Beranda Sipiloka Mengenal CarbonCure, Inovasi Beton Ramah Lingkungan

Mengenal CarbonCure, Inovasi Beton Ramah Lingkungan

oleh Redaksi

 

Beton merupakan salah satu material utama yang umum digunakan dalam berbagai proses konstruksi. Salah satu bahan utama dalam pembuatan beton adalah semen, yang berperan sebagai bahan pengikat pada campuran beton. Namun, di sisi lain, semen berkontribusi terhadap delapan persen dari emisi karbon dioksida (CO2) dunia. Sebagai contoh, belakangan ini Tiongkok menggencarkan pembangunan infrastruktur secara besar-besaran, menyebabkan peningkatan kebutuhan terhadap semen. Berdasarkan laporan yang dipublikasikan oleh PBL Netherlands Environmental Assesment Agency pada 2016, industri semen berkontribusi terhadap sembilan persen dari total emisi karbon dioksida yang dihasilkan oleh Tiongkok, dengan mayoritas dari emisi tersebut berasal dari produksi terak (klinker) semen.

​Dalam proses produksi semen, karbon dioksida berasal dari dua sumber utama, yaitu pembakaran bahan bakar fosil dan reaksi kimia. Batu bara digunakan dalam proses pemanasan raw meal, yaitu campuran batu kapur sebagai material utama semen beserta pasir besi dan silika, dalam kiln pada temperatur sangat tinggi, menghasilkan terak. Selama proses ini berlangsung, batu kapur mengalami kalsinasi, menghasilkan kalsium oksida (CaO), yang berperan dalam proses hidrasi semen, dan melepaskan karbon dioksida ke udara.

Reaksi di atas berkontribusi terhadap setengah dari total emisi karbon dioksida yang dihasilkan dari produksi semen. Meskipun demikian, studi dari Cement Sustainability Initiative (CSI), bagian dari World Business Council on Sustainable Development (WBCSD, 2009) menunjukkan bahwa pemanfaatan semen komposit mengalami peningkatan di berbagai negara. Jenis semen seperti Portland Pozzoland Cement (PPC) dan Portland Composite Cement (PCC) menggunakan material tambahan seperti fly ash dan slag, sehingga mengurangi komposisi terak pada produksi semen menjadi 60 sampai 80 persen, dibandingkan dengan semen Portland tradisional yaitu 95 persen.

Inovasi lain dalam upaya mengurangi emisi karbon dioksida dalam sektor infrastruktur adalah teknologi CarbonCure yang berasal dari sebuah startup asal Kanada. Cara kerja teknologi tersebut adalah dengan menangkap gas buangan, yaitu karbon dioksida yang dihasilkan oleh industri lokal, kemudian diproses di pabrik semen milik CarbonCure, menghasilkan karbon dioksida cair. Cairan tersebut diinjeksikan ke dalam campuran beton basah, mengalami reaksi kimia dengan ion kalsium, membentuk mineral yaitu kalsium karbonat (CaCO3) yang tertanam secara permanen di dalam beton tersebut. Dengan demikian, karbon dioksida tidak dapat terlepas kembali ke udara, karena telah berubah menjadi mineral.

​Reaksi tersebut mengubah karbon dioksida menjadi mineral yang mampu meningkatkan kuat tekan beton yang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan beton yang diproduksi dengan teknologi CarbonCure menunjukkan performa yang serupa, dengan pengurangan komposisi semen sebesar lima sampai delapan persen dibandingkan dengan beton standar. Sifat-sifat beton seperti nilai slump, kadar air, dan temperatur juga tidak mengalami perubahan yang signifikan sehingga teknologi ini memungkinkan produksi beton berkualitas baik dengan penggunaan semen lebih sedikit.

Selain CarbonCure, terdapat perusahaan lain yang turut berpartisipasi dalam pengembangan teknologi beton yang berkelanjutan, seperti Solidia, CarbiCrete, dan Carbon Upcycling.

​Salah satu contoh bangunan yang menggunakan beton dengan teknologi CarbonCure adalah 725 Ponce, sebuah pusat perkantoran yang berlokasi di Atlanta, Georgia. Menurut Christie Gamble, salah seorang direktur senior dari CarbonCure, bangunan ini berhasil mengurangi emisi 680 ton karbon dioksida ke atmosfer, setara dengan karbon dioksida yang diserap oleh hutan seluas delapan ratus hektar dalam setahun. “Apabila teknologi ini disebar di seluruh dunia, kita mampu mengurangi sekitar tujuh ratus megaton karbon dioksida per tahunnya. Jumlah tersebut setara dengan pengurangan penggunaan 150 juta mobil per tahunnya,” ungkap Christie dilansir dari CNN Money.

Tulisan oleh Jennifer Dharmawangsa
Data oleh Ardinata Prasmono
Gambar oleh Arieq Zulian

 

Artikel Terkait