Segala sesuatu dan kebijakan yang diputuskan dan dijalankan oleh suatu negara tentu memiliki pro dan kontra masing-masing, tak terkecuali dalam hal pembangunan. Tidak selalu pembangunan yang dilaksanakan di suatu negara baik, tapi tidak pula semuanya buruk.
Indonesia merupakan salah satu negara yang pertumbuhan ekonominya tergolong pesat. Apalagi di masa pemerintahan Joko Widodo seperti saat ini dimana pembangunan proyek-proyek besar makin gencar dilakukan. Proyek-proyek besar, seperti pembangunan ruas jalan tol Sumatera, moda kereta api Kalimantan Timur, Proyek Listrik Tenaga Uap (PLTU), dan masih banyak lagi adalah sebuah upaya pemerintah utnuk meningkatkan kesejahteraan perekonomian negara.
Namun, proyek-proyek yang direncanakan tidak semua layak untuk direalisasikan. Menurut Anthonius Tony Prasetiantono, selaku pengamat ekonomi, kelayakan suatu proyek untuk dibangun dilihat melalui dua pendekatan. Pendekatan pertama melalui feasibility study, yaitu sebuah studi yang bertujuan menilai kelayakan implementasi sebuah bisnis dengan menimbang beberapa aspek untuk dianalisa. Pendekatan kedua yaitu Brand’s Marking, berupa analisis dari perbandingan kelayakan sebuah proyek di suatu negara dengan kondisi proyek yang sudah teruji sukses di negara lain. Misalnya, membandingkan pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung dengan kereta cepat Shinkansen, Jepang.
Walaupun kedua pendekatan tersebut umum dipakai untuk menguji kelayakan sebuah proyek, tapi ada beberapa contoh kasus yang tidak dapat ditentukan untung-ruginya melalui kedua pendekatan tadi. Sebagai contoh, pembangunan jalan Merauke-Wamena. Bila pembangunan jalan Trans Papua tersebut dihitung menggunakan feasibility study, maka jelas negara akan mengalami kerugian. Mengapa? Karena populasi penduduk di sana sedikit sekali, sehingga trafficnya pun sedikit.
Namun, promotor konser Jazz kaliber dunia ini mendukung realisasi proyek tersebut. Apa alasannya? Karena terjadi disparitas (perbedaan) harga yang disebabkan oleh kondisi pengiriman suatu barang menuju kota-kota yang ada di Papua, sehingga harga suatu barang yang tadinya murah, menjadi mahal ketika berada di Papua. Dengan adanya jalan Trans Papua, nantinya diharapkan disparitas harga yang terjadi di Papua tidak terjadi lagi. Oleh sebab itu, pembangunan infrastruktur di Indonesia harus ditanggapi dengan bijak, karena tidak semua pembangunan akan berbuah kesejahteraan ekonomi.
Menurunkan Biaya Logistik
Masalah utama dalam perekonomian suatu negara adalah tingginya biaya logistik. Hal tersebut disebabkan oleh ketidaktersediaan dan ketidaklayakan infrastruktur suatu negara. Infrastruktur yang baik merupakan kunci untuk menekan biaya logistik.
Para ahli ekonomi di seluruh dunia meyakini salah satu formula yang dapat digunakan untuk menurunkan biaya logistik adalah apabila anggaran belanja suatu negara berada di angka 5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara anggaran belanja negara Indonesia masih berada di angka 22,5% terhadap PDB, sehingga mengakibatkan biaya logistik Indonesia menjadi lebih mahal.
Masyarakat beranggapan bahwa dengan memberikan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dengan jumlah yang besar merupakan metode paling efektif dalam menurunkan harga logistik. Akan tetapi, menurut Anthonius Tony, hal tersebut dirasa merupakan suatu tindakan pemborosan.
Pasalnya saja, pada 2014, subsidi BBM yang diberikan mencapai 250 triliun rupiah. Lalu subsidi BBM yang digunakan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) mencapai 103 triliun rupiah. Dengan begitu, total subsidi BBM yang diberikan pada 2014 mencapai angka 353 triliun rupiah. Hal ini mengakibatkan perekonomian Indonesia dapat dikatakan amburadul dikarenakan terlalu banyak memberikan subsidi BBM.
Padahal, dengan anggaran 353 triliun rupiah tadi, negara bisa saja melakukan begitu banyak pembangunan infrastruktur. Misalnya, dengan hanya 5,6 triliun, pembangunan bandar udara dengan fasilitas semegah Bandara Kuala Namu, Medan dapat terlaksana. Contoh lainnya, dengan anggaran 2 triliun rupiah saja, pemerintah sudah bisa mengembangkan dan merevitalisasi Bandara Sepinggan, Balikpapan yang saat ini berganti nama menjadi Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman.
Oleh karena itu, perbaikan dan pengembangan infrastruktur sangat diperlukan agar harga logistik di Indonesia menurun dan berdampak kepada perubahan kesejahteraan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Menyikapi Utang Negara
Pada hakikatnya, sebuah negara seharusnya berupaya untuk mengurangi hutang yang dimilikinya. Namun, dengan berbagai proyek yang dicanangkan, pemerintah malah akan menambah utang negara.
Menurut dosen ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM ini, menghentikan utang itu hampir mustahil. Mengapa? Indonesia berutang ke luar negeri dengan dolar, kemudian utang tersebut digunakan untuk membangun infrastruktur negara. Dengan pembangunan tersebut, pundi-pundi rupiah dihasilkan. Namun, tetap saja rupiah yang dibayarkan tidak akan cukup untuk menutupi utang negara Indonesia mengingat nilai tukar rupiah berada jauh di bawah dolar.
Akan tetapi, utang tetap merupakan sesuatu yang wajar, dengan syarat Indonesia harus mampu mengelola utang tersebut secara tepat dan hati-hati untuk hal-hal yang bersifat produktif. Bahkan, negara adidaya seperti Jepang pun tetap memiliki utang.
Utang pemerintah Jepang mencapai angka 200% terhadap PDB. Namun, berbeda dengan Indonesia, negara Jepang justru berutang kepada rakyatnya sendiri. Bagaimana caranya? Pemerintah Jepang memberikan surat obligasi atau surat pengakuan utang kepada rakyatnya yang kemudian dibeli oleh rakyat Jepang, sehingga utang pemerintah Jepang pun tetap terjaga dalam bentuk mata uang yen.
Dari penjelasan tersebut bisa dikatakan bahwa utang merupakan sesuatu yang diperlukan sebagai elemen untuk menentukan kesejahteraan suatu negara. Seperti yang dikatakan tadi, Indonesia boleh saja berutang, asal Indonesia sanggup untuk membayar di kemudian hari.
Oleh karena itu, kebijaksanaan dalam hal pembangunan infrastruktur di Indonesia merupakan hal terpenting untuk menunjang kesuksesan ekonomi negara Indonesia. Di samping pemerintahnya harus melihat ke bawah untuk melihat kondisi pembangunan yang pada akhirnya berdampak terhadap rakyat, masyarakat sendiri pun harus berperan aktif mengkritisi apakah suatu pembangunan memiliki masa depan yang baik dan mendatangkan kebaikan kepada negara itu sendiri.
Mengutip perkataan dari Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM ini, “Indonesia itu potensial, fantastis, dan atraktif, tapi tetap harus hati-hati dalam merencanakan infrastruktur.”
Bella Agustuti