia II. Letusan tersebut begitu kuat, sehingga mampu memecahkan gendang telinga para pelaut yang sedang berlayar di Selat Sunda.

 

Gelombang tekanan udara akibat ledakan terpancar dan tercatat oleh barograf di seluruh dunia dan terus terjadi hingga lima hari setelah erupsi. Rekaman barografis menunjukkan bahwa gelombang kejut dari letusan terakhir bergema ke seluruh dunia sebanyak tujuh kali. Ketinggian kabut asap diperkirakan mencapai 80 kilometer. Intensitas letusan mulai berkurang setelah itu. Hingga akhirnya pada 28 Agustus 1883, Krakatau terdiam. Letusan kecil terjadi yang sebagian besarnya mengeluarkan lumpur tetap berlanjut hingga Oktober 1883.

 

Kurang lebih 40 tahun setelah Gunung Krakatau erupsi, munculah gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau. Gunung ini berada dalam kawasan kaldera purba yang masih aktif. Kecepatan pertumbuhan tingginya sekitar 0.5 meter per bulan.

 

Gunung Api Anak Krakatau merupakan salah satu gunung api aktif yang berada di Selat Sunda, muncul di antara Pulau Panjang, Pulau Sertung, dan Pulau Rakata. Gunung ini termasuk gunung api strato tipe A dan merupakan gunung api muda yang muncul dalam kaldera pascaerupsi pada 1883 dari komplek vulkanik Krakatau.

 

Sejak munculnya pada 11 Juni 1927, Anak Krakatau telah mengalami erupsi lebih dari 100 kali, baik bersifat eksplosif maupun efusif, hingga 2011 dengan waktu istirahat berkisar antara satu hingga enam tahun. Tubuh Anak Krakatau muncul ke permukaan laut sejak 1929 dan hingga kini berada dalam fase konstruksi, yaitu tahap membangun tubuh gunung api hingga berukuran besar.

 

Saat ini, Anak Krakatau memiliki elevasi tertinggi 338 meter dari permukaan laut menurut pengukuran pada September 2018. Karakter letusannya adalah erupsi magmatik yang berupa erupsi eksplosif lemah (strombolian) dan erupsi elusif berupa aliran lava.

 

Status Anak Krakatau yang saat ini dinaikkan menjadi level III (Siaga) perlu menjadi perhatian bagi masyarakat sekitar. Masyarakat direkomendasikan untuk tidak mendekati dalam radius 5 kilometer dari kawah. Saat terjadi hujan abu, masyarakat yang beraktivitas di luar bangunan diminta untuk menggunakan masker dan kaca mata. Masyarakat di sekitar wilayah pantai Provinsi Banten dan Lampung tetap dapat melakukan kegiatan seperti biasa dan senantiasa mengikuti arahan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah setempat. Status dapat berubah menyesuaikan perubahan aktivitas Anak Krakatau.

 

Tulisan oleh: Taufan Rosyadi Yusuf

Artikel Terkait