Darurat Sampah di Ibu Pertiwi

            Masih ingatkah dengan pemberitaan mengenai enam kilogram sampah plastik yang ditemukan dalam perut bangkai paus sperma di Wakatobi? Tentang penyu yang terbelit plastik? Atau tentang video sedotan dalam hidung penyu yang sempat viral? Ketiganya hanya contoh dari sekian banyak biota laut yang mati ataupun merasakan sakit karena sampah di lautan.

Persoalan sampah memang sudah menjelma menjadi siklus tak berujung, bahkan menjadi momok tidak hanya untuk negara kita, tetapi juga dunia. Di Indonesia, status darurat sampah sudah selayaknya tersemat dan pantas untuk disandingkan dengan persoalan-persoalan kritis lain, seperti darurat narkoba dan darurat korupsi.

Berdasarkan data penelitian Jambect JR dalam jurnalnya yang berjudul Plastik Waste Inputs from Land into the Ocean pada 2015, Indonesia menduduki posisi kedua sebagai negara penyumbang sampah plastik ke lautan terbanyak di dunia dengan 187,2 juta ton, tepat di bawah Cina yang menduduki posisi pertama dengan 262,9 juta ton. Tentunya ini bukanlah hal yang patut untuk dibanggakan, fakta ini justru menjadi sebuah tamparan bagi Indonesia yang terkenal dengan Pulau Surganya.

Angka itu bukan tidak mungkin akan meningkat setiap tahunnya, bahkan dapat berkali-kali lipat. Seperti dilansir dari ScienceMag, peningkatan jumlah sampah plastik dari 1950 hingga 2015 mengalami peningkatan sebanyak 190 kali, dengan rata-rata peningkatan sebesar 5,8 ton per tahun.

Merujuk kepada data-data tersebut, maka rasanya pantas saja jika World Economic Forum dalam The New Plastic Economy, Rethinking the Future of Plastic menyebutkan, kelak rasio ikan di lautan dengan plastik menjadi 1:3 pada 2025. Plastik akan terus bertambah, sedangkan jumlah ikan akan terus berkurang karena penangkapan ataupun mati karena lingkungan yang tercemar.

Kini sampah memang menjelma menjadi sebuah ancaman di lautan, khususnya untuk ekosistem laut. Konferensi Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York pada 2017 menyebutkan bahwa limbah plastik di lautan telah membunuh 1 juta burung laut, 100 ribu mamalia laut, kura-kura laut, dan ikan-ikan yang tidak terhitung jumlahnya. Mirisnya, angka-angka tersebut semakin meningkat setiap tahunnya.

Menengok kembali kondisi di Indonesia, sampah kini ada di mana-mana. Di darat, di laut, di sungai, bahkan di udara pun banyak sampah. Bangkai layang-layang yang tersangkut di kabel listrik dan kabel telepon merupakan salah satu contoh sampah udara yang banyak ditemui di lingkungan kita. Berbagai cara telah dilakukan untuk menanggulangi sampah, tetapi dengan jumlah yang telah menggunung, rasanya daur ulang bukan lagi jawaban tepat dari permasalahan ini. Dibutuhkan sebuah tindakan guna mereduksi sampah, baik sampah yang telah ada maupun langkah antisipasi dalam pencegahannya.

Sejauh ini Pemerintah Indonesia sudah berada di koridor yang benar, dengan menjadikan sampah sebagai ancaman jangka panjang dan mentapkan target pengurangan sampah di lautan hingga 70% sampai tahun 2025. Namun, tetap saja eksekusi di lapanganlah yang menjadi penentu, apakah rencana tersebut hanya berujung angan atau mewujudkannya sebagai rencana yang terealisasikan.

Beberapa langkah pun telah diambil, seperti menyiapkan sejumlah regulasi untuk pembatasan sampah plastik. Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan Strategis Nasional yang kemudian diturunkan menjadi Kebijakan Strategis Daerah (Jakstrada) merupakan salah satu contoh regulasi yang telah dikeluarkan. Di samping itu, ada Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut yang lahir sebagai tindak lanjut komitmen Pemerintah Indonesia untuk mengurangi 70% sampah laut sampai 2025 dengan langkah-langkah yang terpadu dan komprehensif. Mengenai Jakstrada, hampir seluruh daerah di Indonesia sudah memilikinya. Tingkat keberhasilannya tinggal bergantung kepada proses yang dijalankan. Perlu protokol yang jelas mengenai siapa yang seharusnya mengawasi maupun siapa yang berhak untuk mengadili jika ditemukan pelanggaran.

Lalu, apakah langkah dari Pemerintah baik dalam bentuk aksi maupun kampanye sampai saat ini dapat dinilai efektif? Rasanya belum. Hal ini dapat dilihat dari beberapa elemen masyarakat termasuk TNI/Polri secara dramatis seringkali bergotong-royong membersihkan sampah di sungai maupun di tempat umum. Memang pada saat itu dan untuk beberapa waktu ke depannya akan terlihat bersih, tetapi sesudahnya semua akan kembali seperti semula dengan sampah yang menumpuk di mana-mana. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, permasalahan ini memang menjadi siklus yang belum menemukan titik terang.

Oleh karenanya, perlu andil dari berbagai pihak untuk mengatasi permasalahan ini. Tidak hanya dari segelintir orang, tetapi dibutuhkan seluruh masyarakat untuk ikut bergerak. Memang tidak akan terselesaikan secara instan, butuh waktu sampai periode tertentu hingga sampah tidak lagi menjadi momok untuk negeri ini.

Kampanye dari hulu hingga hilir pun mulai digemborkan oleh pemerintah, di hulu para produsen diajak berbicara mengenai keamanan produknya, terutama para produsen Fast Moving Consumer Goods (FMCG) yang produk-produknya sering dibeli masyarakat dan turut menjadi penyumbang sampah terbesar. Sementara di hilir atau konsumen, Pemerintah mendorong untuk membangun gerakan gaya hidup yang ramah lingkungan, seperti membawa kantung belanja sendiri, mengurangi penggunaan styrofoam, dan tidak lagi menggunakan sedotan plastik.

Adanya sinergi antara pemerintah, produsen, dan masyarakat dapat secara perlahan menciptakan pengelolaan sampah yang lebih baik. Hal ini dapat dimulai dari tiap individu dengan tindakan sederhana seperti membuang sampah ke tempatnya, mengurangi penggunaan kantung plastik, dan menerapkan pemilahan sampah di kediaman masing-masing. Diharapkan pengelompokan sampah yang ada tidak hanya berakhir di rumah-rumah warga, tetapi juga sampai ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Jika di TPA sampah sudah terkelompokkan, penanganannya akan lebih mudah sesuai dengan jenisnya. Tugas ini kemudian menjadi milik pemerintah untuk menyediakan pengelolaan sampah yang memadai.

Jika sampah-sampah yang ada telah terkelola dengan baik, kondisi lingkungan yang bersih, rapi, indah, dan teratur akan tercipta. Dengan demikian, daya tarik pariwisata pun akan meningkat dan bahaya banjir yang selama ini dominan disebabkan karena sampah akan berkurang. Maka dari itu, mari saling bahu-membahu mencegah Indonesia menjadi ladang sampah dan wujudkan negeri yang bersih untuk kita tinggali.

 

Sekar Ayu Rinjani